
I Wayan Yudana
Oleh I Wayan Yudana
“Apakah ilmu pengetahuan hanya sebatas angka dan nilai akademik, atau ada makna lebih dalam yang perlu kita resapi?”
Pertanyaan reflektif ini mengajak kita untuk merenungkan esensi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu sendiri lebih dari sekadar prestasi akademik, apalagi ukuran angka-angka.
Hari Suci Saraswati merupakan hari yang sangat penting dalam ajaran Hindu. Saat Saraswati, umat merayakan turunnya ilmu pengetahuan sebagai anugerah dari Dewi Saraswati. Dalam konteks pendidikan, hari suci Saraswati lumrah disebut sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Perayaan ini sebenarnya memiliki makna yang lebih dalam, yakni merupakan pengingat akan pentingnya ilmu dan kebijaksanaan dalam membentuk generasi muda yang berkarakter. Sayangnya, dalam praktiknya, aspek seremonial lebih menonjol dibandingkan dengan pemaknaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, perlu adanya refleksi mengenai bagaimana Hari Saraswati dapat lebih diinternalisasi dalam pembentukan karakter siswa.
Bagi umat Hindu, Hari Saraswati adalah perayaan yang diperingati oleh umat Hindu untuk menghormati Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan, seni, dan kebijaksanaan. Perayaan ini biasanya dilakukan setiap enam bulan Bali, yakni Saniscara Umanis Watugunung. Hari ini yang dianggap sebagai hari istimewa untuk merayakan kecerdasan, kreativitas, serta pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia. Tradisi ini memiliki akar yang dalam dalam budaya Hindu (Bali). Hari Saraswati memberi pesan penting bahwa kegiatan pembelajaran dan pencarian ilmu tidak hanya dilihat sebagai proses intelektual tetapi juga spiritual.
Mantenin Buku
Bagi masyarakat komunal, Hari Raya Saraswati sering disebut sebagai pinget atau peringatan mantenin buku. Istilah ini merujuk pada kebiasaan umat Hindu yang pada hari tersebut melakukan ritual khusus terhadap buku-buku yang dimilikinya. Buku diyakini sebagai visualisasi dari Sang Hyang Aksara atau Sang Hyang Aji Saraswati, melambangkan ilmu pengetahuan yang maha suci. Dalam praktiknya, masyarakat menempatkan buku-buku mereka di antara bebantenan yang dipersembahkan di tempat suci sebagai bentuk penghormatan terhadap dewaning ilmu. Oleh karena itu, tradisi ini disebut mantenin buku, yang secara harfiah berarti merawat atau menghormati buku sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
Selain dikenal dengan istilah mantenin buku, perayaan Hari Saraswati juga sering disebut sebagai Kajeng Mubug. Istilah Kajeng Mubug dalam tradisi Bali merujuk pada hari yang diyakini sangat keramat dan sangat baik untuk memulai aktivitas atau pekerjaan baru. Dalam kalender Bali, Kajeng merupakan salah satu dari siklus hari dalam wewaran (Triwara), sedangkan mubug sering diberikan makna penuh atau sempurna.
Oleh karena itu, kajeng mubug berarti hari yang penuh, hari keramat dan paling menguntungkan untuk memulai hal-hal baru. Asal-usul kepercayaan ini berkaitan dengan sistem kalender Bali yang kompleks. Di dalamnya menggabungkan siklus hari dalam awuku (seminggu) dengan siklus pasaran, seperti Umanis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Kombinasi tertentu dari hari dan pasaran dianggap membawa energi positif. Kajeng mubug sendiri adalah salah satu kombinasi yang dianggap paling menguntungkan. Kepercayaan ini menunjukkan bagaimana masyarakat Bali mengintegrasikan pemahaman spiritual dan praktis dalam kehidupan sehari-hari, dengan memilih waktu yang dianggap paling tepat untuk memulai aktivitas penting, terutama mempelajari ilmu pengetahuan baru.
Secara tradisi, pengertian buku dalam perayaan Saraswati juga mengacu kepada buku dalam arti kertas, lontar dan prasasti. Semua jenis tersebut merupakan wujud fisik hadirnya sastra tulis. Oleh sebab itu, dalam praktiknya, masyarakat tidak hanya menghormati buku kertas modern tetapi juga menghormati berbagai jenis media sastra sebagai sumber ajaran leluhur yang mengandung kebijaksanaan. Semua jenis sastra tersebut berperan penting dalam penyebaran ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Selain itu juga semua jenis media tersebut merupakan media utama dalam penulisan ajaran-ajaran suci dan kearifan lokal.
E-book
Namun demikian, di era digital saat ini, esensi buku tidak lagi terbatas pada buku cetak atau lontar. Perkembangan teknologi telah melahirkan buku elektronik (e-book). Pada era kesejagatan saat ini penggunaan e-book telah jauh melampaui buku cetak konvensional. Hal ini menimbulkan pertanyaan, “Bagaimanakah umat Hindu memaknai e-book dalam konteks Hari Saraswati?”.
