Sketsa Bali (balisaja.com/www.pixabay.com) |
Cerpen NGURAH PARSUA
Nama panggilannya sekarang Jero Mangku Gede Panembahan. Orang heran, tiba-tiba ia berubah, menjadi orang religious, bahkan disebut-sebut sebagai orang suci. Gemar meditasi, sembahyang di pura dan mengucap doa setiap pagi. Tidak lupa merapalkan mantra-mantra pemujaan. Padahal hidup sebelumnya dikenal sebagai preman, suka mabuk, menipu, mencuri dan berjudi. Konon, pengalaman di dunia hitam telah membawa perubahan sehingga dirinya seperti sekarang itu. Orang menyebutnya karena ngiring, ditunjuk menjadi abdi. Ada sosok yang menganugerahkan kekuatan kepadanya. Ia mungkin dipilih menjadi pengikut, menghamba kepada Batara, atau entah apa sosok itu. Orang tak dapat memastikan. Kenyataannya kekuatan gaib telah mengubah jalan hidupnya. Orang seperti itu disebut ngiring.
Penderitaan dijalani, sudah sampai di puncak batasnya. Memang di zaman modern ini, orang tiba-tiba berubah dari dunia hitam ke dunia spiritual, tidak banyak. Mungkin di dunia hitam, ia tak menemukan apa-apa. Lalu sadar setelah penderitaan berulang kali menderanya. Sejenak gembira bersenang-senang, sesudah itu menderita akibat perbuatan jahatnya, diketahui orang. Selanjutnya menerima hukuman. Belum lagi pahala dari perbuatan jahat itu. Ia percaya karma phala tapi tak mampu mengendalikan dirinya, akibat kenikmatan duniawi. Ia telah merasakan hukuman penjara dan hukuman sosial. Dicemooh masyarakat, keluar dan masuk penjara berulang-ulang, dimusuhi masyarakat, akhirnya ia sadar. Ketika sadar tiba-tiba ia ingin menjadi orang suci. Prosesnya berkeinginan menjadi orang suci cukup panjang.
Ia menolak kalau dikatakan ngiring. Ia lebih suka dikatakan kemampuan dirinya menjadi orang suci karena sadar dan berusaha belajar hidup. Membaca rontal-rontal dan berguru ke sana-ke mari mengikuti kegiatan spiritual dengan disiplin. Kegiatan seperti itulah yang menyentuh kesadarannya bangkit dari jalan gelap berwarna hitam. Menuju jalan terang di dalam pencerahan. Sebagian orang tak heran, mereka berpendapat apa saja bisa terjadi terhadap manusia, bila Tuhan Maha Esa, Sanghyang Widhi Wasa menghendakinya. Ia tak mau disebut paranormal, dukun atau yang lainnya. Ia menyebut dirinya Jero Mangku Panembahan. Ia sangat senang kalau banyak orang menyebutnya sebagai orang suci.
Penampilannya sudah berubah. Dahulu berambut gondrong, wajah garang dan memperlihatkan tato, tak ketinggalan dengan memamerkan otot-otot. Mata tajam, wajah beringas nampak pemarah. Bila dihalangi kehendaknya suka menggertak dan mengancam. Suka minum minuman keras dan bermabukan di jalanan. Kini penampilannya sangat berbeda, pakaiannya serbaputih. Rambut ditata rapi dibalik udeng putihnya, menutupi kepala, memelihara jenggot dan kumis putih, memperkuat penampilannya sebagai orang suci. Berkata halus penuh kesopanan, tak lagi beringas, seolah-olah berkuasa dan mudah tersinggung.
