Seks kerap kali dikontraskan dengan laku spiritual. Spiritualitas itu berada di ketinggian, sedangkan seks berkubang di titik terendah. Padahal, tradisi Bali memandang seks sebagai sesuatu yang suci. Lontar-lontar Bali menyebut seks sebagai ritual. Itu sebabnya, teks-teks tradisional Bali mengingatkan, seks juga harus dilandasi dengan dharma atau kesucian untuk mencapai moksa.
Koordinator penyuluh bahasa Bali Kabupaten Gianyar, Ida Bagus Oka Manobawa mebeberkan sejumlah lontar yang mengungkap tentang seks. Tradisi Bali menyebut ilmu tentang seks ini sebagai Kama Tattwa. Di antaranya, lontar Rsi Sambina, Rahasya Sanggama, Smarakridalaksana, Rukmini Tattwa, Indrani, Smaratantra, Usada Smaratura, Usada Lara Kamatus, Prasi Dampatilalangon serta Pameda Smara. Naskah-naskah tradisional Bali itu, kata Oka Manobawa, merupakan karya sastra warisan budaya yang telah mencermati adanya sisi ganda seks. Teks-teks itu juga mengindikasikan pentingnya Kama Tattwa dalam kehidupan masyarakat Bali.
“Pentingnya Kama Tatwa pada hakikatnya adalah sebagai suatu ajaran yang dapat menuntun pada cara pencapaian kama sesuai dengan etika dan dharma. Kama Tatwa akan memandu seseorang agar tidak terjebak ke dalam perilaku seks yang menyimpang,” beber Oka Manobhawa.
Di antara berbagai lontar itu Pameda Smara menarik dicermati. Secara umum, kata penekun lontar kelahiran Ubud ini, teks lontar Pameda Smara menjelaskan tentang petunjuk diwasa (pilihan hari baik) dalam melakukan senggama serta pengaruh dari pameda smara serta tentang tata cara pengobatan penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh pameda smara.
Kalau dicermati, imbuh Oka Manobhawa, kata Pameda Smara berasal dari dua buah kata, yakni pameda dan smara. Menurut Kamus Jawa Kuna Indonesia karangan Zoetmulder (1995), kata pameda berasal dari kata dasar beda yang memiliki arti ‘beda, perdedaan’. Kata beda ini mengalami proses afiksasi Pa- N, sehingga menjadi kata pameda yang dapat diartikan ‘perbedaan’. Namun dalam konteks ini lebih mengarah kepada makna ‘kelainan’. Sedangkan kata smara sendiri berarti ‘cinta, dewa cinta’. Jika dihubungkan dengan kontes dari teks Pameda Smara ini dapat diberikan pengertian seks.
“Pameda Smara ini dapat diartikan sebagai sebuah teks yang mengungkapkan tentang ‘kelainan seksual’ khususnya pada pria,” beber Oka Manobhawa.
Teks Pameda Smara menguraikan tentang pemilihan hari baik untuk melaksanakan persenggamaan, karena hubungan senggama bagi seseorang yang telah menjalankan kehidupan grahasta asrama tidaklah sekadar sebagai pelampiasan nafsu. Persenggamaan merupakan sebuah ritual intim yang hanya dikehendaki oleh pasangan suami istri yang dilandaskan atas dasar kebijaksanaan dharma. “Dengan kata lain, dalam memenuhi kebutuhan akan kama haruslah dilandasi dengan dharma sehingga tercapainya moksa dalam hal ini adalah kajagadhitaan,” ungkap Oka Manobhawa.
Dalam teks Pameda Smara disebutkan beberapa aturan tentang hari baik dan buruk dalam melakukan persenggamaan, di antaranya pada saat hari kelahiran, purnama, tilem, purwani, Anggara Kliwon, Budha Kliwon, Saniscara Kliwon, serta semua rerahinan.
“Jika seseorang tidak mengindahkan akan hari buruk tersebut maka akan terkena malapetaka. Kalau dalam sastra bahwa melakukan persengamaan pada hari-hari yang dilarang tersebut dikatakan hamaḍa maḍa dewattha (menyamai perbuatan dari para dewata). Karena secara spritual kita sebagai umat Hindu sudah mengetahui bahwa hari prawani, purnama, tilem dan hari-hari yang disebut sebagai rerahinan tersebut merupakan hari untuk melakukan pemujaan kepada leluhur maupun para dewa dan merupakan sebuah bentuk upaya pembelajaran agar umat Hindu dapat membedakan mana wilayah kenikmatan rohani dan mana wilayah kenikmatan duniawi. Sehingga diharapkan pada hari suci umat Hindu dapat mengarahkan pikirannya pada derajat kesucian, sementara pada saat bersenggama, manuasia terkait dengan kenikmatan dan kepentingan duniawi,” jelas Oka Manobhawa.
Namun kalau dikaitkan dengan logika bahwa adanya larangan pada hari-hari tertentu, secara logis dapat dijelaskan sebagai upaya agar konsentrasi kita tidak terpecah. Pada hari Purnama, Tilem dan hari hari suci, umat Hindu akan tersedot perhatian dan tenaganya untuk kegiatan persembahyangan ataupun kegiatan suci lainnya. Tentunya segala bentuk aktivitas tersebut akan menyebabkan tersedotnya energi pada diri seseorang. Jika melakukan hubungan badan pada saat kondisi badan capek tentu tidak membuahkan hasil yang tidak baik.
Selain pada hari-hari rerahinan, teks Pameda Smara juga melarang untuk melakukan persenggamaan di saat siang hari karena akan berdampak tidak baik dan diibaratkan seperti halnya binatang.
Namun, selain menyebutkan hari pantangan bersenggama, teks Pameda Smara juga memberi petunjuk tentang hari yang baik untuk melakukan persenggamaan. Di antaranya, Saniscara Umanis, Budha Pon dan Sukra Pahing. “Pemilihan hari baik ini sangatlah perlu untuk di taati, guna nantinya memperoleh keturunan yang memiliki kualitas atau putra suputra,” tegas Oka Manobhawa.
Dalam keyakinan orang Bali, pemilihan hari melakukan senggama berpengaruh terhadap kerukunan berumah tangga. Agama Hindu yang menjiwai budaya Bali sangatlah memuliakan adanya perkawinan, sebab dengan perkawinanlah keberlangsungan kehidupan akan tetap terjaga. Dengan terjaganya kehidupan di muka bumi, maka tradisi-tradisi yang dianjurkan dalam kitab suci tetap dipertahankan dan dilaksanakan. Kemuliaan sebuah perkawinan hendaknya jangan dinodai oleh adanya perceraian yang menandakan adanya ketidakharmonisan dalam hubungan tersebut.
“Dalam teks Pameda Smara jelas tersurat akibat yang nantinya dapat dialami oleh orang yang melanggar ajaran yang Pameda Smara akan terjangkit penyakit kelainan seksual,” tandas Oka Manobhawa. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya
- Foto: I Made Sujaya
- Penyunting: Ketut Jagra