Hari ini, Jumat (10/4), kalender Bali menandainya sebagai Sukra Wage wuku Wayang. Secara tradisi, orang Bali menyebutnya sebagai dina (hari) kala paksa atau dina ala paksa. Di beberapa tempat sering pula disebut sebagai hari pamagpag kala. Pada hari ini biasanya orang Bali akan memasang sesuuk (semacam penanda) di setiap palinggih (bangunan suci) dan lebuh (pintu masuk rumah). Mengapa?
Orang Bali meyakini, dina kala paksa, sehari sebelum Tumpek Wayang, sebagai hari yang tenget (angker) atau leteh (kotor). Hari ini dipercaya sebagai puncak kekotoran dunia (rahina cemer).
Lontar Sundarigama, sebagaimana dikutip IBP Sudarsana dalam buku Acara Agama Hindu, menyebut saat dina kala paksa, umat mesti mempersembahkan sesaji khusus sebagai simbol menetralisir kekuatan buruk. Salah satu persembahan yang khas di hari kala paka, yakni sesuuk berupa daun pandan berduri yang diolesi kapur sirih. Daun pandan berduri itu biasanya dipotog-potong sepanjang sekitar 5 cm, lalu diolesi kapur sirih dengan tanda tapak dara (tanda silang).
Selain dipasang pada setiap palinggih, daun pandan berdiri yang sudah dipotong-potong dan dioleasi tanda tapak dara dengan kapur sirih itu diletakkan dalam sebuah sidi (nyiru) disertai benang tridatu (tiga warna: merah, hitam, dan putih). Pada nyiru itu juga diisi takir diisi triketuka (mesui, kesuna dan jangu) dan canang sari. Selain itu, dilengkapi juga dengan api dakep (api yang dihasilkan dari sabut kelapa yang disilangkan). Di akhir upacara, sesaji ini ditaruh di tanah di depan pintu masuk masuk (lebuh). Ada juga yang membuangnya di tempat pembuangan sampah. Ritual ini biasanya dilaksanakan pagi hari.
Tak hanya itu, pada dada masing-masing umat juga diisi tanda tapak dara menggunakan kapur sirih. Sesaji ini, menurut IBP Sudarsana, sebagai simbol penetralisir kekuatan buruk dina kala paksa.
Doa yang dilantunkan selama prosesi ritual ini, memohon keselamatan agar energi buruk menjelma energi baik sehingga memberi manfaat dan kesejahteraan bagi umat manusia. Orang-orang awam awam biasanya menyatakan ritual khusus pada hari dina kala paksa sebagai sebentuk pengharapan agar manusia tidak dimangsa kala.
“Dina kala paksa itu kan sehari menjelang Tumpek Wayang, hari puncak Batara Kala. Kalau tidak waspada, kita bisa tadah kala (dimangsa kala),” kata Ni Nyoman Taman, seorang warga Denpasar.
Selain memasang sesuuk, orang Bali biasanya juga berpantang terhadap beberapa aktivitas pada hari dina kala paksa, seperti tidak berkeramas. Para sulinggih (pendeta) juga pantang memuja pada hari dina kala paksa. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI