Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten boleh jadi menjadi satu di antara sedikit penulis dan pengarang Bali yang paling produktif saat ini. Tengok saja, karya-karyanya, baik cerpen, puisi, esai, maupun resensi buku nyaris setiap minggu menghiasi halaman sastra dan budaya di berbagai surat kabar edisi minggu di Bali.
“Saya berusaha menulis semasih diberikan kekuatan dan kesempatan untuk menulis. Bagi saya, menulis itu seperti beryoga untuk menyucikan hati dan pikiran,” tutur Widiasa Keniten saat berbagi proses kreatif di hadapan anak-anak SMA Pariwisata PGRI Dawan, Klungkung, pertengahan Januari lalu.
Widiasa Keniten juga tak pernah memperhitungkan berapa dia mendapat honor dari tulisan-tulisannya yang dimuat di koran. Seringkali, honor tulisannya baru diambil setelah sekian bulan. Dia ambil sendiri honornya ke redaksi surat kabar di Denpasar.
“Sekalian jalan-jalan dan beli buku baru,” kata pengarang kelahiran 20 Januari 1967 ini.
Bagi pengarang yang juga guru ini, tak penting honor atas tulisan-tulisannya. Dia bersyukur karena karyanya diapresiasi dengan dimuat. Dengan dimuat, karyanya telah menjalani takdirnya sendiri untuk berdialog dengan pembaca.
Namun, Widiasa Keniten secara jujur mengakui, dirinya memiliki alasan pragmatis menulis secara rutin di koran. “Saya menulis di koran sebagai cicilan tulisan untuk nanti diterbitkan menjadi buku,” kata Widiasa Keniten.
Memang, tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media itu selalu berakhir sebagai buku. Buku-buku itu diterbitkan dengan biaya sendiri. Maklum saja, jarang penerbit yang mau secara sukarela menerbitkan buku-buku sastra.
Meski membiayai sendiri, jebolan Magister Ilmu Linguistik Universitas Udayana ini sungguh bahagia menerbitkan karya-karyanya menjadi buku. Akhir tahun 2017, esai-esainya diterbitkan menjadi buku Memotret Lorong-lorong Gelap Perempuan.
Awal 2018 ini, cerpen-cerpennya diterbitkan dalam buku Berumah di Laut. Kedua buku itu diterbitkan Pustaka Ekspresi, sebuah penerbitan indie yang dikelola sastrawan Bali modern asal Tabanan, I Made Sugianto. Sebagian esai dan cerpen dalam kedua buku itu pernah dimuat di DenPost Minggu.
Karena kesetiaannya kepada dunia tulis-menulis, amat wajar dia dianugerahi penghargaan “Widya Pataka” oleh Gubernur Bali pada tahun 2015 lalu untuk buku kumpulan cerpen berbahasa Bali, Jro Lalung Ngutah. Setahun sebelumnya, pemenang pertama Guru Berprestasi Tingkat Nasional tahun 2013 ini juga menerima penghargaan “Widya Kusuma” dari Gubernur Bali untuk pengabdiannya dalam bidang pendidikan.
Mengarungi dunia pendidikan dan penulisan kreatif menyebabkan Widiasa Keniten menjadi sosok pendidik lengkap. Dia tidak hanya mendidik di dalam kelas terbatas, tetapi juga mendidik di luar ruang kelas yang tidak terbatas. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya
- Foto: Istimewa
- Penyunting: Ketut Jagra