Mentari tidak bersahabat lagi dengan hidupku. Sinarnya semakin meredup. Entahlah apa sebabnya. Cahayanya semakin menghilang. Mata dunia ini seakan menjauhi hidupku. Jika mata dunia sudah redup, gimana dengan mata hatiku dan mata batinku? Karena mata inilah, jalan hidupku bagai mendung tebal seirama dengan musim hujan kawulu. Pernikahan yang kubangun selama ini tak berbuah manis. Keluarga harmonis yang pernah kuangan-angankan hanya sebuah kenangan belaka. Satupun janji indah yang terucap dulu tak kudapatkan.
Telingaku dipenuhi dengan beragam berita miring. Tapi, aku tak percaya akan sebuah berita yang belum jelas. Kulapangkan hatiku menghadapi berita-berita itu. Aku berusaha menjadi orang tuli akan sesuatu yang belum pasti.
Lirikan mata perempuan pilihanku mampu menjatuhkan tali kesetiaan. Hampir setiap laki-laki yang pernah bersemuka pada istriku mengagumi keindahan mata istriku. Dengan perjuangan yang cukup melelahkan, kuputuskan menjadikannya pendamping hidupku. Itupun berkat mata-mata yang kutugaskan agar bisa menyuntingnya.
Kuakui keberanianku mengambil keputusan sebagai penyebabnya. Aku berbangga karena telah berani berbeda dengan orang tuaku termasuk dengan keluarga besarku. Berkali-kali, ayahku menasihati agar tidak menikah dengan perempuan yang kuperkenalkan pada ayahku. Tampaknya ayahku memiliki naluri bahwa perempuan yang kuajak ke rumah itu akan menimbulkan masalah pada keluarga besarku.
Ayahku bilang hari kelahiranku dengan kelahirannya terlalu jauh perbedaannya. Jumlah urip pancawara, sadwara, saptawara-nya tidak bersesuaian dengan pancawara, sadwara, sapta wara-ku, neptunya setelah dijumlahkan dan dibagi ternyata selalu berakhir dengan kedukaan. Bahkan namaku dan namanya juga tak ada kecocokan.
Aku katakan itu sebagai takhayul belaka. Dan untuk sekarang ini sudah tidak sesuai lagi. Yang penting saling mencintai, saling menyayangi itu saja sudah cukup. Tak ada yang melebihi dari kekuatan cinta.
“Kau boleh saja tidak percaya. Anak-anak masa sekarang biasa seperti itu. Tapi sudah beberapa orang yang membuktikannya dan ternyata benar.”
“Bukankah bisa di-bayuhatau diruwat,Pa?”
“Bisa saja, tapi tidak akan berjalan mulus juga. Kesenjangannya terlalu jauh. Bapa bisa saja memohon pada sulinggih agar meruwatnya. Tapi bapa tidak terlalu yakin akan berhasil dan bertahan selama pernikahanmu.”
Aku terang-terangan menentangnya. Kuambil keputusan menikahinya. Lebih-lebih, ia sudah mengatakan bahwa dirinya sudah berbadan dua. Tidak ada alasan bagiku untuk lari dari tanggung jawab. Aku tidak mau disebut sebagai laki-laki pengecut. Dan itu bukan karakterku. Aku bukan laki-laki yang lari dari sebuah tanggung jawab. Aku ingin buktikan bahwa seorang laki-laki memang benar-benar sayang pada seorang perempuan. Tampaknya semangatku untuk memburunya diketahuinya. Ia semakin menampakkan cintanya. Ia katakan akan menjadi teman sejatinya. Ia puji-puji pilihanku. Saat itu, sempat kulihat tangannya mengelus-elus perutnya. Hatiku tergetar. Sebentar lagi, aku akan dipanggil sebagai seorang ayah. Sebuah pangilan yang menandakan bahwa aku laki-laki sejati. Ingin kupercepat perjalanan waktu. Ingin kuputar jarum jam agar segera terdengar ucapan selamat menempuh hidup baru. Detik-detik itupun datang seiring dengan keinginanku.
Pernikahan berjalan mulus. Banyak yang mengagumi pernikahanku. Pujian datang silih berganti. Undangan yang kumiliki lumayan besar. Termasuk beberapa pejabat penting sempat hadir. Kebanggaanku muncul dan ketidakpercayaanku pada mitos-mitos seperti itupun hilang. Bunga-bunga cinta semakin mekar kurasakan. Aku menjadi raja dan ratu sehari. Aku duduk di bangku yang berhiaskan manik-manik. Teman-temanku ada yang mengabadikan bahkan ada slide yang tertayang yang menggambarkan perjalanan cintaku. Tidak ada sesuatu yang menghalanginya. Takhayul-takhayul itu telah kurubuhkan sekarang. Kemenangan berpihak padaku.
Pernikahanku tampak manis dan mengenakkan. Aku bersama istriku menikmati indahnya sebuah keluarga baru. Hampir tak pernah terdengar pertengkaran. Aku merasa tidak keliru memilihnya sebagai teman hidup. Sesekali kuajak keluar kota menikmati masa-masa pacaran dulu. Kadang kuajak ke pantai sambil berlari-lari kecil. Tertawa kami pun menyatu. Kutunjuk sebuah perahu yang sedang melintasi sebuah lautan. Ia pun tertawa bahwa gelombang selalu membentur-bentur tubuh perahu, tapi bisa tetap tegar dan berjalan pasti.
