Belajar dari Rumah (BDR) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) akibat pandemi Covid-19, telah menimbulkan goncangan dari segala lini kehidupan. Goncangan itu telah menimbulkan tiga krisis besar versi Mendikbud, Nadiem Makarim : kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Ketiga krisis ini saling berkelindan dan tidak bisa berdiri-sendiri.
Tulisan ini hanya membahas krisis pendidikan di sekolah dengan mencermati kejenuhan siswa, guru, dan orangtua mendampingi anaknya BDR. Di media sosial, saya temukan surat keluhan seorang ibu mendampingi anaknya belajar di rumah. Menjadi relevan menyandingkan surat keluhan seorang ibu rumah tangga dengan puisi Asrul Sani. Oleh karena itu, artikel ini, saya beri judul, “Surat dari Ibu”, meminjam judul puisi Asrul Sani, seorang pengarang Angkatan ‘45.
Surat keluhan seorang ibu rumah tangga (tanpa nama) mendampingi anaknya di rumah, beredar secara berantai di grup WA para guru. Ini suratnya.
Dear, Ibu Guru Tercinta,
Untuk mencegah keretakan hubungan antara saya dan anak saya, maka dengan ini saya menyatakan, MENYERAH MAIN GURU-GURUAN!!! Saya tidak ada bakat menjadi guru meskipun saya seorang sarjana. Mungkin karena saya terlalu lama terjun dan jatuh terlalu dalam ke dunia perpancian. Di sini, yang saya takutkan adalah tidak terjadinya kegiatan belajar- mengajar, namun kegiatan hajar-menghajar. Yang ada malah ini justru akan merusak hubungan antara saya dan anak saya pastinya.
Tertulis ulang,
Demikian dari saya
Bunda anak2 yang sudah mulai … HIPERTENSI
Dalam surat itu ada tiga hal yang dikeluhkan, seorang ibu mendampingi anaknya BDR. Pertama, menyerah berperan sebagai guru (bermain guru-guruan) dengan alasan tidak berbakat. Seorang ibu yang menyerah menjadi guru buat anaknya, bisa dipahami bila dalam kaitannya dengan tugas pendampingan bidang akademik. Akan tetapi, bila dalam kaitannya tugas mendidik, seharusnya tidak menyerah. Bagaimana pun, ibu rumah tangga adalah guru rupaka (orangtua) buat anak-anak di rumah. Setidaknya, bila ia seorang sarjana, mampu memberi arah dalam mendidik, memberi tuntunan dan semangat dengan komunikasi yang berterima.
Kedua, seorang ibu yang terlalu lama jatuh di dunia perpancian mengacu pada urusan dapur untuk pemenuhan asupan gizi keluarga termasuk anak-anak. Memasak sebagai pekerjaan mengolah bahan makanan menjadi makanan yang bersaripati bagi kehidupan belum dilihat sebagai wahana pendidikan yang memberikan vibrasi dalam kehidupan keluarga. Memasak belum dilihat sebagai bagian dari karmayoga, pekerjaan mulia.
Peran ini dipandang sebagai urusan domestik keluarga semata, belum dilihat sebagai wahana pendidikan. Sebab keluarga kita di rumah sesungguhnya adalah apa yang dia makan, bagaimana mendapatkan, dari mana makanan itu diperoleh.
Pertanyaan-pertanyaan itu, mengacu pada jawaban tiga kriteria mendapatkan makanan menurut pandangan Hindu : satwik, rajasik, dan tamasik. Makanan satwik diperoleh secara benar berdasarkan dharma yang memberikan sari-sari kehidupan buat anak-anak, sebagaimana layaknya itik mendapatkan makanan di lumpur. Makanan rajasik diperoleh secara agresif menghalalkan segala cara, sebagaimana layaknya ayam, sedangkan makanan tamasik diperoleh dengan cara bermalas-malasan, sebagaimana layaknya babi. Dua yang terakhir ini tidak disarankan untuk dikonsumsi oleh keluarga.
