Legenda Tokoh Sakti di Bali
Masyarakat di Kabupaten Badung, khususnya di wilayah Kecamatan Mengwi cukup akrab dengan kisah Ki Pasek Badak. Bahkan, legenda ini tak hanya dikenal luas di wilayah Kecamatan Mengwi, juga sampai ke seantero Bali, ketika cerita ini dipopulerkan Tupek Tugek Carangsari.
Kisah Pasek Abad ditengari terjadi pada abad ke-18. Kala itu, Mengwi dikenal sebagai kerajaan yang cukup kuat dengan wilayah kekuasaan yang luas meliputi seluruh wilayah Badung, Buleleng, Jembrana hingga ke Blambangan di Pulau Jawa. Pusat kerajaan Mengwi terletak di Desa Mengwi kini.
![]() |
Kaset rekaman pementasan Tupeng Tugek Carangsari dengan lakon Pasek Badak |
Pada masa awal berdirinya kerajaan Mengwi, sang raja mengonsolidasi kekuataannya agar bisa diakui eksistensinya sebagai raja baru. Salah satu langkah konsolidasi itu yakni menaklukkan penguasa-penguasa lokal yang sebelumnya masih berkuasa atas daerahnya secara otonom. Hal ini dikarenakan, para penguasa-penguasa lokal itu tidak mau mengakui legitimasi kekuasaan Raja Mengwi.
Salah seorang penguasa lokal yang tidak mau mengakui eksistensi penguasa baru dari Mengwi yakni Ki Pasek Badak yang berasal dari Desa Buduk, sebuah wilayah yang terletak di sebelah selatan Mengwi. Akan tetapi, melalui suatu negosiasi yang khas, Ki Pasek Badak akhirnya mau mengakui legitimasi penguasa Mengwi, I Gusti Agung Putu atau I Gusti Agung Anom. Buduk pun berada di bawah kekuasaan Mengwi.
Penaklukan Ki Pasek Badak dari Desa Buduk inilah yang kemudian memunculkan kisah yang legendaris di kalangan masyarakat Badung, khususnya masyarakat Mengwi. Legenda Ki Pasek Badak banyak disebut dalam sastra sejarah babad tentang Kerajaan Mengwi yang umumnya dikenal dengan sebutan Babad Mengwi.
Dalam salah satu versi Babad Mengwi, peristiwa penaklukan Ki Pasek Badak diceritakan berawal dari selesainya pembangunan Puri Kaleran atau dikenal juga dengan nama Puri Bekak sebagai istana kerajaan. I Gusti Agung Putu selaku penguasa Mengwi mengundang Ki Pasek Badak datang ke Puri Kaleran. Saat itulah, I Gusti Agung Putu menantang Ki Pasek Badak untuk beradu tanding untuk menentukan siapa yang perwira. Akan tetapi adu tanding itu menjadikan rakyat dan wilayah kekuasaan masing-masing sebagai taruhan. Jika I Gusti Agung Putu menang, maka seluruh rakyat dan wilayah kekuasaan Ki Pasek Badak berada di tangan I Gusti Agung Putu. Sebaliknya, apabila Ki Pasek Badak yang kalah, maka seluruh rakyat dan wilayah kekuasaan I Gusti Agung Putu diserahkan kepada Ki Pasek Badak.
Ki Pasek Badak yang digambarkan sebagai seorang ksatria sejati menerima tawaran I Gusti Agung Putu itu. Perang tanding antara I Gusti Agung Putu dan Ki Pasek Badak pun terjadi. Oleh karena sama-sama kuat, tak ada yang kalah atau pun menang. I Gusti Agung Putu tak mampu membunuh Ki Pasek Badak meskipun sudah menggunakan pusaka kerajaan berupa keris Ki Penglipur. Sebaliknya, Ki Pasek Badak juga tak berhasil mengalahkan I Gusti Agung Putu walaupun sudah mengerahkan seluruh kesaktiannya.
Kisah heroik ini menjadi mengharukan karena Ki Pasek Badak diceritakan secara ikhlas menyerahkan nyawanya kepada I Gusti Agung Putu sekaligus berarti menyerahkan seluruh rakyat dan wilayah kekuasaannya. Dalam kisah ini Ki Pasek Badak diceritakan menyadari I Gusti Agung Putu telah dititahkan oleh Hyang Widhi sebagai penguasa jagat. Ki Pasek Badak pun meminta I Gusti Agung Putu untuk membunuhnya menggunakan keris yang lain yakni Ki Naga Keras.
Akan tetapi, penyerahan jiwa, rakyat dan wilayah kekuasaan Ki Pasek Badak diikuti dengan sejumlah syarat. Adapun syarat yang diajukan yakni agar I Gusti Agung Putu membuatkan Ki Pasek Badak sebuah palinggih (bangunan suci) berbentuk meru tumpang (bertingkat) 2 di areal Pura Taman Ayun serta 40 orang pengikut dari kelompok Brahmana, Ksatrya, Weisya dan Sudra yang akan menyembah rohnya dalam meru itu. Keempat puluh pengikut itu haruslah berasal dari sentana (keturunan) I Gusti Agung Putu. I Gusti Agung Putu menyetujui syarat Ki Pasek Badak. Akan tetapi, I Gusti Agung Putu menolak syarat 40 warga penyembah pelinggih Pasek Badak berasal dari keturunannya langsung, melainkan diambil dari sentana peperasan (anak angkat).
Cerita Ki Pasek Badak ini banyak dimaknai sebagai bentuk sikap kenegarawanan seorang Pasek Badak yang merelakan jiwanya dikorbankan demi kejayan Kerajaan Mengwi. Sikap Pasek Badak disejajarkan dengan Kebo Iwa yang rela dibunuh demi tercapainya persatuan Nusantara di bawah panji Majapahit.
Tapi, kisah Pasek Badak bisa dimaknai sebagai sebuah pertarungan legitimasi antara Raja Mengwi dan Pasek Badak. Pertarungan itu secara fisik dimenangkan Raja Mengwi, tetapi secara nonfisik, secara moral, kemenangan itu dipegang Pasek Badak. Pasek Badak memang takluk, tapi dia tidak tunduk. Dia tetap tegak justru dalam kekalahannya. (b.)
__________________________________
Penulis: I Made Sujaya
Foto: I Made Sujaya
Penyunting: Ketut Jagra
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI