Tari Rejang dikategorikan sebagai tarian sakral (wali). Tari ini dipentaskan untuk tujuan mengiringi prosesi ritual keagamaan Hindu. Tari Rejang, terutama Rejang Dewa, memiliki posisi penting karena wajib dipentaskan dalam ritual penting di Bali, seperti upacara pamlaspas, karya agung, bahkan juga saat piodalanrutin tiap 210 hari.
Belum diketahui secara pasti kapan sejatinya tari Rejang mulai muncul di Bali. Namun, para ahli sepakat, tarian ini merupakan warisan dari masa Bali Kuno. Dugaan ini didasarkan pada gerakan tari Rejang yang sangat sederhana. Memang, umumnya tarian pada masa Bali Kuno relatif sederhana.
Guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Wayan Dibia menyebut tari Rejang sudah berusia tua. “Dugaan sementara, tarian ini sudah ada di Bali pada masa pra-Hindu,” kata Dibia.
Varian tari Rejang juga cukup beragam. Ada Rejang Dewa yang umum dipentaskan dalam setiap piodalan, ada juga Rejang Abuang, dan belakangan yang sedang menjadi trend: Rejang Renteng. Di desa-desa Bali Aga yang merupakan pewaris kebudayaan Bali Kuno, varian tari Rejang jauh lebih beragam. Tarian ini biasanya anonim atau tak dikenal penciptanya.
Meskipun gerakan tari Rejang tergolong sederhana, tarian ini memiliki wibawa dan elegansi serta ciri khas yang sangat menawan. I Made Bandem dalam buku Kaja dan Kelod: Tarian Bali dalam Transisi, menjelaskan menjadi penari Rejang sama terhormatnya dengan penari Berutuk atau para penonton yang mencoba menyerobot busana Berutuk dan penari Sang Hyang Dedari beserta penyungginya.
Hal ini tidak terlepas dari posisi tari Rejang yang seolah menjadi tarian wajib dalam sebagian besar ritual agama Hindu di Bali.
Perihal dijadikannya tari Rejang sebagai salah satu tari sakral dalam ritual agama Hindu di Bali, menurut Dibia, tidak terlepas dari mitos mengenai turunnya para dewa untuk mengharmonikan kembali jagat raya setelah dilanda kekacauan di mana-mana. Paradewa turun ke bumi dengan menjadi seniman. Ada yang menjadi barong, ada yang menjadi dalang, sedangkan para bidadari menari Rejang.
“Tari Rejang itu semacam ungkapan rasa syukur, kegembiraan dan rasa hormat atas turunnya para dewa. Ritual piodalan dan sejenisnya kan juga dimaknai sebagai saat turunnya para dewa sehingga menjadi wajar tari Rejang kemudian dipentaskan,” kata Dibia.
Dibia menduga, kata rejang diambil dari kata reja yang berarti ‘indah permai, bagus’. Karena itu, tari Rejang diyakini mengungkapkan nilai-nilai keindahan. “Barangkali dari kata reja itu pula kemudian diturunkan menjadi Arja yang merupakan dramatari yang penuh dengan keindahan,” kata Dibia.
Tak hanya keindahan, tari Rejang juga diyakini sebagai simbol kesucian. Tidak saja karena tarian ini tergolong sakral sehingga hanya dipentaskan dalam momen-momen penuh kesucian, tetapi juga adanya tradisi yang masih bisa dilihat pada banyak desa di Bali yakni penari Rejang diambil dari anak-anak yang belum mengalami menstruasi pertama.
Seperti diakui Bandem, di desa-desa Bali Aga seperti di Tenganan Pegringsingan dan Asak, penari Rejang diambil dari anak-anak atau gadis-gadis desa yang masih muda. (b.)
- Penulis: I Ketut Jagra