Oleh I Wayan Artika
Yang disebut “seni” oleh Barat, sejatinya bagi orang Bali tidak penting. “Seni”, jika kata ini terpaksa digunakan, lebur dengan pemujaan sosial. Selonding misalnya, merupakan salah satu aspek dalam pemujaan sosial Tenganan Pagringsingan, hadir bersama dengan aspek lainnya, seperti ayunan jantra, pertarungan laki-laki dalam makare-kare, tata rias para daa yang mengenakan tekstil dobel ikat. Demikian pula dengan sarad, sesamuhan aneka rupa bentuk dan warna, sate warna, pragembal, wayang, gambuh, calonarang, topeng sidakarya, aneka genre baris, semara pagulingan, sanghyang, pendet, rejang, barong, patulangan, bade, tabuh rah, nglawang, hingga makotek, dan masih banyak lainnya.
Warisan buruk kolonial kepada Bali tentu saja garis demarkasi antara seni dan pemujaan atau habitus-habitus utamanya. Barat memurnikan seni dan mencopot dengan begitu gampangnya dari konteks-konteks narasi besar Bali. Bagi Barat, seni adalah satu kondisi fine. Yang lebih buruk tanpa disadari adalah terjadinya komodifikasi seni yang mana sama sekali tidak ada dalam kebudayaan Bali sebagaimana digariskan dalam konsep ngayah pada berbagai aspek kehidupan orang Bali yang berlandaskan filosofi trihita karana.
Perut Lapar: Komodifikasi
Terjadi kombinasi antara kecerdasan dan kelicikan kolonialis Belanda ketika menaklukkan Bali. Apa alasan perut laparnya? Alasan eksploitasi apa terhadap Bali? Bukankah pulau ini hanya titik di Pasifik, sebagaimana ditulis Miguel Covarrubias dalam Island of Bali; yang sudah tentu tidak memiliki lahan yang luas untuk menanam kina, kopi, teh, tebu, tembakau; juga tidak ada kandungan tambang apa pun di dalam perut Pulau Bali yang hanya kubangan magma sebagai konsekuensi pulau vulkanik yang tumbuh dalam jalur cincin api (ring of fire). Apa yang akan disumbangkan Bali untuk menumpuk kekayaan Ratu Wilhelmina?
Tapi akhirnya perut lapar kolonialis menemukan alasan yang kuat sehingga melenggang pada penaklukan Bali. Alasan perut lapar itu jatuh pada potensi budaya dan kesenian Bali. Hal ini layak dijual di Eropa dalam industri pelancongan ke negeri-negeri Timur dalam rangka menemukan kembali eksotisme Eropa yang diberangus oleh Revolusi Industri, rasionalisme, dan modernisasi. Lantas, untuk sebuah iklan pada berbagai ekspo di Eropa, Bali dijual dengan kemasan yang amat cantik: “Pulau Dewata”, “Pulau Seribu Pura”, “Sorga Terakhir”, hingga menyebut “Pulau Pembawa Buah Dada” secara biadab. Belanda sukses menjual Bali dan para pelancong berdatangan ke Bali sejak masa-masa iklanisasi Bali di Eropa.
Pariwisata Bali saat ini memang warisan pariwisata kolonial dengan dinamika sedemikian rupa karena telah terjadinya alih generasi di dunia namun rupanya sebutan-sebutan iklanisme Bali yang kolonialis tetap digunakan dan kondisi pikiran orang Bali yang terkolonialisasi sampai saat ini selalu tunduk pada pernyataan-pernyataan bahwa Bali adalah pariwisata. Hanya perspektif poskolonial atas Bali-lah yang sanggup memandang ulang Bali sehingga ada satu kesadaraan betapa pandangan-pandangan kolonialis terhadap Bali sangat tidak sopan. Karena, orang Bali pasti tidak sejemawa itu, dengan menyebut pulau tempat tinggalnya “sorga terakhir” atau pulau para dewa,
Dampak komodifikasi kolonial bagi Bali adalah pemisahan antara seni dan berbagai aktivitas pemujaan yang menjadi habitusnya. Seni diubah menjadi objek foto atau tontonan yang menambah “lezat” santapan para pelancong di “Pulau Pembawa Buah Dada” atau sebagaimana judul sebuah film yang menjadi tempat bagi K’tut Tantri, penulis Revolt in Paradise menemukan tanah impiannya, Bali the Last Paradise atau Bali Sorga terakhir. Pemisahan seni dari kehidupan yang dikembangkan oleh Barat terhadap Bali, kelak berlangsung memasuki dekade-dekade mendatang. Pandangan ini semakin kuat dan berterima ketika Bali ada dalam arus utama industri pariwisata kelas dunia dan ketika memiliki lembaga-lembaga pendidikan seni formal, sekolah tingkat menengah hingga institut seni. Lembaga-lembaga ini berkontribusi besar dalam pendidikan seni namun tidak pernah bisa melepaskan diri dari perspektif fine art Barat.