Waktu membuka lembaran barunya. Dewakala menjalankan kisah waktunya. Aku harus menghadapi sebuah kisah baru. Aku tidak percaya lagi pada perempuan pilihanku. Cinta dan kata-kata indahnya saat menjadi kekasihku hilang tanpa bekas. Hatiku jauh dari kesejukan. Panas bagai magma yang siap menggeluncak.
“Hyang Widhi, jika aku tahu akan begini jadinya aku tidak akan memilihnya. Perempuan yang dulunya memikat hatiku ternyata hanya kamuflase saja. Kata-kata orang tuaku sudah terbukti. Mata hatiku sudah dirabunkan pada kenyataan. Perempuan yang menurutku mampu memberikan sejuta harapan itu teganya memalingkan hatinya pada orang lain.
“Apa gunanya sebuah rumah tangga yang hanya indah di luarnya saja. Di dalamnya, bergelayut beragam kebohongan.” Aku marah besar. Aku memendam kemarahan yang amat sangat. Kebiasaannya berganti-ganti kekasih masih terbawa-bawa sampai ke pelaminan. Waktu ternyata tidak mampu mengubah pikiran manusia. Perempuan pilihanku tega bermain cinta dengan atasan di kantornya.
“Beli maafkan tiang. Tiang telah mengkhianati kesetiaan Beli.” Ia berani berkata terus terang seperti itu. Siapa yang tidak sakit mendengarnya. Perempuan yang kupuji. Perempuan yang kuharapkan memperteguh tali cinta ternyata seperti ini.
Aku tidak menjawab. Mataku memerah. Foto pernikahan kubanting. Remuk seperti hancurnya hatiku saat ia berani mengatakan telah mengkhianati janji setianya.
“Tiang telah mempermalukan keluarga besar Beli. Tiang memang salah. Sekarang, hidup tiang ada pada Beli. Jika Beli masih sayang, berarti tiangakan tetap bersama Beli. Jika tidak, kita akan berakhir sampai di sini.”
Aku menanggung malu pada keluarga besarku. Nama keluargaku jatuh gara-gara istriku. Kenikmatan sesaat menjatuhkan harga diri yang kubina sedari dulu. Kebencian silih berganti hadir dalam jiwaku.
Kata-kata tetua keluargaku menambah sakit hatiku. “Sudah kuduga sedari dulu. Perempuan pilihanmu itu akan menghancurkan keluarga kita. Tapi hatimu tak bisa dibelokkan. Dengan bangganya, kau katakan bahwa perempuan itu akan mencerahkan keluarga kita. Tapi nyatanya, tidak seperti yang kau sampaikan. Sekarang hancur nama keluarga kita karena ulah istrimu.”
“Maafkan tiang, Bapa. Tiang salah menentukan pilihan.”
“Terus sekarang apa maumu?”
“Inilah yang tiang tidak bisa tentukan sendiri. Jika tidak bisa dimaafkan, tiang akan kembalikan pada orang tuanya saja.”
‘Itu terserah padamu. Bapa sudah tidak bisa berpikir sekarang ini. Keluarga kita sudah tercoreng olehnya. Tidak ada lagi raut hormat pada keluarga kita. Bapa malu. Kau tahu, bapa hampir setiap kesempatan memberikan wejangan agar bisa menjadi orang baik, menjaga kehormatan keluarga, bertingkah yang benar. Ternyata Bapatidak bisa membina keluarga sendiri. Inilah yang membuat hati bapa juga hancur. Kepercayaan orang pada Bapahilang tanpa ada bekasnya karena keputusanmu.”
“Sekarang kembali saja ke rumahmu. Bapa mau istrirahat.”
Aku kembali ke rumah yang baru saja selesai kubangun. Hutangku belum lunas. Aku gelisah. Perempuanku pemuja nafsu itu telah mematuk-matuk hatiku.
“Untuk apa kata maaf itu, kau ucapkan. Semuanya sudah hancur. Kau telah memalukan hidupku. Sia-sialah kepercayaanku padamu.”
“Jika tak ada kata maaf, tiang akan kembali ke rumah tua. Semoga keluarga tiang bisa menerima kesalahan tiang.”
“Terserah padamu.” Mataku mendelik. Darah tubuhku memanas.
“Terus anak kita?”
“Biar Beli yang merawatnya.” Aku memegang tangan anakku.
“Tidak bisa! Karena tiang yang mengandungnya. Tiang lebih berhak daripada Beli!” Di balik kata-katanya kurasakan perlawanan. Wajahnya pun tidak dirundukkan. Ia berani menentang sorot mataku.
“Tapi kau hamil karena Beli.”
Istriku tersenyum sinis. “Beli salah. Ini anak dari laki-laki kedua.”
Aku mau memukulnya. Tapi tiba-tiba tanganku seperti ada yang memegangnya.
Catatan
Bapa: ayah
Tiang: saya
Sulingih: orang suci
Kawulu: bulan kedelapan kalender Bali
- IBW Widiasa Keniten dilahirkan di Geria Gelumpang, Karangasem, 20 Januari 1967. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bali. Sebagian besar karyanya sudah diterbitkan menjadi buku. Meraih hadiah sastra Rancage (2006) dan Widya Pataka (2015). Buku terbarunya berupa kumpulan cerpen berbahasa Bali, Ngalih Arjuna di Kamasan, terbit April 2021 lalu.