Terkadang hatinya membayangkan putus asa. Merasa gelisah dan sangat menderita tak menentu. Suatu hari, keluar dari penjara akibat menipu seorang wirausahawan yang punya kekuasaan. Dia diancam akan dibunuh dan mayatnya akan dibuang ke dasar laut. Hatinya jadi keder juga dan gelisah. Meskipun ia tamatan sekolah menengah atas, sedikit mengerti tentang hukum. Bila ada tanda-tanda mengkhawatirkan, ia akan melapor ke polisi. Dia merasa punya hak minta perlindungan dan menuntut atas ancaman itu. Ia juga bimbang kalau polisi tak percaya. Karena ia dikenal sebagai preman. Namun kegelisahan itu masih bisa dijalani dengan biasa. Ia berhasil mengatasi kegelisahannya itu. Di pihak lain, ia tak pernah merasa bosan ditangkap polisi. Hidup menderita di penjara. Dimusuhi orang, tidak sembarang orang mau berteman. Pernah ia menodong orang baru keluar dari bank, membawa uang jutaan rupiah, orang di sekitarnya menggagalkan dan ia tertangkap. Sebelum polisi datang, ia dipukuli orang beramai-ramai sampai babak belur. Istrinya sangat sedih ketika menengok di penjara. Suatu saat ia mabuk dan berkelahi dengan segerombolan orang. Karena ia mabuk, dengan mudah gerombolan itu memukuli dan menendangi dirinya sampai tak sadarkan diri. Masih untung tidak dibunuh. Istrinya dengan setia menemani ia pergi ke dokter. Ia merenung sejenak seperti mengenang nasibnya.
”Ternyata menjadi preman tidak mudah. Harus kuat, berani dan sampai hati dengan kekejaman telah dibuat. Tujuan harus tercapai bagaimana pun caranya. Semua keinginan tercapai dengan tak perlu bekerja keras. Orang politikus tak sedikit seperti itu. Licin dan kuat. Melawan orang berjiwa preman, hukum harus tegak dan tegas.” Ia mengigau.
”Kalau orang-orang bersatu dan berani melawannya, menjadi preman cukup susah. Kelihatannya saja enak. Ditakuti orang dan bisa mengancam dan menggertak seseorang. Harus dilihat pula siapa lawannya. Kalau lawannya berani, berjiwa preman, demi kebenaran dan membela diri. Orang seperti itu tak akan mudah digertak dan diancam preman. Sering terjadi perkelahian melibatkan gang atau di antara organisasi preman. Bisa timbul keresahan, akibat keselamatan masyarakat terancam melakukan aktivitas keseharian. Timbul kekhawatiran, bila tiba-tiba berhadapan dengan preman yang tak punya aturan, susila, sopan santun dan kejam. Keinginannya tercapai dengan mudah adalah merupakan tujuannya.” Ia melanjutkan lamunannya.
*****
Suatu hari ia mencuri uang kepeng atau pis bolong, di pura leluhurnya sendiri. Tengah malam tanpa merasa takut, ia membuka pintu pura untuk mencuri. Ia tahu tempat penyimpanan uang kepeng di pura itu. Ia tarik pintunya yang tak begitu kuat. Lalu uang itu ia ambil berikut tempatnya berwadah peti kayu. Sedangkan benda-benda lainnya ia biarkan di tempatnya. Ia keluar dari pura tanpa merasa sedikit pun pertimbangan baik-buruk. Namun sempat punya rasa takut akan perbuatan jahatnya itu. ”O, Batara leluhur ampuni keturunanmu ini, telah mencuri di sini. Mencuri kepunyaan leluhur, demi bebas dari kemiskinan, hidup sejahtera,” katanya polos dan seperti orang tak berdosa. Kemudian diam-diam menjualnya kepada tukang beli pis bolong. Istrinya tidak tahu tentang kejadian itu.
Salah seorang prajuru pura, kebetulan mau membersihkan ruang suci tempat penyimpanan benda-benda suci. Mengetahui bahwa uang kepeng jumlahnya ribuan keping hilang, prajuruitu melapor kepada ketua dadia. Keadaan menjadi ribut setelah rapat dan memastikan kehilangan uang kepeng itu.
Setelah diusut dan diselidiki ternyata mengarah kepada Panembahan. Ia telah terlebih dahulu menghilang. Ketika rumahnya digeledah pengurus dadia, pis bolong tidak diketemukan di rumahnya. Mereka perlu menggeledah rumah Men Ceblong, tukang beli uang kepeng. Sebelum digeledah ia sudah mengaku bahwa ia membeli, uang kepeng dari Panembahan.
