Sinar matahari masuk dengan pelan ke kamarku. Semoga hari ini hari yang cerah, gumamku, dan segera bangkit dari tempat tidur. Hari ini kuputuskan untuk mengambil sisa libur tahunan yang tinggal tiga hari. Kupikir akan ada banyak waktu untuk menyelesaikan beberapa tulisan yang hendak kukirim ke beberapa media.
Meme terlihat menata canang di amben. Perempuan itu kulihat begitu rapi pagi ini.
“Meme hendak ke mana?”
“Tidak ke mana-mana. Kebetulan saja semua pekerjaan sudah selesai, jadi Meme mandi dan menyiapkan canang.”
“Made Ayu ke mana, Me? Ini kan hari minggu, biasanya dia yang menyiapkan canang.”
“Made dipanggil Bibi Sari. Hari ini anaknya mau ditinggal ke pasar, besok upacara tiga bulanannya,” terang meme-ku
Sari adalah adik bapakku yang menikah dengan anak bapak kepala desa di kampungku. Dia baru saja melahirkan putranya yang pertama.
*****
Dan aku lihat laki-laki setengah baya itu menyapu di halaman. Wayan Kadir namanya, dia setengah gila kata orang-orang kampung, tapi aku tidak percaya. Sebab, setiap harinya laki-laki itu tidak tampak berperilaku gila. Pagi hari, laki-laki itu membersihkan halaman hingga ke jalanan kecil di angkul-angkul rumahnya. Kadang siang hari jika aku masih di rumah, laki-laki itu kulihat tidur-tiduran di amben di samping dapurnya berteman sebuah radio kecil. Saat aku pulang kerja, itu pun jika tidak terlalu sore, laki-laki itu kulihat menimba air di sumurnya yang menghadap langsung dengan dapurku. Ya, halaman rumah itu memang terlihat dari halaman rumahku, kami tetangga tak berbatas.
Wayan Kadir memang sempat menjadi guru sebuah sekolah dasar di Karangasem, dan menikah dengan perempuan yang memberinya seorang anak laki-laki, namun entah bagaimana dia pulang dengan menderita sakit yang aneh. Dia pun berhenti mengajar, waktu itu aku masih sekolah di bangku SMP. Setelah konon sembuh, laki-laki itu memang kulihat tidak lagi memiliki sinar mata yang cerah. Pandangan mata itu seperti kosong, ada yang hilang disana. Begitu aku pikir ketika beberapa kali aku bertemu dengannya di balai banjar, atau sekedar berimpas di jalan. Kadang ia ingat menyapaku, kadang hanya tersenyum, kadang tidak sama sekali.
Beberapa kali, kata orang dia sempat hilang dari rumahnya tanpa sebab. Orang-orang bingung mencarinya, takut-takut jika dia bunuh diri, takut-takut jika dia ditabrak kendaraan. Seminggu dia hilang, keluarganya malah menemukan dia sedang duduk termenung di dam sungai yang membatasi kampungku dengan kampung sebelah. Orang-orang bilang dia berteman dengan orang-orang tidak berwujud, wong samar, gamang yang mendiami sungai itu. Orang-orang bilang begitu, tapi aku tidak percaya. Dan sejak saat itu Wayan Kadir memang sering menghilang dari rumahnya. Hilang tak tampak punggung, tiba-tiba datang dengan penuh senyum.
Ketika aku duduk di bangku SMU, aku tidak melihatnya lagi di rumahnya. Rumah tetanggaku itu sepi-sepi saja. Kata orang, laki-laki itu ada di rumah sakit jiwa. Ketika kutanya pada ayah, tak kudapat jawabannya.
“Seharusnya memang begitu, De, keluarganya seharusnya mengawasi dengan ketat. Dia memang tidak tampak gila, tapi peristiwa menghilangnya itu perlu dicurigai. Sekarang memang tidak membahayakan, tapi siapa tahu suatu saat dia mengamuk dan menyerang warga. Nah, itu yang berbahaya,” begitu terang ayahku ketika itu. Dan aku hanya mengangguk. Aku masih tidak percaya bahwa laki-laki itu gila.
Dan laki-laki itu datang lagi ketika aku mulai bekerja di sebuah restoran di kota. Laki-laki itu tak tampak lebih tua, masih sama seperti dulu, hanya rambutnya kulihat sedikit menipis dan berwarna kuning keemasan. Orang-orang bilang itu adalah karena wong samar temannya yang menberikan dia pinget, penanda agar dia mudah dilacak keberadaannya. Tak ada peristiwa aneh selama dia kembali ke rumah.
Waktu luangku sedikit terusik oleh laki-laki itu, ketika tingkahnya mulai kulihat aneh. Suatu saat aku melihat dia memperhatikan ibuku yang menjemur jaja uli dengan mata tak berkedip. Kadang dia juga memperhatikan adikku, Ayu, yang sedang menyiram tanaman hiasku. Laki-laki itu memperhatikan dengan sangat lekat, dari bale tempat dia biasa tidur-tiduran. Dalam pikiranku berkelebat perasaan yang tidak dapat aku katakan, kupikir laki-laki itu memang mulai gila. Entahlah, itu cuma perasaan saja. barangkali aku mulai percaya jika laki-laki itu gila.
