I Tua Magending
I
Tiang i tua
lega milu ngulat gita
anggon negul tuuh
pinaka tirta pamayuh
II
I tua egar girang
makidung lan nembang
merasa awak tan pakadang
munyin kidunge pirengang
III
Mangkin makinkin mulih kagumi wayah
ngelus banda panak somah
katos sing dadi pasah
mapan kakaput rajah tamah
Sajak “I Tua Magending” ini karya Nyoman Tusthi Eddy yang dimuat dalam bukunya yang berjudul Somah. Buku yang diterbitkan Sanggar Buratwangi, Amlapura tahun 2008 ini membuatnya diganjar hadiah sastra Rancage tahun 2009 untuk kategori karya. Lima tahun sebelumnya, penulis buku Mengenal Sastra Bali Modern dan Wajah Tuhan di Mata Penyair ini sudah menerima hadiah serupa untuk kategori jasa.
Jumat (17/1) sore, kabar duka datang dari Karangasem. Sastrawan kelahiran Desa Pipid, Karangasem, 12 Desember 1945 itu berpulang dalam usia 74 tahun. Banyak teman-temannya sesama sastrawan kaget dengan berita itu. Penyair IDK Raka Kusuma mengaku sampai tidak nyenyak tidur setelah mendengar kabar meninggalnya Nyoman Tusthi Eddy. Bagi Raka Kusuma, Tusthi Eddy memang bukan sekadar sahabat, tetapi juga guru dalam menulis sastra.
“Terakhir Pak Tusthi Eddy masih sehat-sehat ketika datang ke rumah saya menyerahkan manuskrip sajak berbahasa Bali-nya yang berjudul Osah. Beliau meminta saya mengikutsertakan naskahnya dalam lomba. Entah kenapa beliau meminta saya. Sayang, sebelum saya kirim naskah itu untuk diikutkan lomba, beliau sudah lebih dulu berpulang,” tutur Raka Kusuma.
Tusthi Eddy dan Raka Kusuma memang dikenal sebagai dua tokoh yang berperan besar mengembangkan dunia sastra di Karangasem, baik sastra Indonesia modern maupun sastra Bali modern. Gairah kreatif sastra di Karangasem dimotori oleh keduanya. Banyak pengarang muda lahir dari pergaulan kreatif dengan keduanya. Sebagian malah tampil sebagai pengarang dengan karya-karya yang kuat, bahkan memenangi aneka lomba penulisan. Terakhir, lomba penulisan puisi guru se-Bali, sejumlah pemenang lahir dari pergaulan kreatif sastra di Karangasem yang dibina Tusthi Eddy dan Raka Kusuma. Karena itu, tentu bisa dipahami rasa kehilangan kuat yang dialami Raka Kusuma.
Kesetiaan Nyoman Tusthi Eddy terhadap sastra Indonesia maupun sastra Bali modern tak diragukan lagi. Hingga usia senja, dia terus menulis puisi, cerpen, maupun esai. Dia juga terus mengamati perkembangan sastra Indonesia dan Bali modern. Itu sebabnya, guru di sekolah swasta di Karangasem ini memahami betul dinamika sastra Indonesia modern maupun Bali modern di Bali.
Dalam pengamatannya, di Bali, sastra Bali modern kini berkembang lebih pesat daripada sastra Indonesia modern. “Secara kuantitas terlihat dari banyaknya buku sastra Bali modern yang terbit. Setiap kali ada terbitan buku sastra Bali modern, saya selalu dikirimi. Saya sampai bisa membuat leksikon sastra Bali modern,” kata Tusthi Eddy saat diwawancarai usai menjadi juri lomba bahan bacaan literasi di Balai Bahasa Bali, pertengahan tahun 2018.
Berganti Bulu
Penulis yang turut memperkenalkan sastra Bali modern di kancah nasional melalui buku Mengenal Sastra Modern ini menyebut besarnya peran anak-anak muda Bali mengembangkan sastra Bali modern. Penulis sastra Bali modern kini umumnya anak muda, terutama yang sedang menempuh pendidikan Sastra Bali. Secara kualitas pun, kata Tusthi Eddy, sastra Bali modern tidak kalah.
Tusthi Eddy melihat ada kecenderungan pengarang Bali yang beralih haluan dari sastra Indonesia ke sastra Bali modern. Kecenderungan itu terlihat kuat di Karangasem. Sejumlah pengarang yang memulai karier kepengarangannya dari sastra Indonesia, kini berkibar dalam jagat sastra Bali modern. Dia mencontohkan Komang Berata yang puisi-puisinya pernah membetot perhatian dunia sastra di Bali karena dalam waktu singkat bisa menembus tangga Kompetisi di halaman sastra Bali Post Minggu asuhan Umbu Landu Paranggi.
Semua pengarang di Bali tahu, betapa susahnya menembuh tangga Kompetisi di Bali Post Minggu. “Tapi kini, Komang Berata lebih banyak menulis sastra Bali modern,” kata Tusthi Eddy.
Tusthi Eddy juga menyebut rekannya, IDK Raka Kusuma. Pengarang kelahiran Klungkung itu juga awalnya menulis sastra Indonesia. Belakangan, namanya berkibar dalam sastra Bali modern. “Malah, dia tak lagi menghasilkan karya baru yang kuat dalam sastra Indonesia,” kata Tusthi Eddy.
Tusthi Eddy menyebut hal ini sebagai fenomena “berganti bulu” di kalangan pengarang Bali. Dia mengatakan tidak tahu penyebab pasti fenomena ini. “Kalau dikatakan karena media, kenyataan media yang memuat sastra Bali modern lebih sedikit dari sastra Indonesia modern. Malah, pengarang-pengarang sastra Bali modern itu bersemangat menerbitkan karyanya sendiri melalui penerbit indie,” kata Tusthi Eddy.
Tusthi Eddy sendiri dikenal sebagai penulis sastra Indonesia dan sastra Bali modern. Bahkan, dia sempat meraih penghargaan sastra Rancage untuk buku kumpulan puisi Bali modern, Somah.
Meski menulis fiksi, Tusthi Eddy merasa lebih nikmat menulis nonfiksi, terutama esai. “Esai itu karya penyeberangan, transisi. Kalau menulis esai, saya merasa seperti menulis cerpen, seperti menulis kritik. Esai itu karya blasteran. Dibilang ilmiah, tidak. Dibilang tidak, ya, ada ilmiahnya,” kata Tusthi Eddy.
Kini, Nyoman Tusthi Eddy telah berpulang. Bali tentu kehilangan seorang sastrawan yang multitalenta. Selamat jalan, Pak Tusthi! (b.)
Penulis: I Made Sujaya