Kesulitan hidup, betapa pun beratnya, tak pantas disesali. Justru, tumpukan persoalan yang dihadapi merupakan pelecut untuk bangkit dan menjadi pemenang. Semacam vitamin jiwa yang membuat seseorang menjadi lebih kuat, bahkan melampaui apa yang dibayangkan bisa dicapai.
Guru besar sastra Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., tampaknya memegang erat pandangan tentang hidup yang harus terus diperjuangkan, betapa pun berat tantangan yang dihadapi. Lelaki kelahiran Banjar Pande, Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Bali, 18 Juni 1957 ini tumbuh dalam keluarga yang secara ekonomi kurang mampu. Bahkan, saat masih duduk di bangku SMP pada tahun 1969, bersama dua sahabatnya yang bernasib sama ditinggal ibu kandung dan diasuh ibu tiri, Nyoman Weda Kusuma sempat menjadi tukang sapu di Pasar Blahbatuh.
Kisah ini diceritakan Weda Kusuma saat memberi sambutan pada acara peluncuran buku Wija Kusuma: Persembahan Peringatan 65 Tahun Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., di auditorium Kampus FIB Unud, Sanglah, Denpasar, 8 September 2022 lalu. Buku yang dieditori dosen Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali, I Made Sujaya itu memuat 28 artikel karya mahasiswa S2 dan S3 Prodi Linguistik Konsentrasi Wacana Sastra dan Prodi Kajian Budaya yang pernah dibimbing Weda Kusuma. Peluncuran buku dihadiri Dekan FIB Unud, Made Sri Satyawat, Ketua Forum Guru Besar Unud yang juga mantan Rektor Unud, I Made Suastika, sejumlah guru besar Unud, dosen serta mahasiswa di lingkungan FIB Unud. Peluncuran bertepatan dengan peringatan Hari Aksara dan Literasi Internasional.
“Banyak suka dan duka yang kita rasakan bersama-sama. Penempaan diri itu menjadikan saya lebih tegar menghadapi tantangan dalam kehidupan ini,” kata Nyoman Weda.
Namun, Weda memiliki modal berharga yang tak pernah habis, yakni semangat untuk belajar. Putra pasangan I Wayan Taker dan Ni Ketut Suti ini yakin dengan kesungguhan hati menempuh pendidikan, kesuksesan mampu diraihnya. Dia bisa melanjutkan pendidikannya. Tak hanya tamat SMA, Weda Kusuma bisa menapaki jenjang pendidikan tertinggi. S1 diselesaikan di Fakultas Keguruan Unud dan Jurusan Sastra Indonesia Unud, S2 di Universitas Gajah Mada, serta S1 di Universitas Indonesia. Pada akhirnya, Weda Kusuma yang mengabdikan dirinya sebagai dosen di Unud, meraih jabatan akademik tertinggi sebagai seorang profesor pada 29 April 2006, saat berusia 47 tahun.
Weda Kusuma dikenal sebagai akademisi yang memiliki perhatian besar pada naskah-naskah tradisional dan tradisi lisan. Ada tiga bukunya yang memonumenkan hasil penjelajahannya di dunia naskah: (1) Kakawin Usana Bali Karya Danghyang Nirarta (Pustaka Larasan, 2005), Naskah-naskah Karya I Gusti Ngurah Made Agung Pemimpin Perang Puputan Badung Tahun 1906: Transliterasi dan Terjemahan (Pemerintah Kota Denpasar, 2006), dan Geguritan Nengah Jimbaran Karya I Gusti Ngurah Made Agung (Pemimpin Puputan Badung Tahun 1906) (Pustaka Larasan, 2011).
Weda Kusuma tampaknya sadar betul dengan tanggung jawab kulturalnya sebagai cendekiawan Bali. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bidang ilmu sastra di Faksas Unud, 29 April 2006, dia merespons wacana ajeg Bali yang menghangat di kalangan masyarakat Bali saat itu. Menurutnya, mengajegkan budaya Bali berarti menggali, mengembangkan, mendalami, dan melestarikan aspek-aspek kehidupan yang telah diwariskan para leluhur, di antaranya ajaran agama Hindu, karya sastra/naskah, bahasa Bali, kesenian Bali, dan tradisi masyarakatnya. Prof. Weda lalu mengajukan pertanyaan bernada retoris: “Kalau tidak kita (orang Bali) siapa lagi yang akan diharapkan mengajegkan budaya Bali?”
Bali, Mata Air yang Tak Pernah Surut
Editor buku Wija Kusuma, I Made Sujaya menilai Weda Kusuma memang memiliki komitmen kuat kepada naskah, tradisi, maupun kearifan lokal, khususnya Bali. Dalam setiap perkuliahan, Weda Kusuma selalu mengingatkan mahasiswanya untuk memberi perhatian pada naskah, tradisi, dan kearifan lokal Bali.
“Bali memang laksana mata air yang tak pernah surut. Air pengetahuan dari Bali tidak akan pernah habis ditimba, bahkan terus mengalir ke berbagai telaga pengetahuan,” kata Sujaya.
Mengutip cendekiawan Belanda, Henk Schulte Nordholt, Sujaya menyebut Bali menjadi salah satu tempat di dunia yang banyak dikaji. Sampai tahun 1990 tercatat ada 1.800-an buku tentang Bali. Kini tentu buku-buku tentang Bali sudah berlipat-lipat. Namun, selalu muncul ketidakpuasan atas berbagai tulisan itu, terutama yang ditulis peneliti dan penulis asing yang dinilai tidak akurat menggambarkan Bali. Ini, kata Sujaya, tentu sebuah tantangan bagi peneliti dan penulis Bali untuk menulis Bali dari dalam, dengan cita rasa khas Bali.
Sujaya lalu menambahkan, sejak lama mengemuka dorongan agar orang Bali, intelektual Bali, percaya diri merumuskan kebudayaannya sendiri yang kompleks dan terus mengalami perubahan itu. Dengan begitu, paling tidak, orang Bali, intelektual Bali ikut terlibat aktif dalam produksi wacana dan konstruksi kebudayaan Bali. “Walau tak mungkin menghindari relasi kuasa dalam dunia ilmu pengetahuan, setidaknya adanya keseimbangan antara suara dari luar dan suara dari dalam mengenai wacana dan konstruksi kebudayaan Bali,” tandas dosen yang juga mantan wartawan ini. (b.)
- Laporan: I Nyoman Dhirendra
- Foto: Istimewa
- Editor: I Ketut Jagra