![]() |
Ogoh-ogoh mitologi gerhana bulan dalam Pawai Ogoh-ogoh Desa Adat Kuta tahun 2016. (balisaja.com/I Nyoman Graha Wicaksana) |
Oleh: IBW WIDIASA KENITEN
Tetua di Bali telah berupaya menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada generasi penerus Bali melalui budaya mendongeng. Tetua Bali dulu setiap sore atau malam menjelang tidur berupaya meluangkan waktunya untuk menjalin komunikasi dengan anak-anaknya atau nenek kepada cucunya. Jalinan ini secara tersirat menumbuhkan rasa hormat kepada orang tua. Komunikasi ini mempererat jalinan kasih antarorang tua dengan anak-anaknya. Anak-anak akan merasa dekat dengan orang tua dan orang tua juga secara tidak langsung bisa mengawasi anak-anakknya dan sekaligus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kebiasaan mendongeng untuk generasi milenialhampir tidak ada. Ruang kumunikasi batin dan rasa tergantikan oleh ponsel android. Komunikasinya lebih intens dengan dunia maya (digital). Kegiatan mendongeng akan tampak kembali tumbuh jika ada suatu momen, msalnya menyambut hari-hari tertentu katakanlah Hari Pendidikan ataupun hari Nasional lainnya ataupun PKB (Pesta Kesenian Bali). Dalam kehidupan keseharian hampir tidak ada. Beberapa upaya telah dilakukan katakanlah yang dilakukan oleh tokoh sepuh pendongeng Made Taro yang menerbitkan buku Kumpi Mangku Mendongeng yang diterbitkan oleh Cakra Media Utama, Denpasar.
Jika dicermati, dongeng tidak hanya mengungkapkan imajinasi belaka. Ia juga mengungkapkan pembelajaran yang bersifat ilmiah. Pembelajaran dengan mendongeng memang sengaja dilakukan agar anak-anak yang mendengarkan dongeng terjalin hati dan pikirannya. Olah rasa, olah batin, olah pikir tertuang di dalam hati pendengar atau pembaca. Pengolahan ini terjadi secar alami.
Cara Tetua Bali Mengajarkan Sikap Ilmiah
Salah satu dongeng yang ada dalam kumpulan ini adalah “Gerhana Bulan”. Dikisahkan bahwa Kalarau berhasil menghancurkan bumi Balidwipa. Rasa tidak puas muncul dalam diri Kalarau, ia ingin meminang Dewi Bulan. Akan tetapi, terus dihalang-halangi oleh para dewa. Dewa Wisnu menyuruh Dewa Kwera mengumpulkan para dewa untuk diberikan amerta agar bisa hidup abadi. Setelah semua dewa minum amerta, ternyata kalarau berubah menjadi berwujud dewa. Ini diketahui oleh Dewa Wisnu. Dewa Wisnu melepaskan panahnya dan Kalarau terpental. Kepalanya masih hidup, sedangkan tubuhnya jatuh ke bumi. Tubuhnya berubah menjadi ketungan (lesung penumbuk padi dari bahan kayu). Kalarau mengatakan pada hari-hari tertentu (purnama) akan menelan Dewi Bulan. Menelan inilah yang dikenal dengan gerhana bulan.
Gerhana bulan terjadi jika posisi bumi berada sejajar di antara matahari dan bulan. Posisi sejajarnya matahari, bumi, dan bulan menyebabkan bumi menutupi sinar matahari ke bulan. Bulan mendapatkan bayang-bayang bumi dan itu terjadinya saat purnama (bulan penuh). Cara tetua Bali mengajarkan sikap ilmiah melalui dongeng.
Perubahan Budaya
Dulu di Bali, jika terjadi gerhana bulan akan memukul kentongan atau peralatan lainnya dengan harapan tidak terlalu lama terjadi gerhana bulan. Bahkan, seorang wiku,jika gerhana bulan akan ngargha tirthakembali sebagai wujud menyucikan alam semesta ini. Tapi,sekarang kentongan hampir tidak terdengar lagi pada saat bulan gerhana karena sudah dipandang sebagai proses alam. Ini suatu pertanda adanya perubahan pola pikir dan pola sikap terhadap gejala alam. Perubahan juga tampak dari budaya agraris ke modern. Ketungan hanya digunakan saat upacara-upacara besar di Bali. Ketunganpelan-pelan tergerus perubahan dengan beras jadi. Hampir tidak ada budaya menumbuk padi untuk masa kini. Anak-anak milenial mungkin tidak mengetahui bahwa ketungan itu lusung untuk menumbuk padi. Jangan-jangan lesungjuga tidak diketahui kemanfaatannya mungkin termasuk alat penumbuknya juga. Perubahan ini perlu dijelaskan kepada anak-anak milenial agar mengetahui bahwa masyarakat Bali sudah memiliki budaya mengubah biji padi menjadi beras dan dilakukan secara bersama-sama (gotong royong). Kalau sekarang, tergantikan oleh mesin penggiling. Artinya, perubahan budaya yang terjadi perlu diketahui juga oleh generasi milenial Bali.
Dongeng “Gerhana Bulan”, sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk menumbuhkan sikap-sikap ilmiah dan sikap-sikap menghormati kearifan lokal. Orang dewasa, guru, orang tua bisa menceritakan bahwa tetua dulu sudah mengajarkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan alam. Menghormati alam, dengan melihat tanda-tanda yang dihadirkannya. Setiap peristiwa alam akan memengaruhi perilaku alam. Anak-anak, siswa (generasi milenial) Bali jika mendengarkan dongeng akan dapat menemukan manfaat di dalamnya. Olah rasa, olah batin, dan olah pikir akan tumbuh. Syukur-syukur setelah mendengarkan dongeng bisa menjadikan daya cipta, mengkreasi kembali dari hasil mendengarkan atau membaca dongeng.
Mendongeng tidak hanya membangun imajinasi pendengar atau pembaca. Ia juga menumbuhkan sikap-sikap ilmiah serta menyadari adanya perubahan budaya dari agraris menjadi industri. Generasi milenial Bali perlu mendekatkan dirinya dengan budaya sendiri hingga menyadari bahwa perubahan terjadi dan tidak menimbulkan kesenjangan dalam menghadapi sebuah perubahan. Mendongeng perlu dijaga dan dikembangkan hingga bersesuaian dengan perkembangan teknologi digital.
______________________________________
Penyunting: KETUT JAGRA