“Meme, Bli Wayan Kadir itu memang gila sekarang,” kataku pada meme ketika kulihat suatu kali laki-laki itu memperhatikan meme-ku.
“Ah, sudahlah. Jangan memikirkan orang lain lagi, nanti kita yang salah. Biasa saja. jika dia menyapa, jawab dengan wajar. Jangan menjadikan dia orang aneh, walaupun dia memang aneh!”
“Ya, dia aneh, ya, Me. Sungguhkah dia berteman dengan wong samar, dedemit, memedi seperti kata orang-orang.”
“Meme tidak tahu, Meme tak pernah melihat yang begitu-begitu. Tanya saja pada orang lain.” Meme-ku memang selalu takut jika diajak bicara tentang hal yang seperti itu.
Aku tak ingin memikirkan laki-laki itu, aku tak begitu peduli lagi.
*****
Ibu merapikan beberapa buah tempehberukuran besar, yang kemarin ia pakai untuk upacara. Barangkali ibu hendak ke sungai untuk mencucinya. Ibu selalu melakukan itu, semua alat upacara berukuran besar selalu dicucinya ke sungai.
“De, bilang ke ayahmu, Meme pergi ke sungai. Jika sampai siang belum datang, suruh dia menjemput Meme. Jika kamu jadi ke Denpasar, jangan lupa kunci rumah.” Begitu pesan memesebelum menjujung tempeh-tempeh itu. Sebuah selendang berwarna merah dia gunakan untuk menyangga di kepalanya.
Aku hanya menjawab dengan anggukan, barangkali ibu tak melihat anggukanku karena dia begitu tergesa-gesa. Hari memang berubah menjadi sedikit terik, dan akan menjadi sedikit panas bila berada di pinggir sungai. Aku belum hendak mandi, setelah lewat tengah hari nanti aku baru hendak ke Denpasar, aku ingin menikmati rumah saja.
Sebentar kemudian ayahku datang dengan seikat kangkung di tangannya. Biasanya kangkung itu untuk bahan makanan beberapa ekor itik peliharaannya.
“Meme-mu ke mana, De?”
“Ke sungai, setengah jam lalu. Bapa diminta menyusul ke sana, tiang mau ke Denpasar” kataku bergegas mengambil handuk hendak mandi.
“Ah, kenapa juga harus ke sungai mencuci alat-alat itu. Di rumah saja kan bisa, apalagi si Wayan itu sering terlihat di sana.” Kalimat bapa itu kudengar jelas di telingaku, ada kekhawatiran di sana.
Tung…..tung….tung….tung….tung…..!!!! Kulkul bulus! Kulkul bulus memenuhi gaung udara!
“De, kulkul bulus! Ada apa ini?”
“Di mana ada kebakaran? Kenapa kulkul bulus?” Aku bergegas berlari ke luar rumah. Sampai di angkul-angkul rumah aku melihat beberapa laki-laki berlari ke arah rumahku dengan membawa parang. “Ada nak nyilem, ada nak nyilem.” Begitu teriak para lelaki itu pada semua orang yang keluar dari rumahnya kerena kulkul bulus. Bli Made Sukra, laki-laki kekar yang pertama kulihat berlari ke arahku dengan muka memerah.
“Meme, meme-mu, De! Meme-mu…!” Kudengar teriakan itu dari jauh.
“Ada apa dengan meme?” teriakku tak kalah keras
“Cepat, panggil bapa-mu. Meme-mu tenggelam di sungai, cepat!” teriak BliMade menghardikku dengan keras. Belum hendak aku masuk ke dalam, bapasudah berdiri di belakangku.
”Meme…..!” teriakku
“Cepat, Bapa, Men Gede tenggelam di sungai. Tidak ada yang bisa menolongnya lagi, dia terbawa arus di bawah sungai. Dia…..”
Ah, suara BliMade sudah tak kudengar lagi. Aku berlari kencang menuju sungai yang memang tak jauh dari rumahku. Banyak orang di sana, banyak orang menagis, dan laki-laki itu berdiri di atas sebuah batu. Laki-laki itu diam, membawa selendang meme.
Laki-laki itu, Wayan Kadir. Aku melihatnya melilitkan selendang meme di bale-baleyang dia sering tiduri. Ayu, adikku selalu menangis bila melihat selendang itu, dia ingat meme. Dan laki-laki itu selalu mengelus selendang itu seperti mengelus-elus istrinya. Konon ibuku mirip dengan istrinya. Konon istrinya lari dengan laki-laki lain ke pulau Jawa. Konon, dia pernah hampir membunuh istrinya di Karangasem dengan membenamkan kepala istrinya di bak mandi karena ketahuan selingkuh. Dan dia, membunuh meme-ku, perempuan yang mirip istrinya dengan mendorong memeke sungai siang itu.
__________________________________
- LUH SUWITA UTAMI dilahirkan di Gianyar, 15 Juli 1980. Menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Bali. Karya-karyanya dimuat di berbagai surat kabar dan majalah. Buku kumpulan cerpen berbahasa Bali karyanya diterbitkan Balai Bahasa Bali pada tahun 2017 dengan judul Manyonyo. Kini bekerja sebagai peneliti di Balai Arkeologi Bali.