Hari ini cuaca terik luar biasa. Sang Surya menghajar alam semesta tanpa ampun, tanpa kenal iba. Memanggang siapa saja yang naif menantangnya. Sengat sinarnya membakar raga, menyilaukan mata, kepala serasa ingin meledak dibuatnya. Hanya lelaki pekerja keras bermental baja yang sanggup bekerja di jalanan pada cuaca membara bak di Gurun Sahara.
Ketut Lacur adalah salah satu orangnya. Bagaimana mau tidak sanggup? Ada dua perut kosong tengah menunggu di rumah minta diisi. Malah perutnya sendiri juga keroncongan. Seharian berada di jalan, Ketut Lacur belum mengunyah apa-apa lagi sejak sarapan jaja laklak tadi pagi. Panas dan lapar, dua derita yang ditanggungnya saat ini.
Kendati begitu, Ketut Lacur masih sabar menunggu. Tak terbilang sudah berapa kali dia menjamah hp. Sekian kali dibuka, sekian kali dia harus menelan kecewa. Di trotoar itu, di pokok pohon perindang jalan dia terenyak. Dengan selipat koran bekas, dia halau gerah dari tubuhnya yang kuyup berkeringat. Jaket hijau seragam dinasnya yang sudah lusuh dan koyak dimakan matahari teronggok tak berguna di stang motor.
Nasib baik memang tidak memihaknya hari ini. Sejak keluar rumah dari jam 9 pagi tadi, Ketut Lacur baru dapat satu orderan. Ongkosnya pun cuma sepuluh ribu rupiah. Untuk beli bensin saja habis. Beberapa kali dia pindah lokasi, orderan tak kunjung menghampiri. Oh, kenapa rezeki begitu susah dicari, keluhnya dalam hati.
Kalau boleh menangis, ingin dia menangis. Tapi menangis pun tidak akan memperbaiki situasi. Jadi buat apa menangis. Maka dia bekap wajahnya yang kusam berminyak dengan kedua telapak tangan, lalu ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat, berharap beban berat yang menggelayut ikut tersembur keluar dan menguap dari rongga kepalanya.
Jalanan di depannya masih ramai. Mobil, motor, pesepeda, pejalan kaki, hilir mudik lalu lalang. Ketut Lacur melihat semua orang sibuk dan tidak ada kelihatan senyum. Bagaimana mau kelihatan senyum, sementara dari lubang hidung hingga dagu ditutupi masker. Besar, kecil, tua, muda, semua bermasker. Katanya supaya tidak kena penyakit. Penyakit yang diyakini Ketut Lacur hanyalah konspirasi.
Kemudian dia termenung. Mengenangkan lagi waktu-waktu yang sudah berlalu. Seandainya dunia tidak mengalami pandemi, tentu kini dia masih sentosa bekerja di hotel bintang lima di Kuta sana. Memakai seragam bersih, rambut tersisir rapi, wangi, dan tidak payah berjemur seperti yang dideritanya saat ini.
Meski hanya sebagai karyawan kelas rendah, yang sehari-hari hanya berkutat dengan lap, sapu, dan debu, dia masih bisa mencukupi nafkah keluarganya. Cukup bisa tenang untuk urusan isi perut dan bayar kontrakan. Juga masih bisa mengisi celengan walau tak banyak.