![]() |
Sebuah keluarga Bali melaksanakan tradisi matuunan dengan membawa sejumlah perlengkapan dan sesaji khusus. (balisaja.com/istimewa) |
Oleh: KETUT JAGRA
Tahun 2019, keluarga besar Made Dana, warga Tabanan, melangsungkan upacara pengabenan orang tuanya. Beberapa pekan menjelang puncak upacara, Dana bersama saudara-saudaranya mendatangi jero tapakan atau jero dasaran di salah satu desa di Buleleng. Mereka ingin menanyakan apa saja pesan orang tuanya sebelum upacara pengabenan dilaksanakan.
“Ini memang tradisi yang kami jalani setiap jelang ngaben. Sebelum upacara dilaksanakan, kami matuunan dulu, menanyakan apakah ada permintaan khusus dari orang tua yang kami upacarai. Siapa tahu ada janji, sesangi atau permintaan yang belum terpenuhi. Kamilah yang akan mencoba memenuhinya saat upacara pengabenan,” ungkap Dana.
Anggota keluarga Dana yang diajak matuunan termasuk lengkap: istri, adik-adik, serta anak-anaknya. Seperti diharapkan, ayahnya “hadir kembali” melalui perantara sang jero tapakan. Suara yang diucapkan sang jero tapakan pun menyerupai suara sang ayah semasa hidup. Danu beserta istri, dan adik-adiknya pun berlinang air mata ketika “sang ayah” menanyakan satu per satu siapa saja anggota keluarganya yang datang.
“Saya yakin itu memang benar roh ayah saya yang turun melalui badan kasar jero tapakan. Logat bicara hingga gayanya mirip,” tutur Dana.
Memang, tradisi menanyakan keluarga yang meninggal dunia ke jero tapakan atau lazim dikenal sebagai matuunan kerap dilakukan orang Bali menjelang upacara pengabenan atau upacara penting lain. Di beberapa tempat mungkin disebut dengan istilah yang lain, seperti mapinunasan, mapaluasan, nakonang, dan lainnya. Melalui ritual matuunan itu, orang yang sudah tiada “dihadirkan kembali” melalui perantara jero tapakan atau jero dasaran.
Tak hanya di kalangan masyarakat pedesaan, di perkotaan tradisi ini juga belum surut. Gede Wira, seorang warga Kayumas, Denpasar, juga melaksanakan ritual matuunan beberapa hari setelah adiknya meninggal dunia.
“Kami akan meng-aben-kan adik. Jadi, kami perlu matuunan dulu untuk bertanya hal-hal yang mungkin dimintanya saat upacara pengabenan,” tutur Wira.
Wira bersyukur adik tercintanya tidak meminta sesuatu yang berat. “Dia hanya minta pakaian sembahyang putih satu set lengkap. Tak ada permintaan aneh-aneh,” kata Wira.
Peneliti tradisi lisan dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Made Wiradnyana menjelaskan tradisi matuunanmerupakan tradisi khas masyarakat Nusantara yang berakar pada keyakinan terhadap roh leluhur. Masyarakat Nusantara meyakini yang mati hanyalah tubuh fisik, sedangkan roh atau jiwa tetap abadi.
“Ini bertemali dengan kepercayaan terhadap leluhur yang selalu melindungi generasi sekarang. Leluhur selalu hadir di tengah-tengah kehidupan generasi sekarang dalam dunia yang lain. Itu sebabnya, masyarakat Bali, tidak berani kepada leluhur,” kata Wiradnyana.
Bagi orang Bali, masa lalu selalu berhubungan dengan masa kini dan menentukan masa depan. Masa lalu, masa kini, dan masa depan merupakan sebuah aliran tidak terputus. Masa kini dipengaruhi oleh masa lalu. Masa depan dipengaruhi oleh masa lalu dan masa kini.
Leluhur atau mereka yang sudah meninggal dunia sebagai representasi masa lalu tidak bisa dipisahkan dengan apa yang terjadi di masa kini. Manakala di masa kini seseorang atau sebuah keluarga mengalami kekacauan yang tidak surut-surut, apalagi ketika jawaban yang diberikan rasionalitas tidak lagi memadai, menengok ke masa lalu menjadi sebuah jawaban. “Ini semacam membuka dialog batin, introspeksi diri,” kata Wiradnyana.
Mengenai pesan-pesan yang muncul dalam tradisi matuunan, kata Wiradnyana, memang tidak mudah dijelaskan dengan rasio. Apalagi jika hendak mempertanyakan, apakah yang berbicara melalui jero balian itu benar sang roh atau tidak.
“Selama ini kalau kita amati, orang Bali yang matuunan, meyakini hal itu dan ketika pesan yang didengar dirasakan selaras dengan apa yang dipikirkannya, lalu bisa melaksanakannya, seperti ada kepuasan lalu membuat tenang. Seolah tidak ada beban lagi. Jadi, matuunan menjadi semacam medium melepas beban terhadap masa lalu,” kata Wiradnyana.
Namun, Wiradnyana mengingatkan, tradisi matuunantidak bisa dilepaskan dari aspek keyakinan. Jika didasari keyakinan, tradisi matuunan bisa menjadi medium pelepasan beban terhadap masa lalu. Namun sebaliknya, jika tidak yakin, tradisi matuunan malah menjelma beban.
Boleh jadi itu sebabnya, tak semua orang Bali mau melaksanakan tradisi matuunan. Wayan Suteja, seorang warga Klungkung yang lama tinggal di Denpasar, tidak melaksanakan tradisi matuunan saat menggelar upacara ngaben sang ibu beberapa bulan lalu. Alasannya bukan karena tidak yakin, tapi lebih karena tidak ingin menjadikannya beban.
“Kalau sudah nakonang (menanyakan melalui matuunan) lalu tidak melaksanakan, nanti malah jadi beban,” katanya.
Yang penting, imbuh dia, upacara ngabenyang dilaksanakannya sudah berdasarkan tuntunan sulinggih yang merujuk kepada sumber sastra agama. Dia yakin, almarhum ibunya lebih tenang dan damai melihat anak dan cucunya bekerja dengan baik, jujur, dan berguna bagi keluarga dan masyarakat sehingga bisa menjaga nama baik leluhur, termasuk almarhum.
Namun, Suteja mengakui, keluarganya juga sempat melaksanakan tradisi matuunan ketika terjadi sesuatu masalah di keluarga dan ingin membuat tenang sebagian anggota keluarga. “Tapi tetap harus dipilah-pilah, mana permintaan yang rasional dan mungkin dilaksanakan, mana yang terkesan mengada-ada sehingga tak perlu dilaksanakan. Jadi wiweka tetap harus dijaga,” tandas Suteja. (b.)
_________________________________
Penyunting: I MADE SUJAYA