Jika pada zaman dahulu penghormatan terhadap ilmu diwujudkan dengan merawat buku fisik, kini penghormatan tersebut semestinya dapat diwujudkan dengan cara menjaga integritas dalam perolehan dan penyebaran ilmu pengetahuan secara digital. Misalnya, dengan tidak menyebarkan informasi hoaks, menggunakan sumber belajar yang kredibel dan mengembangkan literasi digital secara bijaksana.
Dalam era digital ini, pendidikan dituntut untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Ini berarti, dunia pendidikan wajib mengintegrasikan alat dan sumber daya digital ke dalam proses pembelajaran tanpa mengabaikan esensi dari Hari Saraswati. Esensi yang dimaksud yaitu penghormatan terhadap ilmu pengetahuan yang holistik. Sebagai contoh, meskipun penggunaan teknologi memberi akses mudah dan cepat kepada berbagai materi, akan tetapi nilai-nilai, seperti kebijaksanaan, rasa hormat terhadap tradisi, dan hormat kepada guru yang menghantarkan ilmu pengetahuan harus tetap dijaga.
Pengembangan karakter ini mesti digiatkan. Sekolah-sekolah bisa memanfaatkan teknologi untuk memfasilitasi pembelajaran yang lebih interaktif dan efisien. Namun demikian pembelajaran tetap menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam hari Saraswati, seperti pentingnya rasa hormat terhadap guru, menjaga adab dan mengutamakan kualitas pendidikan sebagai wujud pengabdian kepada ilmu.
Hoaks
Secara filosofis, Hari Saraswati menegaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah sumber cahaya yang menerangi kehidupan manusia. Dewi Saraswati digambarkan sebagai sosok cantik yang membawa kitab, alat musik, dan genitri, yang masing-masing melambangkan kebijaksanaan, seni, dan spiritualitas. Dalam era modern yang dipenuhi arus informasi digital, pemahaman terhadap nilai-nilai ini menjadi semakin penting agar siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan secara akademik semata. Di dalamnya juga mengembangkan moralitas, etika, dan kebijaksanaan dalam penerapannya. Tantangan seperti hoaks, penyalahgunaan teknologi, dan rendahnya etika dalam bermedia sosial menjadi pengingat bahwa ilmu harus dikembangkan dengan nilai-nilai kebajikan.
Ilmu bukan sekadar alat untuk mencapai nilai akademik tetapi juga sebagai bekal kehidupan. Oleh karena itu, siswa harus didorong untuk belajar dengan semangat dan rasa syukur, bukan hanya karena tuntutan sekolah, melainkan sebagai bagian dari pengabdian kepada ilmu itu sendiri. Belajar dengan penuh kesadaran dan menghargai ilmu pengetahuan dapat membentuk karakter disiplin dan bertanggung jawab. Kegiatan membaca, menulis, dan berdiskusi seharusnya menjadi kebiasaan yang ditanamkan sejak dini sebagai bagian dari perayaan Saraswati yang lebih bermakna.
Ilmu tanpa moral dan etika dapat menjadi pedang bermata dua. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa ilmu harus digunakan untuk kebaikan dan kemajuan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi yang merugikan orang lain. Perayaan Saraswati juga dapat menjadi momen untuk menumbuhkan solidaritas dan kebersamaan. Kegiatan seperti diskusi reflektif, pengabdian masyarakat, dan gerakan literasi bisa menjadi cara untuk menginternalisasi nilai-nilai Saraswati ke dalam kehidupan sehari-hari.
Selain di sekolah dan kampus, hari Saraswati juga dirayakan di berbagai lapisan masyarakat, seperti tempat metamba (balian/dukun), kantor instansi pemerintah dan swasta, serta pemujaan awig-awig adat di pura, di gedong suci, dan pemerajan. Sayangnya, banyak perayaan Saraswati masih dilakukan secara konvensional yang lebih menitikberatkan kepada ritual dibandingkan dengan pemaknaan esensialnya. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk menghidupkan kembali filosofi Saraswati dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam dunia pendidikan.
Pemaknaan Hari Saraswati seharusnya bukan sebagai perayaan ritual semata. Tapi juga sebagai momen reflektif dalam menumbuhkan semangat belajar. Selain itu membentuk karakter siswa yang berilmu, beretika, dan bertanggung jawab. Dengan menginternalisasi nilai-nilai Saraswati ke dalam budaya sekolah, kita tidak hanya menghormati tradisi. Namun, juga mempersiapkan generasi yang lebih siap menghadapi tantangan zaman dengan kebijaksanaan dan integritas. Menjadikan Hari Saraswati sebagai perayaan berkelanjutan untuk menanamkan semangat belajar yang beretika dan penuh makna merupakan harapan mulia untuk masa depan.
- Penulis adalah Kepala SMKN 1 Petang
- Foto: I Made Sujaya
- Penyunting: I Made Sujaya