Menu

Mode Gelap
Menghapus Garis Demarkasi Kolonial: Catatan Pertunjukan Arja Mahasiswa Bahasa Bali Undiksha Kebun Jagung di Beranda Kelas: Catatan dari Pelatihan Menulis bagi Guru dan Siswa SMKN 1 Petang Digelar 23-25 Juli 2024, Rare Bali Festival Usung Tema “Tribute to Made Taro” Mengenang Kembali Dedikasi Maestro I Gusti Nyoman Lempad Integrasi Literasi dalam Pembelajaran dan Digital Kultur: Workshop Literasi-Numerasi SMPN 1 Selemadeg Timur

Bale Bengong · 21 Des 2023 05:06 WITA ·

Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput


					Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput Perbesar

Dari Safari Literasi di Desa Songan, Kintamani, Bangli

Oleh I Wayan Artika

Lewat kerja sama, gerakan safari lierasi akar rumput dapat melibatkan berbagai pihak, seperti sekolah, komunitas, dan lembaga lembaga pendidikan di kabupaten atau kecamatan. Akhir tahun ini, bersama Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PPM) 3 tahun 2023, diselenggarakan kegiatan safari literasi di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Kegiatan ini adalah hasil kerja sama dengan Komunitas Tanpa Laut dan Komunitas Desa Belajar Bali yang memusatkan perhatian pada gerakan literasi akar rumput.  Yang menarik dari safari literasi ini adalah pemilihan tema. Tema ini sejatinya sangat penting bagi desa-desa di kaldera Batur.  Tidak hanya penting bagi desa-desa tersebut, justru memberi sumbangan yang lebih besar pada perkembangan pemikiran di masa depan dalam kesenian dan kebudayaan Indonesia.

Yang tidak pernah terbayangkan adalah berkembangnya kawasan ini menjadi daerah pariwisata yang sangat terkenal di dunia. Ini semua berkat jasa sastrawan Angkatan Pujangga Baru, yaitu Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang pada tahun 1974 mendirikan Balai Seni di Desa Toyabungkah, salah satu desa yang menjadi bagian dari desa Bintang danu (desa-desa kecil yang ter tersebar di tepi danau Batur).

Kemajuan pariwisata yang jantungnya di Penelokan, tidak terlepas dari kehadiran STA dengan Balai Seni Toyabungkah dan berbagai agenda kesenian, kebudayaan, dan pemikirannya, baik berupa pertunjukan maupun sarasehan. Ini ternyata menjadi penting bagi perkembangan kawasan ini ketika populer sebagai destinasi pariwisata dunia.

Namun, sebagaimana telah ditulis kemudian oleh banyak orang, Balai Seni Toyabungkah ini pun pada akhirnya terkubur. Tentu saja setelah kepergian STA karena berbagai alasan. Yang terpenting dari alasan itu adalah tidak adanya penerus pemikiran dan pergerakan dalam bidang kebudayaan. Sebaliknya sektor pariwisata di kawasan ini justru bangkit.

Balai Seni Toyabungkah tergantikan oleh hingar-bingar wisata di desa bintang danu dengan pesona air panas kaldera, menyaksikan matahari terbit di puncak Gunung Batur atau mengunjungi Desa Trunyan dan kuburannya untuk menikmati suguhan tengkorak dan tulang belulang yang berserakan di semak-semak taru menyan yang harum atau menyimak mayat yang setengah membusuk.

Dari berbagai tulisan tentang Toyabungkah kemudian dan dari para penulis yang memiliki minat kepada keusastraan,  nama STA dan Balai Seni Toyabungkah ini tentu saja sangat penting. Tulisan-tulisan kemudian adalah kisah-kisah gagasan-gagasan besar STA yang disemai di Kaldera Batur.

Di samping ada beberapa catatan perjalanan dan nostalgia pada keberadaan balai seni Toyabungkah, juga ada usaha usaha untuk menghidupkan kembali aktivitas sastra di Balai Seni Toyabungkah. Misalnya, apa yang dilakukan oleh pengelola Batur Geo Park bekerja sama dengan beberapa pihak yang tertarik dengan keberadaan Balai Seni Toyabungkah.

Salah satu kegiatan dalam Safari Literasi Akar Rumput di Kaldera Batur, 12 Desember 2023. (Foto: Eka Adheyana)

Safari gerakan literasi akar rumput kali ini berangkat dari pemahaman bahwa Balai Seni Toyabungkah adalah bagian yang relevan dari dari gerakan literasi sekolah. Pemahaman ini dimulai di sembilan SD di Desa Songan.

Salah satu kelemahan gerakan literasi sekolah adalah kurangnya inovasi program literasi. Program yang ada tidak hanya terbatas tetapi juga formal. Hal ini menjadi alasan semakin tahun semakin surut. Di antara sedikit kegiatan atau praktik baik literasi adalah membaca 15 menit. Ini pun semakin hari semakin membosankan lalu surut dan ditinggalkan. Maka tamatlah riwayat literasi di sekolah dan GLS sedang menghadapi kegagalan.

Di tengah kondisi ini, melalui program safari literasi terungkap, ternyata yang dibutuhkan oleh sekolah adalah praktik-praktik baik literasi di akar rumput. Sementara ini gerakan literasi tidak pernah menyentuh kehidupan di akar rumput. Gerakan literasi akar rumput ini memfokuskan diri pada membantu sekolah dalam melakukan inovasi praktik baik literasi berupa program yang inovatif.

Gerakan literasi berkelanjutan jika bermakna bagi siswa dan guru. Karena itulah gerakan literasi sekolah akan bisa terus berdenyut dan berkembang jika dikaitkan dengan asesmen kompetensi minimum  (AKM) dan rapor pendidikan. Rapor pendidikan mengukur pencapaian-pencapaian literasi dan numerasi siswa.

