Cerpen LUH SUWITA UTAMI
Hari masih pagi ketika bus Lintas Samudra yang aku tumpangi memasuki batas desa. Sengaja kubuka jendela bus lebih lebar, agar dapat kulihat dengan jelas jalan kecil menuju rumahku. Rasanya, udara sejuk pagi ini memenuhi rongga dadaku. Aku tersenyum, membayangkan sesuatu.
Abi, Dini, dan Yudi, ketiga keponakanku yang sedang nakal-nakalnya pasti akan berlari dengan gembira menyambut kedatanganku. Dengan celoteh kecilnya meminta oleh-oleh padaku. Sudah tiga bulan aku tidak pulang kampung, rasa kangen pada mereka sudah diujung tanduk.
Tiga bulan ini aku habiskan waktu di Yogyakarta. Kantor tempatku bertugas mengirim aku utuk mengikuti pelatihan disana. Semula hendak aku tolak, tapi temen-temen sekantor mendorongku untuk berangkat.
Aku bangkit dari tempat duduk, melangkah sedikit sempoyongan karena goncangan bus, aku mendekati kondektur.
“Pertigaan depan pertamina, ya, Pak”
Kondektur mengangguk dan meraih uang dari tanganku. Iba-tiba aku merasa gelisah, perasaanku ingin bergegas saja. Begitu kondektur meneriakkan kata “stop”, aku melompat keluar. Seketika pandanganku mengarah ke sebuah bangunan pos kamling yang berdiri di sisi kanan jalan, aku berharap menangkap bayangan sebuah tubuh di sana. Tapi sepi, bayangan itu tak ada di sana, hanya angin yang mendesir dan mempermainkan spanduk kumal bertuliskan iklan deterjen.
Sejenak aku diam, perasaanku dimainkan seribu satu pertanyaan. Ke mana perempuan itu? Sudahkah ia kembali ke rumah, atau mungkin telah terjadi sesuatu padanya? Apakah udara dingin telah mengusirnya dari keinginan untuk menunggu. Ya menunggu, seseorang yang dia harap untuk segera pulang.
Perempuan dengan rambut lusuh tak terawat itu aku temukan diam dan mematung di pos kamling itu, setahun lalu. Ketika aku sapa, dia diam. Ketika kugenggam tangannya, dia diam. Ketika kuusap wajahnya, dia diam. Ketika kurangkul dia untuk kuajak pulang, dia berontak. Mendorong aku dengan sekuat-kuatnya, hingga aku jatuh terjerembab ke tanah. Setelah itu dia diam, duduk manis di pos kambling sambil memeluk tiang bambu yang lusuh. Bibirnya berucap sesuatu, namun tak jelas apa. Sejenak kemudian dia menangis, menangis tanpa suara. Hanya air mata yang melingkar-lingkar jatuh di pipinya. Dia kusam, sangat kusam. Perempuan itu seperti tak kukenal lagi, hanya pandangan matanya yang bening yang membuatku yakin bahwa dia adalah Landri, kekasihku.
*****
Kopi di gelas baru saja aku seduh ketika kudengar suara sepeda motor memasuki halaman depan kamar kos. Aku mengintip dari balik jendela. Landri, sepagi ini datang? Segera aku buka pintu, dan dia hampir menubrukku.
“Antar tiang pulang, Beli!” Landri mendorong tubuhku masuk ke kamar
“Pulang, sepagi ini? Ada apa?”
”Tiang ingin pulang, segera. Semalam, Nyoman menelepon. Bapa tiang dicari prajuru banjar dan para pecalang.”
”Dicari? Maksudmu?”
”Ah, tiang lupa menceritakan sesuatu pada Beli. Ini tentang gong, gong di banjar kita yang kemarin hendak dijual dan diganti dengan yang baru. Apa Beli tidak mendengar bisik-bisik itu?”
”Beli tahu, tapi tidak jelas mengerti. Bapa yang sempat cerita ketika Beli pulang beberapa bulan lalu.”
