Sosok seniman arja Ni Wayan Murdi begitu melambung namanya di era 80-an. Kepiawaiannya memerankan peran Mantri Manis tak tertandingi. Masyarakat penggemar kesenian arja selalu menunggu aksi pentasnya. Saat ini ketika kesenian arja nyaris tak terdengar, sosok Ni Wayan Murdi turut luput dari perhatian.
Perempuan kelahiran 1945 kini lebih banyak menghabiskan waktunya lebih di rumahnya di Banjar Tegalkuwalon, Desa Sumerta Kaja, Denpasar Timur. Ditemui di sela-sela upacara keagamaan di banjar setempat belum lama ini, Murdi menceritakan dirinya sama sekali tak pernah bercita-cita menjadi seniman arja. Apalagi bapaknya, I Nyoman Pugra, tidak mengizinkan putri semata wayangnya itu berkecimpung di bidang seni.
“Perjalanan hidup yang telah saya lalui, mengajarkan saya jika manusia hanya bisa berusaha, selanjutnya itu kuasa sang pencipta,” ujarnya sembari tersenyum.
Namun, Murdi punya keyakinan jika aktivitas berkesenian yang dilakoni separuh lebih hidupnya karena sang ayah. Tak ubahnya seperti kata pepatah, “buah itu jatuh tak akan jauh dari pohonnya”. Bakat dan ketertarikan Murdi di bidang seni, rupanya menurun dari bapaknya, seorang seniman topeng sejati, yang mendedikasikan kemampuannya di bidang seni hingga akhir hayat.
Murdi yang mengaku ingatannya sudah tidak baik, bertutur jika masa kanak-kanaknya lebih banyak dihabiskan di rumah. Namun, sesekali dia memaksa untuk ikut sang ayah pentas. Dari situ kecintaannya pada seni mulai tumbuh. Awalnya, sang ayah tak mau melatih Murdi kecil. Berkat keteguhan prinsip Murdi, sang bapak pun turun tangan dengan melatih putri kesayangannya. Gaya khas bapaknya dalam menari pun tercermin dalam setiap gerak tari Murdi.
Tampil memerankan tokoh Mantri Manis pada pementasan topeng prembon, menjadi awal aksi panggung Murdi di hadapan ratusan penonton. Melihat agem dan karakternya memerankan tokoh yang terbilang sulit, membuat sang bapak luluh dan mengizinkan Murdi mengikuti jejak kesenimanan bapaknya. Murdi harus rela menunggu dan dilatih langsung bapaknya di halaman rumahnya. Hampir tiap sore dia berlatih.
Tak seperti kebanyakan anak-anak sebayanya yang tidak menempuh pendidikan formal, Murdi pun ditantang bapaknya agar sekolah. Pendidikan dasar yang waktu itu bernama sekolah rakyat ditempuh di Kesiman. Murdi lalu melanjutkan ke KKP yang saat ini sederajat dengan SMP di Jalan Surapati Denpasar. Tak cukup sampai di sana, dia pun melanjutkan ke KPAA, jenjang sekolah yang sederajat dengan SMA atau SMK saat ini.
“Bapak jika sudah tidak di atas panggung, sosok yang sangat tegas dan disiplin. Sangat berbeda jika di panggung sangat lucu dan menghibur,” katanya.
Berkat kemampuannya sebagai penari arja, Murdi mendapat tawaran bergabung dengan Sekaa Arja Radio Republik Indonesia (RRI) Denpasar. Peran Mantri Manis begitu melekat pada dirinya. Berkat itu pula dia diangkat menjadi pegawai negeri di radio milik pemerintah itu.
Pada era tahun 60-an, kesenian arja benar-benar menjadi primadona. Tak hanya disibukkan jadwal pentas di Bali dan luar Bali, Murdi pun sempat beberapa kali mengadakan lawatan seni di sejumlah negara, seperti Perancis, Belanda dan Italia. Bagi Murdi menekuni kesenian arja bukan semata-mata materi materi. Baginya, ada kepuasan batin ketika kesenian arja disukai masyarakat. Karena itu, Murdi prihatin kini arja semakin tersisih. Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kesenian drama tari khas Bali ini akan punah.
“Pemerintah mesti melestarikanarja. Tak ada alasan untuk membiarkan arja tergerus zaman,” imbuh perempuan yang memilih melajang seumur hidupnya ini. (b.)
Penulis: Astra Prayoga