Narasi Besar Kesenian Bali
Setelah kolonialisme berakhir secara politik namun tetap berjalan dalam wilayah pariwisata dan Bali memasuki politik era kemerdekaan, memasuki Pemerintahan Presiden Soekarno hingga masa Presiden Soeharto, komodifikasi seni ternyata diterima secara positif karena seni (tarian dan kerajinan) memberi kesejahteraan ekonomi. Industri seni dan kerajinan menyediakan berbagai lapangan kerja. Pasar seni bertumbuh pesat di Bali.
Namun demikian, pandangan kritis budayawan Bali, seorang gubernur, Prof. Ida Bagus Mantra, memberi petunjuk yang “menggelisahkan”. Prof. Ida Bagus Mantra khawatir menyaksikan dinamika komodifikasi kesenian. Di samping itu, beliau juga menangkap gejala semakin terkuburnya seni tradisional ketika orang Bali terlibat aktif di dalam kancah globalisasi dan pariwisata dunia di Bali. Inilah yang menjadi alasan ketika Gubernur Mantra menancapkan “patok” bernama PKB (Pesta Kesenian Bali) pada tahun 1979. Gagasan ini berterima dengan sangat baik dan merupakan sebuah agenda pembangunan kebudayaan yang berkelanjutan.
PKB yang dilaksanakan di pusat Pulau Bali, Kota Denpasar, di sebuah tempat yang diberi nama Art Centre (di Desa Abian Kapas) setiap tahun bertepatan dengan libur sekolah, sebulan penuh, dengan berbagai mata kegiatan (pawai, pagelaran, lomba, sarasehan, permainan); menjadi barometer perkembangan kesenian Bali yang berkelanjutan, merupakan ruang-ruang urban bagi kesenian Bali, namun yang mana habitusnya tetap di desa atau banjar-banjar dengan daya dukung ekonomi padi atau agraris.
Kehebatan gagasan Prof. Ida Bagus Mantra dalam bidang visi politik kesenian telah teruji dan siapa pun gubernur penerusnya, PKB tetap dijalankan dan semakin maju serta penuh dinamika saban tahun. PKB adalah puncak perkembangan kesenian Bali di era urban dan ketika zaman global hadir bersama industri pariwisata kelas dunia di Bali. Tidak bisa dibayangkan, PKB nyaris telah memasuki setengah abad. Selama itulah PKB semakin maju sebagai sebuah pesta kesenian yang sudah mendunia.
Rupanya semua gubernur setelah Prof. Ida Bagus Mantra tidak ada yang memiliki visi kesenian dan kebudayaan yang dapat menandinginya atau semata-mata karena memandang kesenian kurang relevan dengan politik. Namun demikian, mereka menerima betapa pentingnya kebudayaan dan kesenian sehingga untuk hal inilah mereka meneruskan gagasan besar PKB dalam bidang kesenian dan kebudayaan Bali.
Di tengah kemapanan dan perkembangan yang terus meningkat, PKB menuai kritik karena ditengarai terjadinya penganaktirian atau marjinalisasi seni modern di Bali. PKB mengusung narasi besar kesenian Bali yakni keadiluhungan kesenian tradisional Bali. Arena PKB hanya bagi kesenian tradisional. Tidak ada ruang bagi kesenian-kesenian modern, seperti film, teater, tari modern, pertunjukan sastra, dll., dalam PKB.
Bertahun-tahun kritik terhadap narasi besar PKB adalah identik dengan kesenian tradisional; pada akhirnya PKB berbagi ruang dengan kesenian modern. Namun, apa lacur, kesenian-kesesian modern di arena PKB menuai pengalaman pahit. Panggung-panggungnya sunyi penonton. PKB telah menjawab, tampilnya kesenian modern di PKB bukan soal ruang yang adil dan sebuah pengakuan tetapi soal apresiasi masyarakat. Masyarakat Bali rupanya tidak bisa menerima kesenian-kesenian modern. Ketimbang menonton monolog atau teater barat atau musikalisasi puisi di panggung PKB, lebih baik mereka menyimak janger atau nonton joged goyang ngebor di Kalangan Ayodya.
