Oleh I Wayan Artika
Infrastruktur kesenian Bali, karena pandangan buruk kolonialisme Barat, ditarik garis demarkasi antara Barat dan Timur, mencipta kelas tradisional; telah terbukti kuat dan teruji zaman. Karena kondisi demarkasi itu, secara poskolonial, tidak mesti harus menggunakan label ”tradisional” pada berbagai genre kesenian Bali. Jangan lagi berpikir atau berpandangan kesenian Bali adalah kesenian tradisional. Keseneian Bali cukup “kesenian Bali”. Jangan lagi ada embel-embel “tradisional”.
Namun demikian, Bali tetap terbuka oleh pengaruh kesenian yang terbawa dalam kontainer kolonial: kesenian modern. Hal ini ditemukan pada teater, sastra, tari, musik, seni rupa. Gara-gara penjajah dan sikap masyarakat yang bersedia dikolonialisasi walaupun juga jauh setelah mendekati sepuluh windu kemerdekaan; Bali mengenal dua kutub kesenian. Tradisiobal dan modern.
Infrastruktur kesenian Bali dengan keras dan tegas menolak paham seni untuk seni. Di Pulau Bali berbagai genre kesenian terintegrasi dan berkonstelasi secara aksiologis dan pragmatis dengan infrastruktur lainnya, seperti adat, piodalan atau upacara suci di pura, peralihan hidup (dari lahir hingga mati).
Karena itu, kesenian Barat yang baru datang sudah pasti tidak memiliki fungsi dalam masyarakat Bali. Aneh atau ganjil! Inilah pandangan yang paling kuat orang Bali terhadap kesenian Barat (dalam esai ini dengan sangat terpaksa disebut kesenian modern).
Berhadapan dengan kondisi ini, para penganut seni modern yang adalah muntahan dari mulut penjajah yang (kita) jilat di masa lalu, tahu jika masyarakat Bali sangat sulit menerima kesenian modern yang tidak diterimanya sebagai kesenian. Di tengah marginalisasinya, para seniman modern di Bali, terus-menerus berjuang agar mendapat ruang. Perjuangan ini telah terbukti sangat gagal. Kutub kesenian Bali dan kesenian modern (di Bali) adalah dikotomi semu. Yang ada sejatinya hanya kesenian Bali.
Tidak ada kesenian modern di Bali. Jika ini ada, tidak lebih dari ilusi kolonialistik!
Kesenian modern yang ilusif itu tidak mungkin membangun karya atau membangun infrastruktur di tengah masyarakat Bali karena ia masih berkutat pada yang menjadi prioritas, yakni berjuang mendapat ruang; untuk menawar marginalisasi. Tetap gagal!
Namun demikian, kuatnya infrastruktur kesenian di Bali, toh Budayawan Prof. Ida Bagus Mantra, rada-rada khawatir. Jika suatu saat nanti kesenian Bali tergerus, akibat transformasi atau perubahan-perubahan yang melanda Bali di masa depan. Dengan sigap, satu benteng politik kesenian dibangun: Pesta Kesenian Bali (PKB). Kala itu, PKB adalah solusi untuk melestraikan kesenian Bali. Tapi memasuki dekade-dekade kemudian, setelah menjelang setengah abad, fungsi PKB ternyata bukan lagi pelestraian semata. PKB yang menjadi satu-satunya pembangunan kesenian secara berkenajutan di Indonesia atau di dunia, ibarat amanah, tetap diteruskan oleh seluruh bupati dan wali kota se-Bali semenjak 1979. Dan, puncaknya adalah pada PKB Provinsi Bali yang berlangsung sebulan penuh, bersamaan dengan liburan kenaikan kelas sekolah.
PKB secara poskolonial bukan lagi sebatas pelestraian kesenian Bali. PKB adalah sikap antikolonial dalam kesenian lewat pembangunan sektor seni secara berkelanjutan. Terbukti dalam PKB kesenian Barat yang identik dengan kolonialisme tidak pernah mendapat ruang. Dalam kerangka kesenian, masyarakat Bali sama sekali bebas dari kolonialisasi.
Cara pandang yang keliru terhadap kesenian Barat yang lebih diagungkan dan diperlawankan dengan kesenian Bali, adalah pilihan untuk tetap terjajah. Tapi hal ini sering direduksi atas nama kemajuan kesenian dan sikap menolak atau perlawanan terhadap kesenian Bali.
