Sabtu, 25 Mei 2019 malam, masyarakat Klungkung disuguhi pementasan garapan seni pertunjukan bertema Perang Kusamba di depan Monumen Perang Kusamba, Jalan Kusanegara, Desa Kusamba, Klungkung. Pertunjukan bertajuk “Kalangen Puputan Kusamba” ini merupakan garapan Sanggar Kapan, Kusamba, Klungkung, serangkaian peringatan 170 tahun Perang Kusamba.
Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta ikut hadir menyaksikan pementasan itu. Ini tampaknya peringatan terakhir Perang Kusamba sebelum akhirnya pandemi Covid-19 menghujam tahun 2020 lalu yang membatasi kegiatan peringatan yang mengundang keramaian.
Memang, sejak lima tahun terakhir, peristiwa heroik Perang Kusamba diperingati secara rutin oleh masyarakat Klungkung. Sejak lama upaya mengabadikan Perang Kusamba sudah dilakukan. Pada tahun 2002 saat masa kepemimpinan Bupati Tjokorda Gede Ngurah, Pemkab Klungkung menerbitkan buku Ida I Dewa Agung Istri Kanya: Pejuang Wanita Rakawi Melawan Kolonialisme Belanda di Kerajaan Klungkung Abad ke-19.
Pada masa kepemimpinan Bupati Klungkung, I Wayang Candra misalnya, nama Dewa Agung Istri Kanya sudah diabadikan sebagai nama balai budaya di Kota Smarapura serta dibangun pula monumen pahlawan di Desa Jumpai dengan menggunakan nama Dewa Agung Istri Kanya. Pada masa kepemimpinan Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta, dibangun Monumen Ida I Dewa Agung Istri Kanya di simpang empat Tiingadi, Dawan, Klungkung, serta Monumen Perang Kusamba di depan Pasar Kusamba, Klungkung.
Berbagai kebijakan Pemkab Klungkung itu menjadi bagian upaya memperjuangkan gelar pahlawan nasional bagi Dewa Agung Istri Kanya. Hingga kini, perjuangan mendapatkan gelar pahlawan nasional bagi Dewa Agung Istri Kanya belum kunjung membuahkan hasil. Padahal, bagi masyarakat Klungkung, juga Bali, perjuangan Dewa Agung Istri Kanya dalam menentang kolonialisme Belanda layak diapresiasi Negara sebagai pahlawan nasional.
Upaya memonumenkan Perang Kusamba melalui berbagai bangunan fisik tentu patut diapresiasi. Langkah ini menjadi bentuk sosialisasi heroisme peristiwa itu kepada masyarakat Klungkung dan Bali.
Harus diakui, selama ini peristiwa Perang Kusamba yang terjadi pada 24-25 Mei 1849 tidak banyak dikenal masyarakat Bali, bahkan masyarakat Klungkung sendiri. Orang lebih mengenal peristiwa Puputan Klungkung, 28 April 1908. Padahal, Perang Kusamba tidak kalah patriotik dan heroik. Bahkan, Perang Kusamba memiliki nilai yang jauh lebih strategis dalam pembentukan karakter bangsa.
Sejarawan Unud, AA Bagus Wirawan mengakui Perang Kusamba memang sebagai perlawanan dalam skala kecil. Selain itu, Perang Kusamba juga berakhir dengan kekalahan Klungkung karena Kusamba akhirnya bisa dikuasai Belanda, terutama setelah ditandatanganinya perjanjian di Kuta sebulan setelah perang. “Tetapi dampak yang ditimbulkan dalam peristiwa itu sangat besar karena Belanda kehilangan pemimpin pasukannya yang seorang jenderal,” Wirawan.
Karena itu, Wirawan menilai Perang Kusamba layak diperingati seperti halnya Puputan Klungkung. Dalam Perang Kusamba, setidaknya bisa dipetik tiga nilai karakter bangsa, yakni heroisme, patriotisme dan emansipasi wanita.
Pada tahun 1992, peristiwa Perang Kusamba juga diabadikan ke dalam sebuah sinetron sekali tayang serangkaian peringatan Puputan Klungkung berjudul “Geger Semarapura”. Dalam sinetron yang digarap Sanggar Putih pimpinan almarhum Kadek Suardana itu, peristiwa Perang Kusamba ditampilkan menjadi adegan pembuka sebelum terjadinya perang Puputan Klungkung.
Tokoh Ida I Dewa Agung Istri Kanya diperankan Ni Putu Putri Suastini, tokoh Mangkubumi Anak Agung Ketut Agung dan Anak Agung Made Sangging diperankan dua sastrawan Klungkung sekaligus tokoh Sanggar Binduana Klungkung, I Wayan Suartha dan IBG Parwita. Sinetron ini boleh dianggap sebagai sebuah monumen juga untuk mensosialisasikan semangat patriotisme Perang Kusamba.
Namun, penghayatan terhadap sebuah peristiwa sejarah perlawanan terhadap penjajah lebih dari sekadar sebuah monumen atau patung, tapi bagaimana memetik hikmah yang bisa dijadikan cermin membangun Klungkung di masa kini. Perang Kusamba mesti dimonumenkan dalam hati setiap pemimpin dan masyarakat Klungkung.
Monumen terbaik dari Perang Kusamba tentu melalui internalisasi nilai-nilainya yang menjiwai setiap pengambilan kebijakan pembangunan Klungkung. Dari Perang Kusamba, orang Bali, khususnya masyarakat Klungkung, tidak hanya bisa belajar tentang keperwiraan membela tanah kelahiran tetapi juga kecerdasan dan kematangan strategi menghadapi kolonialisme yang dalam banyak hal kerap kali di atas angin. Perang Kusamba adalah monumen kecerdasan lokal khas Bali menghadapi kolonialisme Belanda yang unggul secara teknologi dan pengalaman.
Karena itu, tidak berlebihan jika sastrawan Pramoedya Ananta Toer menyebut Bali sebagai salah satu etnik di Indonesia yang paling berani, paling sulit dikalahkan, selain Aceh. Rujukan Pramoedya Ananta Toer bukan saja kegagahberanian rakyat Bali dalam perang puputan, tetapi juga kecerdikan rakyat Bali menghadapi tentara Belanda, seperti ditunjukkan dalam Perang Jagaraga I 8 Juni 1848 dan Perang Kusamba, 24—25 Mei 1849. Kedua peristiwa itu menunjukkan kepiawaian orang Bali mengimbangi strategi perang Belanda yang memiliki persenjataan hebat dan lengkap.
Di masa kini, kolonialisme dan imperialisme mungkin tidak hadir sebagai serangan bersenjata, melainkan bertriwikrama dalam wujud lain yang lebih halus dan laten. Semangat kecerdasan dan kecerdikan lokal dalam Perang Kusamba bisa dijadikan cermin bagaimana menghadapi berbagai tantangan yang jauh lebih kompleks. (b.)
Penulis: I Made Sujaya