Tradisi memilih hari baik untuk melakukan suatu upacara atau kegiatan atau biasa dikenal padewasan (dewasa ayu) kini makin sering dilabrak. Lantaran berpandangan semua hari itu baik lantas tradisi padewasan tak lagi diikuti.
Akibatnya, waktu pelaksanaan upacara keagamaan di Bali belakangan sering sambung-menyambung, tak mengenal waktu. Orang Bali pun diam-diam mengeluh karena berbagai upacara yang tiada putus itu membuat mereka tak bisa leluasa membagi waktu antara kerja dan upacara.
Di Karangasem, baru-baru ini, sebuah keluarga melangsungkan upacara perkawinan tepat saat hari raya Galungan. Lazimnya, dalam tradisi Bali, sejak Sugihan Bali hingga Buda Kliwon Pegat Wakan dipantangkan menggelar upacara berjenis ngwangun.
Orang Bali biasanya memilih hari baik nganten terakhir saat 21 hari menjelang Galungan yang dikenal dengan istilah selikur Galungan. Setelah itu hingga Buda Kliwon Pahang, tak ada yang melaksanakan upacara perkawinan. Setelah Buda Kliwon Pahang baru orang menggelar upacara.
Penyusun kalender Bali, I Gede Marayana juga mengamati fenomena melabrak tradisi padewasandi kalangan masyarakat Bali kini. Biasanya, tradisi padewasan dipertentangkan dengan pandangan yang menyebutkan semua hari itu baik. Karena itu, melaksanakan upacara, kapan pun, boleh-boleh saja, sepanjang ada waktu.
“Apalagi ada tradisi pacaruan mala dewasa atau mempersembahkan banten khusus untuk menetralisir pengaruh buruk dewasa. Ini lantas dianggap boleh-boleh saja menggelar upacara kapan saja, bahkan saat dewasa ala sekali pun karena sudah ada upacara untuk mentralisirnya,” kata Marayana.
Menurut Marayana, upacara pecaruan mala dewasa sesungguhnya hanya untuk keadaan khusus. Artinya, suatu upacara harus dilaksanakan karena alasan khusus sementara dewasa ayu tidak ada atau membutuhkan waktu yang lama.
“Janganlah sesuatu yang sesungguhnya hanya untuk keadaan khusus lantas digunakan untuk keadaan normal. Itu jelas tidak tepat,” kata Marayana.
Padahal, menurut Marayana, tradisi padewasan merupakan cara untuk berdisiplin mengelola waktu. Dengan tradisi padewasan, orang Bali belajar bijak memanfaatkan waktunya untuk berbagai kegiatan.
“Memang betul, semua hari itu baik. Tapi, baik untuk apa? Ada hari baik untuk melaksanakan upacara manusa yadnya, tidak baik untuk upacara bhuta yadnya. Ada hari baik untuk membakar genteng, tapi tidak baik untuk mengatapi rumah. Ini yang kadang tidak dipahami orang,” kata Marayana.
Bagi Marayana, tradisi padewasan tetap harus dipertahankan. Pasalnya, dengan adanya dewasa ayu dan ala, orang Bali memiliki kepastian waktu pelaksanaan yadnya atau pun suatu kegiatan.
“Begitu Sasih Karo datang, orang Bali sudah maklum, akan banyak orang ngaben karena waktu itu memang baik untuk atiwa-tiwa. Jadi sudah ada bayangan kapan akan melaksanakan apa,” kata Marayana.
Tradisi padewasan, kata Marayana, sudah didasarkan pada perhitungan yang matang mengenai pengaruh alam terhadap kegiatan manusia. Tradisi padewasan merupakan wujud konsep desa, kala, patra yakni tempat, waktu dan keadaan yang mempengaruhi kehidupan.
Hal senada dikemukakan tokoh masyarakat Kedonganan, I Ketut Madra. Menurut Madra, tradisi padewasan sesungguhnya masih layak dipertahankan karena sesuai dengan perkembangan zaman. Ketika banyak orang Bali kini bekerja di sektor jasa yang ketat mengatur waktu kerja, tradisi padewasan bisa menjadi solusi. Jika semua orang Bali disiplin dengan tradisi padewasan, dalam setahun sudah bisa diprediksi, kapan akan dilangsungkan suatu upacara atau kegiatan tertentu. Dengan begitu, orang Bali yang bekerja di sektor swasta bisa mengatur waktu libur atau cutinya agar bisa terlibat dalam upacara.
“Tradisi ngaben massal misalnya. Kalau desa menetapkan setiap tiga tahun sekali pada Sasih Karo, krama desa sudah bisa berancang-ancang kapan mengambil libur atau cuti untuk berperan dalam upacara itu. Tidak setiap saat ada upacara pengabenan yang menyebabkan orang yang terlibat bingung mengajukan libur atau cuti kerja di tempatnya bekerja,” kata Madra.
Menurut Madra, tidak semua tradisi itu buruk atau tak anut dengan perkembangan zaman. Justru, tak jarang, tradisi bisa menjadi solusi atas berbagai kompleksitas persoalan hidup dan kehidupan. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya
- Penyunting: I Ketut Jagra