”Tiang suba meli pis bolong teken Panembahan,Saya sudah membeli uang kepeng dari Panembahan.” katanya terbata-bata. “Tiang ten uning, pis bolong nika uli di pura dadian deweke. Ampura titiang. Inggih titiang jage kewaliang sami. Saya tak tahu bahwa uang kepeng itu berasal dari pura dadia saya. Maafkan saya. Ya, saya akan kembalikan semua.”. Walaupun Men Ceblong mengembalikan pis bolong itu, semua anggota dadia menuntut agar Panembahan diberi sanksi kasepekang, dikucilkan.
*****
“Kamu Panembahan, betulkah kamu sudah tobat? Utusan dadia yang mau menangkapmu dan mengadili lewat paruman dadia, telah aku suruh pulang. Aku yang menanggungnya semua. Bila kamu mengulang perbuatan jahatmu, aku sendiri akan menyerahkan kamu ke polisi.’” Tempat yang sepi itu terasa bergetar dirasakan Panembahan. ‘”Paman, Jero Gede Kirana, pokoknya aku tobat. Demi Sanghyang Widhi aku bersumpah tak akan kembali kejalan kegelapan.” Jero Gede Kirana adalah saudara kandung dari ayah istrinya. Dia seorang yang sudah dikenal hebat karena punya kesaktian.
Sejak saat itu, Panembahan selalu diajak mengikuti kegiatan spiritual setelah disucikan di beberapa tempat. Di jeram, mandi di pertemuan empat sungai dan mata air tertentu. Setelah itu baru ia disuruh membaca berbagai rontal yang sudah tersedia. Sering mendengar kata-kata sastra agama diperbincangkan bersama oleh orang yang datang secara teratur dan secara bertahap ke tempat itu.
*****
Beberapa tahun kemudian ia kembali ke tengah keluarganya. Hidup tenang dan dikenal sebagai orang yang suka membaca buka sastra agama. Di hatinya tidak pernah lagi terlintas pikiran perbuatan jahat seperti sebelumnya. Orang sudah banyak berobat ke tempatnya, ada yang sembuh ada juga yang tidak. Ia juga sering menangani orang sakit jiwa. Memberi penglaris kepada pedagang. Membuat jimat sesuai dengan pesanan orang. Bahkan dikenal sebagai orang yang pintar membuat hujan dan menahan hujan. Ia menjadi terkenal dan banyak orang menaruh hormat kepadanya. Ia sangat sibuk, uang pemberian dari pasien dan kliennya, membuat ia menjadi cukup kaya materi. Meskipun mereka memberi imbalan secara sukarela. Ia sangat bangga bila orang menyebutnya sebagai orang suci.
Hidupnya berubah. Selalu siap menangani segala persoalan yang dibawa kliennya. Sampai ia dimintai tolong, agar menjadikan seseorang jadi anggota Dewan maupun pejabat lainnya. Ia pun bersedia dan ada yang berhasil. Ia lupa diri dan sudah berenang di laut kenikmatan materi. Lupa pada tujuannya, ingin menjadi orang suci.
Suatu hari ia istirahat, sambil membaca sastra agama di tengah kelelahan oleh kesibukannya. Ia menemukan pengertian tentang orang suci. Ia membaca dalam hatinya. ”Orang suci orang yang tidak sedih saat menderita. Tidak gembira bila bahagia. Tidak mempunyai keinginan pribadi (pamrih). Tidak pernah takut. Tidak menjadi pemarah.” Ia termenung sejenak. Akhirnya, ia tersenyum lebar.
”Biarlah aku tidak menjadi orang suci,” katanya perlahan. Sementara utusan seorang pajabat telah menunggu. Berarti rakhmat Tuhan akan datang. (b.)
_________________________________
Ngurah Parsua memiliki nama lengkap I Gusti Ngurah Parsua. Lahir di Bondalem, Buleleng. Produktif menulis puisi, cerpen, novel, esai, serta puisi berbahasa Bali. Sebagian besar telah terbit menjadi puluhan buku. Novelnya, Sembilu dalam Taman, yang terbit tahun 1986, mendapat perhatian para peneliti sastra. Buku terbarunya berupa kumpulan puisi bertajuk Rindu dan Cinta Sang Pemuja terbit tahun 2019.
Penyunting: I MADE SUJAYA