Bendesa Desa Adat Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa (paling kanan pegang mik) berbicara dalam Rembug Sastra “Mengupas dan Mengenal Zaman Menurut Lontar Catur Yuga” di Puri Anyar Ubud, Kamis (2/7). |
Zaman Kali Yuga kerap dimaknai sebagai zaman kehancuran. Lontar Catur Yuga menggambarkan zaman Kali Yuga sebagai zaman huru hara. Namun, lontar yang juga dikenal sebagai lontar Purbhasasana itu juga memberi tuntunan jalan selamat yang mesti ditapaki manusia, yakni mengedepankan atau memuliakan perilaku atau sifat-sifat yang dilandasi ajaran dharma serta senantiasa mendekatkan diri kepada Hyang Pencipta.
Begitu simpulan rembug sastra bertajuk “Mengupas dan Mengenal Zaman Menurut Lontar Catur Yuga” yang digelar Ubud Royal Weekend dan Puri Anyar Heritage di Puri Anyar Ubud, Kamis (2/7). Rembug sastra yang digelar menyambut hari Saraswati itu menghadirkan dua pembicara, yakni Ida Pedanda Gde Putra Bun dari Griya Keniten Dukuh Agung Jukutpaku Singakerta serta Bendesa Desa Adat Ubud sekaligus tokoh Puri Saren Kauh Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa. Diskusi yang disiarkan langsung di instagram itu dimoderatori Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Gianyar, Ida Bagus Oka Manobhawa serta dibuka Panglingsir Puri Agung Ubud, Tjkokorda Gde Putra Sukawati. Menurut Ketua Panitia Rembug Sastra, Tjokorda Gde Agung Ichiro Sukawati, lontar Catur Yuga yang dibahas merupakan koleksi Puri Saren Kauh Ubud.
Lontar Catur Yuga, seperti dijelaskan Ida Pedanda Gede Putra Bun, menceritakan Raja Bhanoraja yang memerintah di Kerajaan Purbhasasana. Sang raja yang memiliki permaisuri Dewi Tattwawati itu memiliki seorang putri cantik dan bijaksana bernama Dewi Ratnarum. Sang putri dilamar Raja Rekatabyuha yang dikenal rakus, jahat dan dipengaruhi Kalisanghara. Raja Bhanoraja tentu saja menolak lamaran Raja Rekatabyuha. Hal inilah yang memicu Raja Rekatabyuha menyerang Kerajaan Purbhasasana. Karena mendapatkan anugerah dari Hyang Mahakuasa, Raja Bhanoraja akhirnya bisa mengalahkan Raja Rekatabyuha.
Ida Pedanda Gde Putra Bun (tengah pegang mik) menceritakan isi lontar Catur Yuga. |
Dalam narasi Raja Bhanoraja itulah diselipkan pembagian empat zaman yang disebut sebagai Catur Yuga, yakni zaman Kertha Yuga, Traita Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Pada zaman Kertha Yuga, umur manusia sekitar seratus ribu tahun, tidak banyak ada perubahan, dunia tenang tidak tertimpa rasa sakit, tidak ada pikiran baik-buruk, mati-hidup, suka-duka, sakit-lapar. Pada zaman Traita Yuga, umur manusia sekitar lima ratus tahun, manusia selalu dalam keadaan suka, tidak ingat dengan hari tua. Zaman Dwapara Yuga ditandai oleh umur manusia sekitar dua ratus tahun, manusia diajarkan untuk bijaksana, pemberani tetapi senantiasa mesti mengendalikan diri dan pengaruh indera. Sementara zaman Kali Yuga ditandai oleh umur manusia yang sekitar seratus tahun, mulai ada huru-hara di dunia, hampir rusak tiada tara, mendung tebal akan menurunkan hujan, perigi akan kering, enam puluh tahun penuh dengan kekerasan, selalu berpisah tiada mau bersatu dan timbullah tri mala, yakni mada, moha, dan kasmala.
Pada zaman Kali Yuga, imbuh Ida Pedanda, Sang Hyang Brahma menjelma pada seorang raja yang berkuasa, ikut juga Hyang Kala, Hyang Kali berwujud manusia menjelma di bumi, sama-sama menikmati kesenangan, selalu memangsa manusia, berlaksana angkara murka. “Itulah sebabnya, kelahiran manusia menjadi tidak baik, pikiran manusia menjadi tidak baik, selalu memenuhi loba dan tamak,” kata Ida Pedanda.
Ida Bagus Oka Manobhawa (paling kanan mencakupkan tangan) menjadi moderator rembug sastra. |
Tjokorda Raka Kerthyasa mengungkapkan karya sastra, termasuk lontar Catur Yuga, merupakan salah satu media dan alat komunikasi, menyajikan pesan-pesan sesuai kondisi sosial pada zamannya. Sastra sebagai simbol ekspresi, sebagai medium komunikasi verbal dan nonverbal juga sebagai manifestasi transendental.
“Karya sastra adalah fondasi, sumber dan energi kehidupan. Melalui penyampaian simbol-simbol sebagai kiasan, sastra memberikan pikiran kita ruang agar inspirasi dan kreativitas itu tidak berhenti dalam mencari ide-ide untuk mendapatkan solusi, inisiatif, merekonstruksi kesadaran sosial. Begitu juga mengarungi zaman Kali Yuga ini,” kata Tjok Ibah, begitu panggilan akrab tokoh ini.
Oka Manobhawa menambahkan keberadaan zaman kaliyuga serta aturan berperilaku yang sesuai menurut ajaran sastra seperti apa yang dijabarkan dalam lontar Catur Yuga juga telah termuat dalam di berbagai pustaka lainnya, seperti dalam Wisnu Purana, Kakawin Ramayana, Nagarakertagama, serta pustaka Widura Niti Wakya. Dalam teks-teks itu disebutkan, ketika datangnya zaman Kali Yuga, jalan yang patut dan utama dilaksanakan oleh manusia yakni dengan selalu mendekatkan diri kepada Hyang Pencipta (mamekul ri padhaSang Hyang Widhi Wasa). (b.)