Tradisi bebantenan dalam masyarakat Bali bukan sekadar persembahan kepada Sang Pencipta. Namun, bebantenan juga berkaitan erat dengan cara manusia Bali menjaga alam. Karena itu, selain memahami banten secara visual, orang Bali juga mengetahui pengetahuan tentang alam sebagai penyuplai bahan banten. Selanjutnya dengan tetap menjaga sumber-sumbernya.
Pandangan ini dikemukakan penekun lontar sekaligus dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, I Gede Agus Darma Putra dalam acara Widyatula (Sarasehan) Bedah Lontar serangkaian Bulan Bahasa Bali (BBB) VI di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Jumat, 23 Februari 2024. Darma Putra menyajikan materi “Lontar Darma Kauripan: Sepat siku-siku Ngulati Jana Kerthi”.
“Misalnya, butuh banten prayascita dengan tetandingan-nya berupa sesayut. Sesayut itu terbuat dari daun kelapa sehingga harus menjaga pohon kelapa. Dalam pejati ada pangi, maka harus ada pengetahuan-pengetahun tentang pangi itu,” kata Darma Putra.
Itu sebabnya, Darma Putra menilai harus ada gerakan taman gumi banten, yaitu taman yang disediakan untuk belajar dan menyediakan kebutuhan untuk banten, dan pengetahuan itu banyak ditemukan dalam lontar-lontar Bali. Perihal taman gumi banten ini sebetulnya sudah pernah diinisiasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana beberapa tahun lalu. Bahkan, Unud sudah menerbitkan buku Taman Gumi Banten pada tahun 2010 lalu yang berisi informasi berbagai tanaman upacara dalam masyarakat Bali.
Membaca Lontar, Membuka Dunia
Darma Putra mengatakan, membaca lontar itu seperti membuka dunia. Ada banyak hal yang belum bisa diketahui maksudnya, terutama pemaknaan-pemaknaannya.
“Paling penting dari lontar itu, kita belajar bagaimana hubungan antara manusia dengan alam. Menjaga manusia sama dengan menjaga alam semesta, sehingga kita mempunyai kepekaan interpersonal dengan alam semesta,” kupas Darma Putra dalam diskusi yang dipandu oleh Pande Putu Abdi Jaya Prawira.
Menurutnya, tidak semua generasi muda tidak tahu membaca lontar. Ada yang tahu dan ada yang belum belajar. Oleh karena itu perlu belajar membaca aksara dan bahasa Bali yang bagus, bahasa Bali kuno, bahasa Jawa kuno dan dilengkapi dengan Sansekerta. “Bahasa lain juga perlu untuk belajar sumber-sumber sekunder, seperti bahasa Belanda, Perancis, Inggris dan bahan lainnya,” bebernya.
Malukat
Darma Putra juga menyinggung mengenai panglukatan atau pembersihan diri dengan menggunakan sarana air, banten, dan mantra. “Saat ini panglukatan sangat trend, bahkan sering dijadikan paket wisata. Melukat itu beda dengan mandi. Melukat harus ada mantranya. Walau demikian, ada pula yang mempercayai melukat itu tidak perlu ada mantra. Melukat itu karang keneh (keinginan). Menurut saya, melukat itu dijadikan paket pariwisata sah-sah saja, asalkan tidak mengganggu orang yang benar-benar ingin melukat,” imbuhnya.
Masing masing tempat memiliki tata cara tersendiri, sehingga harus dipatuhi. Jika harus antre, ya, mesti antre.
“Nah, kalau untuk melukat itu harus ada dan dijaga tempatnya seperti sumber air, danau, sungai dan sebagainya. Maka kita harus menjaga sumber air itu sendiri. Pemeliharaan itu yang harus kita galakan. Kalau itu dijadikan paket pariwisata, itu bonus dari pemeliharaan sumber air yang kita lakukan,” tegasnya.
Beberapa desa di Bali sekarang mengembangkan penataan tempat panglukatan dengan taman yang indah, pohonya dijaga, airnya bersih. Tetapi, indah di Bali itu harus dibarengi dengan suci dan benar, sesuai dengan konsep satyam, siwam sundaram.
“Karena itu penting dan bagus kita untuk belajar kembali tentang tumbuh-tumbuhan itu, juga tentang proses penglukatan itu sendiri. Intinya, kita tidak boleh melupakan yang digunakan untuk menjaga keseimbangan itu,” pungkasnya. (b.)
- Penulis: Made Radheya
- Foto: Made Radheya
- Penyunting: I Made Sujaya