Sepanjang sejarah, hingga Gubernur Made Mangku Pastika, kesenian Bali tetap ajeg, sebagaimana diwujudkan oleh PKB pada saban tahun. Selama tahun-tahun pelaksanaannya itu, perhatian masyarakat Bali tersedot ke arena Art Centre di Abian Kapas. PKB mengalami sedikit turbelensi ketika Bali ada di bawah pemerintahan Bapak Gubernur Wayan Koster. Gara-gara pada masa ini kesenian modern diberi ruang untuk bersanding dengan musuhnya, yaitu dengan lahirnya “PKB” kesenian modern, yakni Festival Seni Bali Jani”. Kata ”jani” dalam istilah ini adalah penyamaran sehingga festival ini terasa nyaman, dilakukan beberapa hari saja setelah PKB ditutup. Apa lacur, selama hanya beberapa tahun pelaksanaannya, Festival Seni Bali Jani, masih sebagai paksaan. Dimungkinkan memang ketika program kesenian dibiayai oleh uang yang diperoleh melalui kong kali kong politik.
Sejalan dengan dikotomi kesenian di Bali, pertunjukan arja mahasiswa Pendidikan Bahasa Bali, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha (Singaraja), patut mendapat satu catatan. Pertunjukan arja ini seratus persen sejalan dengan pakem arja. Tidak ada pretensi untuk ”main-main” atau berparodi ria, yang hanya menghadirkan kedangkalan, dan humor-humor cabul. Lewat mata kuliah drama yang diampu oleh Dr. I Wayan Wisnu, mahasiswa memasuki tanah dan air bahasa dan sastra Bali. Di dalam arja ini mahasiswa belajar secara holistik dan asli mengenai beberpa hal, seperti dramaturgi arja yang sejalan dengan pakem, berbagai genre tembang atau irama untuk menyampaikan dialog, tabuh, tarian, humor, dan lay out panggung.
Pilihan mempelajari kesenian arja yang sesuai pakem adalah sikap untuk menghancurkan garis demarkasi kolonial yang melahirkan kesenian tradisional dan kesenian modern; dan lebih-lebih lagi adalah karena masih diterima sebagai kebenaran. Atas asuhan Dr. I Wayan Wisnu, S.S, M.Hum., mahasiswa telah membawa arja ke era saat ini: digitalisme atau generasi Z. Pertunjukan arja ini tidak lagi hanya sebatas perjalan kilas-balik ke masa lalu, melewati garis demarkasi yang amat menistakan kesenian Bali.
Arja sebagaimana ditampilkan di wantilan Trunajaya (Kampus FBS) tidak lagi terbelenggu oleh label kategorisasi kolonial: sebagai kesenian tradisonal, lawan kesenian modern. Dalam hal ini arja hanyalah kesenian yang tetap hidup di tengah masyarakat Bali yang berubah. Arja sama sekali bukan sebagai masa lalu. Hanya jika pikiran dalam kondisi terkolonialisasi saja-lah yang memaksa memandang arja sebagai kesenian tradisional, kesenian dari masa silam.
Mata kuliah drama dalam kurikulum Prodi Pendidikan Bahasa Bali, FBS, Universitas Pendidikan Ganesha, yang diwujudkan dengan pilihan pada arja, sampai kepada pementasan yang sukses pada 19 Juli 2024 malam merupakan sebentuk sikap dalam menyudahi kolonialisme dalam pikiran dengan dan dengan sendirinya juga mendobrak garis demarkasi yang memisahkan dua wilayah kesenian: tradisional dan modern.
Di tengah infrastruktur kesenian Bali yang kuat karena kesenian terintegrasi dalam berbagai infrastruktur kehidupan yang lebih luas, didasari oleh pengagungan pragmatisme; Bali sejatinya tidak membutuhkan kesenian modern. Bali telah terbukti sanggup membawa berbagai cabang atau genre keseniannya ke masa depan, hingga hari ini, ketika era disrupsi.
Pilihan pada arja dan bukan pada bentuk drama dengan pakem yang tidak karuan, pentas mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Bali ini telah membuktikan bahwa arja sama sekali bukan masa lalu, milik generasi terdahulu. Tetapi, arja adalah masa kini milik genrasi Z.
- Penulis merupakan dosen Undiksha dan pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali.
- Foto: I Wayan Artika
- Penyunting: I Made Sujaya