Oleh: I MADE SUJAYA
Lazimnya, dalam perayaan Tumpek Wariga atau Tumpek Pengatag, pohon-pohon diupacarai. Para petani, baik di sawah atau pun di tegalan akan disibukkan dengan ritual ngatag pohon. Tapi, di Desa Kusamba, Klungkung, ada tradisi ngatag yang unik. Selain ngatag pohon, sebagian warga di sana , terutama yang berprofesi nelayan, juga ngatag jukung (perahu tradisional).
Adalah Ni Nyoman Sudiarti, warga Kusamba, Sabtu (25/1) kemarin sibuk menyiapkan sesaji untuk ngatag jukung milik suaminya yang seorang nelayan. Banten-nya tak jauh berbeda dengan banten ngatag pohon. Seekor ayam panggang tampak menghiasi sesaji yang dipersembahkan. “Cukup sederhana saja, yang penting tetap bersyukur,” kata Sudiarti.
Bukan hanya Sudiarti yang melakoni prosesi ngatag jukung saat Tumpek Wariga. Ibu-ibu lain yang suaminya sebagai nelayan dan menggunakan jukung sebagai sarana melaut juga melakukan hal yang sama.
Keluarga nelayan umumnya turut hadir ke Pantai Kusamba meramaikan upacara ngatag jukung. Kadek Mertini yang juga warga Kusamba, turut menikmati kebahagiaan ngatag jukung bersama keluarga. Secara turun-temurun, keluarga besar Mertini di Kusamba memang dikenal setia menjadi nelayan.
Keseruan ngatag jukung di Pantai Kusamba makin terasa saat keluarga dan kerabat majarag lungsuran, sebuah tradisi menikmati isi sesaji yang baru saji dipersembahkan. Mereka pun mengadakan santap bersama di pantai. “Ya, saya senang karena ini juga menjadi momen berbagi kebahagiaan bersama keluarga,” tutur Mertini.
Tradisi ngatag jukung sudah dilakoni warga Kusamba sejak dulu. Warga Kusamba umumnya mengaku sudah nami (mewarisi) tradisi semacam itu.
I Wayan Sinah, seorang “pensiunan nelayan” yang kini menjadi pamangku menuturkan warga Kusamba ngatag jukung karena jukung umumnya terbuat dari kayu yang berasal dari pohon. Kini memang mulai muncul jukung dari piber, tapi umumnya masih menggunakan bahan kayu.
![]() |
Nelayan Kusamba berkumpul bersama keluarganya saat ngatag jukung di Pantai Kusamba. (balisaja.com/Kadek Mertini) |
“Ini sebagai bentuk ungkapan syukur karena kami bisa melakoni kehidupan nelayan berkat jasa dari jukung yang terbuat dari kayu,” kata Sinah.
Secara konsepsi, Tumpek Wariga merupakan hari pemujaan khusus Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manisfestasi sebagai Sangkara, sang penguasa segala yang tumbuh (sarwa tumuwuh). Memang, menurut tradisi susastra Bali , yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.
“Saat hari Tumpek Wariga tidak dibenarkan memetik hasilnya, memotong atau mematikan pohonnya. Hari ini baik dipakai sebagai hari untuk menanam bibit,” ujar penulis buku agama Hindu, Ni Made Sri Arwati dalam bukunya berjudul, Upacara Upakara Agama Hindu Berdasarkan Pawukon.
Namun, pendharma wacana agama Hindu, Ketut Wiana, agama Hindu memang menghormati tradisi yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tradisi ngatag jukung misalnya, menurut Wiana, merupakan bagian dari tradisi yang tumbuh di tengah masyarakat yang mesti dihormati.
Wiana membandingkan dengan tradisi mengupacarai mobil dan sepeda motor saat Tumpek Landep. Padahal sejatinya yang diupacarai semestinya segala jenis senjata. Dalam makna yang lebih simbolik, Tumpek Landep sebagai momentum mempertajam kesadaran logika manusia.
“Itu cara umat Hindu di Bali menghormati penggunaan unsur kayu atau pohon dalam jukung,” kata Wiana.
Perayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan. (b.)
________________________
Penyunting: KETUT JAGRA
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI