Hari ini, 27 Februari 2018 warga Kota Denpasar kembali merayakan hari jadinya kotanya. Sejak 2013 lalu, perayaan HUT Kota Denpasar merujuk sejarah awal pendirian kota ini pada tahun 1788. Itu artinya, tahun ini Kota Denpasar memasuki usia 230 tahun. Lebih dari satu dasawarsa terakhir, Denpasar berjuang mewujudkan ikhtiar menjadi kota berwawasan budaya. Belakangan visi itu disempurnakan lagi menjadi kota kreatif berbasis budaya unggulan.
Memang, jika ingin melihat bagaimana Bali dengan ciri tradisionalnya memeluk modernitas dengan hangat, datanglah ke Denpasar. Ibukota Provinsi Bali tidak saja memberi gambaran dinamika tiada henti antara modernitas dan tradisionalitas Bali, tetapi juga bagaimana wajah Bali baru terbentuk.
Perubahan merupakan mantra utama bagi Denpasar. Kota ini tiada akan berhenti mengalirkan perubahan karena tiada mungkin menghindari perubahan. Denpasar senantiasa akan bergerak, bergerak dan bergerak. Karenanya, warga Kota Denpasar semestinya adalah orang-orang yang berpikiran terbuka, menyambut perubahan dengan semangat dan penuh vitalitas untuk turut mengalirkan perubahan.
Pada titik inilah menjadi amat strategis peran Denpasar bagi Bali. Denpasar adalah laboratorium budaya yang amat penting bagi upaya mereproduksi strategi budaya Bali baru yang sejalan dengan semangat zaman. Dialektika antara modernitas dan tradisionalitas di Denpasar menjadi medan mencari sintesa yang tepat untuk formula rekayasa Bali baru.
Bila begini, maka perubahan yang menggelinding dan digelindingkan dalam denyut perjalanan Denpasar patut dilandasi dengan semangat pembaruan. Karena itu pula, konsep kota berwawasan budaya yang hendak dijadikan jiwa dalam setiap upaya pembangunan Kota Denpasar patutlah dalam bingkai semangat pembaruan itu. Spirit kota berwawasan budaya bukanlah spirit mengembalikan masa lalu. Namun, bagaimana melahirkan sintesa di antara dialektika modernitas dan tradisionalitas yang memberikan kontribusi berharga bagi Bali masa depan.
Kota dibangun oleh manusia. Sebaliknya, kota juga dapat membangun manusia. Artinya, perkembangan suatu kota berpengaruh pula terhadap seluruh warganya. Bila suatu kota dibangun di bawah pijakan semangat kapitalis, maka warga kotanya akan menjadi konsumtif. Sebaliknya, bila sebuah kota dibangun dengan jiwa kesederhanaan, besar kemungkinan terbangun sikap kultural warganya yang bersahaja.
Kesadaran mengenai hubungan timbal balik antara kota dan warganya ini seyogyanya menyadarkan para pengelola dan warga Kota Denpasar tentang betapa pentingnya sikap untuk tidak membiarkan kota ini berkembang liar. Karena kita menginginkan kota tempat tinggal kita (apalagi bagi yang menjadikan Denpasar sebagai tanah kelahiran) ini nyaman untuk ditinggali sepanjang masa, menjaga gerak dinamika kota ini menjadi suatu keharusan. Bahkan, pada titik tertentu, perubahan itu mesti direkayasa sehingga dampaknya bisa diantisipasi.
Sejak AA Puspayoga memimpin Kota Denpasar, komitmen untuk mewujudkan Denpasar sebagai kota berwawasan budaya dicanangkan. Hingga lebih satu dasa warsa komitmen itu dicanangkan, Denpasar masih berjuang mewujudkan angan-angan itu. Karena memang, perjuangan membentuk warna baru pada sebuah kota bukan pekerjaan mudah.
Namun, catatan kecil yang penting untuk diberikan, membangun sebuah kota adalah membangun jiwa warga penghuninya. Karenanya, membangun kota berwawasan budaya mestilah didasari semangat membangun jiwa budaya di kalangan warga kotanya.
Artinya, setiap gerak pembangunan kota mestilah memertimbangkan sejauh mana memberi manfaat pada pembentukan jiwa budaya warga kota. Jika memang berguna bagi pembangunan jiwa budaya warga kota patut dipertimbangkan untuk dilaksanakan. Sebaliknya, bila tak memberi manfaat, apalagi sampai mencemari dan merusak, patut ada keberanian untuk menolaknya.
Sederhananya, pembukaan lebih banyak ruang-ruang publik semacam taman kota, tentu patut didukung karena menjadi media pengintegrasi sekaligus terjadinya komunikasi budaya antara modernitas dan tradisionalitas. Sebaliknya, pembangunan pasar-pasar supermodern melampaui kapasitas patut ditentang karena tidak mendukung kesehatan jiwa budaya warga kota.
Yang paling penting pada akhirnya memang komitmen budaya sang pengelola kota. Komitmen tidak semata pada tataran harapan dan konsep, tetapi bagaimana konsistensi sikap dalam mengejawantahkannya. Kebijakan yang dibuat, dari hulu hingga hilir, patut didasari oleh suatu sikap sadar budaya.
Sekali lagi, membangun kota berwawasan budaya berarti membangun jiwa budaya warga kotanya. Untuk sampai pada tujuan itu, mesti dibangun dulu jiwa dan kesadaran budaya kalangan pengelola kota. Karena pengelola kota adalah juga warga kota.
Selamat HUT ke-230 Denpasar! (b.)
Penulis: I Made Sujaya