”Ya, begitulah. Gong itu hendak dijual, lengkap dengan semua bilah-bilah gamelan yang lain. Para prajuru banjar hendak menggantikan dengan yang baru, dengan gong anyar yang lebih lengkap bahkan akan diukir dan diprada. Bapa tiang tidak setuju, menurut dia gong itu tidak rusak, mengapa harus dijual?” Landri bangkit dan menyeruput kopi yang kuhidangkan untuk dia
“Jika hendak dijual, Bapa-mu ingin membelinya?” tanyaku menduga-duga.
”Sebenarnya begitu, Bapa memang hendak membelinya. Gong itu warisan para leluhur kita, warisan banjar. Entah dengan cara apa para tetua dahulu membelinya. Mungkin dengan membuat iuran dari hasil panen. Mungkin dengan gotong royong, mungkin juga dengan berhutang. Apa pun cara mereka, kita tidak pernah tahu. Kita telah medapatinya ada di banjar.”
“Apa pernah Bapa menyampaikan keinginan untuk membeli gong itu saat paruman banjar.” Obrolan ini menjadi semakin menarik.
”Konon pernah, tapi tiang tidak jelas tahu. Tapi walaupun betul Bapa berniat untuk membelinya, ke mana Bapa mencari uang. Kita bukan orang kaya, tak mungkin membeli gong itu, bahkan dengan harga murah sekalipun. Para prajuru banjar tidak memberikan jawaban atas keinginan Bapa. Mereka takut, takut jika benar bapa membeli gong itu. Takut jika kecurangan di balik keinginan menjual gong itu ketahuan. Takut jika betul……”
“Jika betul, jika betul apa?”
”Jika betul dikutuk para leluhur”
Kami diam, bermain dengan pikiran masing-masing. Kopi masih mengepul, pisang goreng pun tak kami sentuh.
“Lebih baik kamu tidak pulang. Kita tunggu perkembangan selanjutnya. Jika pun terjadi sesuatu, lebih baik kita tenang. Masalah ini harus dihadapi dengan tenang, diam dan tunggu. Kamu tidak kuliah hari ini?” tanyaku mengalihkan pertanyaan.
“Kuliah, tiang harus menyetor rancangan proposal. Tapi entah sampai jam berapa.”
”Kerjakan dulu tugas utamamu. Jika nanti ada waktu, dan memungkinkan untuk pulang aku hubungi kamu lagi. Sekarang aku mau mandi, aku ada rapat di kantor.”
Landri bangkit dari tempatnya duduk. Kucium keningnya sebelum dia melangkah keluar dari kamar. Aku merasa tubuhnya sedikit hangat, mungkin Landri kurang tidur.
*****
Pukul 12.45, aku tiba di kos Landri. Kuperhatikan tak ada motornya terparkir di garase. Mungkin Landri belum pulang dari kampus, lebih baik kutunggu. Sebelum sempat kududuk, Eka, teman Landri di sebelah kamarnya tiba-tiba memanggilku dengan setengah berbisik.
”Landri pergi lima belas menit yang lalu, dengan seorang laki-laki.”
”Laki-laki?”
”Ya, tiang dengar suaranya dari kamar. Semula tiangpikir itu Beli, tapi suaranya kok beda. Mereka sempat mengobrol di depan, tapi tiang tidak jelas mendengar apa yang dibicarakan. Lalu mereka pergi, sepertinya pulang kampung. Apa Beli tahu?”
”Tidak. Tapi apa laki-laki itu pernah datang kemari?”
”Sepertinya tidak, karena suara motornya tidak juga tiang kenali. Entah siapa”. Eka mengernyitkan dahinya pertanda dia memang tak paham laki-laki itu.
Aku bergegas menghubungi Landri di handphone-nya, tapi tak diangkat, hanya nada tunggu yang bernyanyi. Landri pasti sedang di jalan, dia pasti pulang. Tapi dengan siapa?