Di sekolah GLS sebenarnya dapat menjadi program untuk menunjang pencapaian rapor pendidikan dalam bidang literasi dan numerasi. Gerakan literasi akar rumput kemudian bekerja berdasarkan pendekatan minat dan kebutuhan sekolah. Gerakan ini menyasar dan bekerja sama dengan guru atau kepala sekolah serta komunitas yang memiliki minat besar pada literasi.

Yang dilakukan di sekolah-sekolah sasaran atau tujuan safari literasi akar rumput adalah menggali potensi-potensi lokal untuk menunjang program inovatif literasi karena hal ini dapat dipandang secara formal memiliki kaitan yang kuat dengan praktik praktik literasi.

Kehadiran Balai Seni Toyabungkah tentu saja sangat erat hubungannya dengan gerakan literasi. Pendiri Balai Seni Toyabungkah di masa lalu adalah STA, seorang sastrawan dari Angkatan Pujangga Baru yang sangat penting. Dari keberadaannya sebagai sastrawan, maka Toyabungkah dan desa-desa bintang danu di kaldera Batur menyimpan potensi literasi yang luar biasa.

Gerakan literasi akar rumput dalam safarinya yang menyasar sembilan SD di Songan menemukan satu program gerakan literasi sekolah dengan mengangkat tema spirit STA dan Balai Seni Toyabungkah.  Tema ini menyimpan potensi literasi yang sangat besar dan perlu diolah untuk dijadikan materi dan model gerakan atau praktik baik literasi yang kontekstual bagi sekolah dasar sekolah menengah pertama dan SMK yang ada di Kaldera Gunung Batur. Dengan demikian, gerakan literasi memiliki kekhasan.

Hal ini tampak pada tema yang dipilih. Gerakan literasi yang mengusung tema tertentu berdasarkan lingkungannya dan potensi-potensi yang ada, terkait dengan literasi disebut dengan gerakan literasi tematika.

Gerakan literasi tematika adalah gerakan literasi yang bermula dari suatu tema. Tema inilah kemudian digarap dalam berbagai kegiatan literasi.  Kegiatan literasi di kaldera Batur dengan tema STA; maka materi-materi literasi adalah berkaitan dengan kepengarangan STA, pikiran-pikirannya dalam memajukan kebudayaan Indonesia dan visi pengembangan kesenian berwawasan masa depan di Balai Seni Toyabungkah.

Program-program literasi juga bisa dilakukan dengan menjadikan Balai Seni Toyabungkah sebagai situs literasi. Sekolah-sekolah yang ada di kaldera Batur bisa menyelenggarakan berbagai kegiatan literasi di sekolah masing-masing namun diharapkan ada agenda kunjungan ke situs literasi. Walaupun pada saat ini sudah terkubur namun dengan adanya gerakan literasi ini berarti aktivitas Balai Seni Toyabungkah tetap bisa hidup di kaldera Batur sebagaimana dulu pernah dicita-citakan oleh STA.

Dengan pola gerakan ini ternyata literasi bisa menjadi satu kegiatan konservasi. Artinya kegiatan literasi dapat menghidupkan kembali ide-ide yang sudah terkubur di masa lalu. Literasi kemudian adalah konservasi pemikiran; konservasi budaya dan dilakukan secara nyata dan langsung, berkelanjutan di atas satu situs atau kawasan. Dengan inilah literasi tidak hanya membingungkan dan membosankan karena hanya mampu mengisi kegiatan literasi dengan praktik membaca 15 menit dan ini pun sudah kehilangan semangat dan bahkan juga tidak banyak dilakukan lagi karena tidak memiliki manfaat bagi sekolah-sekolah di kaldera Batur.

Tampaknya dengan mengangkat kembali keberadaan Bali Seni Toyabungkah dan ketokohan STA dalam GLS akan memberikan ciri khas dan nilai praktis bagi gerakan literasi di kaldera Batur. Dengan pola gerakan yang bertema, berangkat dari potensi-potensi literasi setempat; maka gerakan literasi sekolah memiliki pijakan dan alasan yang kuat.

Tinggal sekarang bagaimana mengembangkan program-program literasi dalam periode satu semester atau satu tahun ke depan. Sekolah-sekolah bisa menyelenggarakan program literasi yang terikat pada satu tema yaitu STA, bigrafi dan karya-karyanya. STA dan Bali Seni Toyabungkah bisa dikembangkan menjadi kurikulum GLS literasi atau materi-materi gerakan literasi yang bisa digunakan di sekolah-sekolah di kaldera Batur.

  • Penulis adalah dosen Undiksha, pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali.
Artikel ini telah dibaca 131 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Menghapus Garis Demarkasi Kolonial: Catatan Pertunjukan Arja Mahasiswa Bahasa Bali Undiksha

27 Juli 2024 - 23:39 WITA

Kebun Jagung di Beranda Kelas: Catatan dari Pelatihan Menulis bagi Guru dan Siswa SMKN 1 Petang

7 Juli 2024 - 22:51 WITA

Integrasi Literasi dalam Pembelajaran dan Digital Kultur: Workshop Literasi-Numerasi SMPN 1 Selemadeg Timur

2 Mei 2024 - 05:35 WITA

Bertapa Kata-kata di Era Media Sosial [Renungan Hari Saraswati]

20 Mei 2023 - 06:10 WITA

Literasi di Tengah Tantangan Ekonomi Orang Tua Siswa: Catatan Safari Literasi Akar Rumput di Jembrana

14 Mei 2023 - 11:40 WITA

Menguak Hegemoni Teks Ilmiah di Kampus: Catatan Safari Literasi di UPMI Bali

25 Maret 2023 - 09:17 WITA

Trending di Bale Bengong