Ketiga, seorang ibu takut merusak hubungan komunikasi dengan anak karena tidak sabar. “Bunda anak-anak yang sudah mulai hipertensi”. Rusaknya hubungan komunikasi bisa menimbullkan bencana keluarga, yang diliputi kegelapan. Sebaliknya, komunikasi yang elegan dan berbudaya, memberi celah cahaya bagi keluarga karena anak-anaknya beretika dan bermoral. Anak adalah cahaya keluarga.
Lalu, bagaimana surat keluhan ibu rumah tangga itu disandingkan dengan puisi Surat dari Ibu dari Asrul Sani? Pertama, pesan yang tersirat sama, yaitu orang tua menginginkan anak-anaknya berhasil dalam pendidikan, menjadi berguna untuk masa depan sehingga layak dikenang. Oleh karena itu, ibu rumah tangga tidak ingin merusak hubungan komunikasinya dengan anak karena taruhannya adalah masa depan. Tulis Asrul Sani, “… Jika kapalmu telah rapat ke tepi/ Kita akan bercerita/ Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”.
Kedua, dari segi konten dan kontesnya berbeda. Konten surat keluhan ibu rumah tangga itu terinspirasi oleh pandemi Covid-19 yang mengharuskan mereka BDR. Diharapkan anak-anak sekolah menghindari keluar rumah untuk belajar apalagi sampai berkerumun.
Kata Gde Prama, belajar ibarat mengetuk pintu dari dalam, ngijeng cening jumah. Mengetuk pintu kesadaran dan kesabaran. Sebaliknya, konten puisi Asrul Sani terinspirasi dari petualangan untuk merantau mencari ilmu dan pengalaman di luar rumah.
Bila surat keluhan ibu rumah tangga itu terkait dengan belajar di dalam rumah, maka puisi Asrul Sani justru mendorong anak merantau belajar ke luar rumah. “Pergi ke dunia luas, anakku sayang./pergi ke dunia bebas! Selama angina masih angina buritan/dan matahari pagi menyinar daun-daunan/dalam rimba dan padang hijau”.
Manakah yang berhasil? Belajar ke dalam atau belajar keluar ? Kedua-duanya sama indahnya, jika merujuk pada teori Trikon-nya Ki Hadjar Dewantara, khususnya tentang konvergensi (perpaduan ke dalam dan ke luar). Yang terpenting adalah memupuk anak untuk cinta belajar. Kasmaran belajar dalam situasi pandemi Covid-19 sekali pun.
Ketiga, surat dan puisi adalah medium penyampaian pesan. Surat lebih prosais, puisi lebih puitis. Sebelum tahun 2000, remaja SMA selalu rindu menerima surat dari kekasih hati, nun jauh di sana.
Boleh jadi, yang mengaku ibu rumah tangga itu adalah produk generasi yang berpengalaman dalam berkorespondensi (surat-menyurat) saat remaja dulu, ketika medsos belum dikenal. Sementara itu, puisi adalah bentuk paling tua dari karya sastra, yang bermula dari mantra. Mantra berisi doa pengharapan untuk keselamatan lahir dan batin, baik sekalamaupun niskala. Seorang pemangku sonteng di sebuah desa di Bali, yang keluarga juga ada bertransmigrasi ke Sumatra, mantranya sangat sederhana dan bersahaja: “Selamet di Jawa, Selamet di Bali”.
Semoga Covid-19 segera berlalu. Anak-anak bisa kembali bersekolah secara normal. Keluhan orangtua, siswa, dan guru segera berlalu terobati oleh pertemuan-pertemuan edukatif fungsional dan persuasif dalam bingkai kasih sayang. Semoga semua hidup berbahagia.
Penulis: I Nyoman Tingkat, Kepala SMAN 2 Kuta Selatan, Badung, Bali