Pertarungan tradisionalisme dan modernisme dalam sektor kesenian tidak terjadi pada dunia sastra. A.A. Pandji Tisna, Putu Wijaya, Gede Aryantha Soethama, dan Oka Rusmini tidak mengalami hal itu karena mereka telah mendapat ruang kiprah modern yang baru, yaitu di dalam habitus keindonesiaan. A.A. Pandji Tisna tidak merebut ruang kesenian sastra di wilayah kesenian puri yang tradisiononal, bagi serangkaian romannya seperti Dewi Karuna, Ni Rawit Ceti Pendjual Orang, Sukreni Gadis Bali, I Swasta Setahun di Bedahulu; tetapi mendapat ruang itu pada kesusastraan Indonesia sebagai sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Putu Wijaya berkarya dalam dunia teater Indonesia modern dunia di ibu kota (Jakarta). Gede Aryantha Soetama menulis cerpen untuk pembaca Indonesia melalui publikasi di Kompas, Horison, dan penerbitan karya-karyanya di PT Gramedia. Yang lebih mutakhir adalah Oka Rusmini dengan novel-novel yang menggugat patriarkhi Bali sehingga lewat Tarian Bumi, misalnya wajah Bali dihadirkan dengan cara yang berbeda.
Gubernur Wayan Koster: Anomali
Pada konteks politik semacam inilah, ketika ruang untuk kesenian modern yang nyata-nyata tumbuh di Bali nyaris tertutup karena dipandang bukan sebagai narasi besar kesenian Bali ala PKB, Gubernur Wayan Koster hadir sebagai sebuah anomali dengan salah satu item pembangunan keseniannya yang dapat diberi label Festival Seni Bali Jani (FSBJ). Hampir setengah abad, baru muncul gubernur yang memiliki visi baru yang berani “melawan” atau menyandingi narasi besar kesenian PKB. Lewat FSBJ, Gubernur Wayan Koster ingin memberi ruang khusus bagi kenyataan modernisme, kekinian seni Bali. Inilah arti penting Seni Bali Jani, menancapkan satu tonggak baru. Karena itulah FSBJ yang tahun ini sudah memasuki tahun ke-4 adalah tonggak kedua pembangunan kesenian setelah PKB, nyaris baru setengah abad kemudian. Selama periode itu, PKB memang satu potret kemapanan dan rutinitas.
FSBJ adalah jalan lain kesenian Bali. Sikap Gubernur Wayan Koster sangat tegas dan jelas, namun realistik visioner dalam pembangunan kesenian yang dilandasi oleh suatu politik kebudayaan yang dibangun; tidak untuk sekadar berbagi ruang dengan PKB. Justru dibangun atau disediakan satu ruang tersendiri: Festival Seni Bali Jani (FSBJ) dan sebuah Pusat Kebudayaan Bali. Gubernur Wayan Koster, lewat FSBJ seolah tengah merevisi “mitos” PKB. Gubernur Koster telah menjawab komplain-komplain seniman Bali modern. Ia seolah tak ubahnya seperti “sinterklas” kebudayaan, datang membawa ruang bagi seni dan kesenian modern di Bali. FSBJ yang berisi kesenian modern (jani), seperti sastra atau teater barat adalah ruang keniscayaan bagi kehidupan kesenian Bali. FSBJ menyatakan bahwa dari aspek kesenian/kebudayaan Bali bukan monokultur tetapi paling tidak dwikultur.
Di tengah iklim anomali berkesenian modern di Bali yang sangat baik ini, yang patut dipahami adalah persoalan habitus seni Bali jani. Habitus lokal Bali bukanlah arena bagi seni Bali jani karena ruang apresiasi itu sudah dipegang oleh masyarakat Bali yang menganut tradisionalisme berkesenian. Seni Bali jani berebut ruang nasional dan internasional. Maka, harapan besarnya adalah periode kepemimpinan Gubernur Wayan Koster.
Pada periode kedua pemerintahan Gubernur Wayan Koster adalah waktu yang cukup untuk meraih habitus FSBJ di Indonesia dan di dunia internasional. Seniman Bali modern berkarya di Bali dalam berbagai genre seni modern tetapi terijektorinya adalah Indonesia dan internasional. Inilah arah FSBJ pada periode lima tahun yang akan datang. Akan makin jelas batas-batas tradisi dan modern pada konteks kesenian/kebudayaan. Seni tradisi berdinamika dan berdialog ke dalam. Sebaliknya seni modern berdinamika ke luar, dalam kerangka meraih habitus-habitusnya. Jika dulu Belanda melakukan komodifikasi kesenian tradisi maka basis FSBJ adalah produksi dan industri (industri kreatif). Dengan itulah FSBJ bukan lagi sebatas upacara.
- Penulis bernama lengkap Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. Kini tercatat sebagai dosen di Univesitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja. Selain mengajar, Artika juga sebagai pegiat literasi akar rumput di Komunitas Desa Belajar Bali di kampungnya di Desa Batungsel, Kecamatan Pupuan, Tabanan.