Hari ini, 1 Mei diperingati sebagai hari buruh internasional. Mulai tahun ini, hari buruh internasional ditetapkan sebagai hari libur nasional di Indonesia.
Di tengah gemuruh aksi demo para buruh memeriahkan hari buruh, masyarakat Bali selayaknya mengenang kembali seorang tokoh penting dalam menjaga nafas kebudayaan Bali. 1 Mei 1901, bertepatan dengan Buda Pahing wuku Uye, perempuan tangguh ini lahir di Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Namanya, Ida Ayu Made Rai. Tradisi lingkungan brahmana di griya mengharuskannya menggunakan nama Ida Pedanda Istri Mas. Dialah guru besar arsitek banten (sesaji dalam tradisi ritual Bali) atau dikenal sebagai wiku tapini, bahkan mahatapini.
Nama Ida Pedanda Istri Mas begitu melegenda dalam dunia tapini. Maklum, sang wiku merupakan tapini yang selalu berperan penting dalam berbagai upacara besar di Pura Agung Besakih. Ida Pedandan Istri Mas sudah terlibat ngayah mempersiapkan berbagai banten (sesaji) saat Karya Eka Dasa Rudra pada tahun 1963 di Pura Besakih. Hal ini berlanjut manakala digelar karya-karya sejenis lain, seperti Eka Dasa Rudra tahun 1979, Tri Bhuwana, Candi Narmada, Panca Bali Krama, Eka Bhuwana dan lainnya.
Ida Bagus Agastia dan Ida Bagus Putu Suamba yang menyusun biografi Ida Pedanda Istri Mas Seorang Mahatapini dan Yogini menyebut Ida Pedanda Istri Mas sebagai arsitek banten sekaligus ensiklopedia banten. Ia menjadi pusat informasi banten.
Menurut Agastia, tapini termasuk dalam tri manggalaning yajna (tiga pemimpin upacara), yang terdiri atas yajamana, tapini dan pengrajeg. Yajamana adalah seorang sadhaka atau sulinggih yang bertanggung jawab pada pelaksanaan yajna secara keseluruhan. Tapini adalah seorang sadhika atau sulinggih istri yang bertanggung jawab pada pembuatan banten atau yantra. Sedangkan pangrajeg adalah orang yang bertanggung jawab pada pengadaan segala sarana upakara dan upacara.
Agastia mencatat sikap tulus ngayah tertanam kuat dalam diri Ida Pedanda Mas. Itu sebabnya, sang wiku senantiasa menyebut diri ngayah manakala ditanya seputar keterlibatannya dalam berbagai upacara. Manakala ngayah, Ida Pedanda Istri Mas seolah mendapatkan limpahan semangat, bahkan manakala usia semakin uzur. Banten memberikan daya hidup dalam diri Ida Pedanda Istri Mas.
Menurut Agastia, banten memang merupakan sebuah jalan yoga. Lantaran, dalam pembuatan banten terbina juga konsentrasi, kesucian dan pengendalian diri.
Boleh jadi karena itulah, Ida Pedanda Istri Mas mampu menapak usia hingga 111 tahun. Ida Pedanda dari Griya Alit Budakeling ini baru tutup usia pada Senin, 6 Februari 2012, sekitar pukul 04.30. Di zaman modern ini, tidak banyak yang bisa bertahan sampai seusia Ida Pedanda Istri Mas. Sang suami sendiri, Ida Pedanda Gede Wayan Alit (alm), sudah lebih dulu berpulang pada tahun 1974.
Bali selayaknya memang mengenang sosok Ida Pedanda Istri Mas, sang pengabdi yang sepenuh hati menjaga bagian penting tradisi Bali bernama banten. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya
- Foto: Repro
- Penyunting: I Ketut Jagra