Hingga sore aku tidak bisa menghubungi Landri. Sampai panas terasa tombol handphone aku pencet berulang-ulang, tapi Landri tetap tak menerima teleponku. Semula aku merasa tenang, lebih-lebih karena Landri memang hendak pulang hari ini. Mungkin aku terlalu siang menjemputnya ke kos, atau dia memang tak jadi ke kampus dan lebih memilih untuk pulang. Sampai akhirnya Nyoman, adiknya, meneleponku yang hampir tertelelap sejenak.
“Beli Made, jika mungkin Beli pulang sore ini juga!” begitu Nyoman berkata sebelum sempat aku sapa dia.
”Ada apa, Man?”
”Pulanglah, Mbok Landri kecelakaan dan seseorang telah……”
”Apa, kecelakaan? Tadi siang aku mencarinya ke kos, memang kami hendak pulang. Tapi kata temannya dia pulang dengan seseorang.”
“Ya, dengan seseorang yang tidak kita tahu. Dan Mbok Landri telah……”
“Telah apa, Man?” teriakku dan bangkit dari tempat tidur.
“Seseorang memperkosanya dan membuang dia di jalan. Sepertinya orang itu sengaja membuat peristiwa ini seperti kecelakaan.” Segera kumatikan handphone, menyambar jaket dan kutancap gas sekuat-kuatnya.
Landri…..kutemukan dia menatap matahari pagi dengan setia di pos kamling itu. Tak ada orang yang bisa mengajaknya pulang, tak ada orang yang tahu apakah dia sudah makan hari itu, tak ada orang yang tahu. Kadang anak-anak kecil menggodanya, menarik-narik bajunya, menarik-narik tangannya, tapi dia tetap diam. Landri hanya diam. Ketika matahari mulai menggelincir ke barat, dan nyamuk got mulai terbang menukik ke tubuh Landri, mencicipi setiap bagian yang dulu begitu halus, Landri pulang dengan langkah sempoyongan.
*****
Ibu menyambutku dengan mata yang bertanya-tanya, aku paham dia mungkin terkejut.
“Mengapa tidak berkabar, kamu pulang hari ini.”
”Ah, tidak usahlah, Bu. Tiang ingin memberi kejutan pada anak-anak. Mana mereka?”
”Mereka ikut ibunya ke pasar. Bapaknya baru kemarin berangkat ke Lombok. Bapa ada di dapur,” terang ibuku lalu terdiam dan menatapku lekat. Aku balas menatap ibu, ingin beranya.
“Landri di mana, Bu? Dia tidak ada di pos kamling” aku bertanya pelan dan hampir tak ada orang yang akan mendengar.
”Landri…….” Ibu diam berusaha mengatur nafas. “De, maafkan ibu jika tidak berkabar hal ini pada kamu. Tapi peristiwanya begitu cepat. Kamu harus tabah mendengar ini.”
”Mendengar apa?”
”Landri telah meninggal kemarin pagi.” Tubuh ibu berguncang menahan tangis dan air mata meleleh dengan deras. Aku tak paham, berusaha memegang waktu agar tidak berputar lebih cepat. “Dia meninggal dengan tenang di rumahnya, tak ada orang yang tahu, dia diam begitu saja. Selangkangannya berdarah, merah, dan kental. Kami tidak tahu, apakah seseorang telah melakukan sesuatu padanya. Kami menguburkannya kemarin sore, dengan upacara sederhana. Dia sudah tenang, jangan kamu khawatirkan lagi.”
Aku diam, diam seribu bahasa. Seperti apa yang dilakukan Landri selama ini. Mengapa selalu saja, saat perempuan itu ingin pulang aku tak sempat mengantarnya. Oh Landri, bahkan ketika kepulanganmu yang terakhir pun aku tak bisa mengantarmu? Selama ini mungkinkah kau dengan setia telah menunggu aku di jalan itu karena kau kendak ingin meyakinkan diri bahwa aku akan mengantarmu pulang? Namun mengapa kau menolak ketika pernah kubisikkan di telingamu, bahwa kita akan pulang. Mengapa kau tidak menunggu aku ketika aku yakin, aku amat rindu untuk pulang? (b.)