Oleh I Ketut Jagra
Era media sosial memang memudahkan orang berkomunikasi dengan siapa pun, dari mana pun. Namun tak bisa dimungkiri, media sosial juga menggampangkan orang menumpahkan keluh kesah dan caci maki. Mereka yang sejak kecil dibesarkan dengan tradisi tutur santun, mungkin terguncang menyimak status dan komentar di media sosial yang begitu vulgar dan tak lagi memedulikan aspek etis moralis.
Seorang pelaku usaha jasa yang jengkel dengan ulah pelanggannya lantas mengungkapkan segala keburukan sang pelanggan di akun media sosialnya. Seorang menantu yang merasa diperlakukan kurang baik di rumah suaminya, mengumbar kata-kata umpatan kepada keluarga mertuanya. Seorang anak yang jengkel karena kerap dimarahi ibunya tanpa rasa bersalah mengungkapkan kebenciannya pada sang Ibu, bahkan secara terbuka mengaku menyesal menjadi anak dari ibunya sendiri. Fenomena teranyar tentu saja caci maki kepada para pemimpin, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Memang, harus diakui, tidak sedikit pula orang mendapatkan pencerahan dari media sosial. Sebagian orang merasa tercerahkan manakala membaca status dan komentar sejumlah rekannya yang sejuk dan penuh inspirasi. Tapi, atmosfer ujaran kebencian relatif kuat mendominasi ranah media sosial belakangan ini.
Pemerintah yang kerap menjadi sasaran ujaran kebencian menggunakan palu godam untuk mengatasi masalah ini. Dengan instrumen sejumlah peraturan, termasuk Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE), pemerintah menyisir berbagai situs penyebar kebencian dan intoleransi. Upaya pemerintah ini menimbulkan kekhawatiran karena bisa digunakan sebagai kesempatan untuk memberangus suara-suara kritis terhadap pemerintah.
Ujaran kebencian yang begitu berbiak di media sosial memang patut disikapi dengan sungguh-sungguh, tak hanya oleh pemerintah, melainkan juga seluruh masyarakat. Fenomena ujaran kebencian mengindikasikan kegagalan masyarakat kita memahami dan memaknai bahasa. Masyarakat tampaknya cenderung memandang bahasa sekadar sebagai alat. Lantaran dipandang hanya sebagai alat, bahasa lantas dianggap bisa diperlakukan seenaknya untuk sekadar menyampaikan maksud atau hasrat. Bahkan, bahasa diperkosa sebagai alat untuk menumpahkan hasrat berkuasa dalam makna yang luas.
Tradisi Bali mengingatkan manusia tentang makna hakiki bahasa bukan sekadar alat, tetapi juga jati diri. Manusia Bali menyebut bahasa sebagai basa. Basa tiada lain adalah rasa. Bahasa sebagai basa, sebagai rasa mencerminkan bahasa sebagai jalan memuliakan kemanusiaan.
Berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang paling purba, jauh mendahului peradaban manusia dalam aspek lain. Oleh karena itu, berbicara atau bahasa lisan atau oral dianggap dan diakui sebagai hakikat inti dari kegiatan berbahasa.
Dalam pandangan Hindu dikenal doktrin Trikaya Parisuda yakni tiga hal yang patut disucikan. Ketiga hal tersebut yakni berpikir yang baik dan suci, berbicara (berkata) yang baik dan suci serta bertingkah laku yang baik dan suci. Berbicara atau berbahasa menempati posisi sangat penting yakni posisi tengah (inti), di antara berpikir dan berperilaku. Berbicara pada posisi ini juga sebagai penghubung antara aktivitas berpikir dan berperilaku.
Berbicara atau berbahasa yang baik dan suci mengandung pengertian berbicara atau berbahasa yang dilandasi etika dan moral. Berbicara yang baik dan suci berlandaskan etika dan moral merupakan refleksi dari pikiran yang baik dan suci serta mendorong lahirnya perilaku yang baik dan suci pula.
Agama Hindu sangat mementingkan landasan etika dan moral dalam berbahasa. Menurut pandangan Hindu, landasan etika dan moral dalam berbahasa sangat berkaitan erat dengan hukum karma phala atau hukum sebab-akibat. Bahkan, bertemali pula dengan jalan kematian.
Dalam pandangan Hindu, berbicara haruslah dikendalikan, seperti halnya juga pikiran dan tingkah laku. Dalam Bhagawad Gita XVII, 15 disebutkan anudvegakaram vakyam/sathyam priyahitam cha yat/svadhyayabhyasanam cha’va/ vanmayam tapa uchyate//, “berbicara tanpa menyinggung, melukai hati/ bicara yang benar, lemah lembut, dan menarik/ mempelajari pustaka suci dengan teratur/ ini dinamakan bertapa dengan ucapan (bicara)//
Hindu sangat mementingkan pengendalian ucapan (berbicara atau berbahasa) karena meyakini adanya hukum karma phala. Dalam konteks berbicara atau berbahasa, berbicara atau berbahasa yang baik dan suci juga berbuah sesuatu yang baik dan suci. Bahkan, dalam Nitisastra 65 yang kerap dikutip banyak orang, disebutkan bahwa berbicara itu menjadi sangat menentukan apakah seseorang akan menikmati kebahagiaan atau kematian.
“Wasita nimitanta manemu laksmi/ wasita nimitanta pati kapangguh/ wasita nimitanta manemu dukha/ wasita nimitanta manemu mitra//, “berbicara menyebabkan menemukan kebahagiaan/ berbicara menyebabkan menemukan kematian/ berbicara menyebabkan menemukan duka/ berbicara menyebabkan menemukan sahabat//.
Apa yang dituangkan dalam Nitisastra sesungguhnya refleksi dari hukum karma phala atau hukum sebab-akibat yang sifatnya sangat universal. Bahkan, kutipan dalam Nitisastra menunjukkan betapa hal terpenting yang menjadi penyebab kebahagiaan atau pun ketidakbahagiaan manusia adalah ucapannya. Dari sinilah mungkin lahir ungkapan, “mulutmu harimaumu”.
Umat Hindu amat memuliakan kata-kata. Ini diwujudkan dengan pemujaan kepada Sanghyang Aji Saraswati. Sang Hyang Aji Saraswati tidak saja dimaknai sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan tetapi juga Sang Hyang Wagiswari, Dewi Kata-kata. Itu sebabnya, para kawi biasa menuliskan penghormatan dan pemuliaan terhadap Saraswati atau Wagiswari dalam bait pembuka karya sastra yang ditulisnya. Hari Saraswati yang kembali dirayakan hari ini, Sabtu, 20 Mei 2023, mengingatkan manusia Bali bahwa kata-kata sejatinya adalah anugerah, sehingga mesti dipergunakan untuk memuliakan hidup dan kehidupan ini.
- Penulis: I Ketut Jagra
- Foto: I Ketut Jagra
- Penyunting: I Made Sujaya