Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Sima Bali · 23 Mar 2008 10:24 WITA ·

Bendesa Adat Jadi Tim Sukses? Tak Salah, tapi kurang Baik


					Bendesa Adat Jadi Tim Sukses? Tak Salah, tapi kurang Baik Perbesar

Wawancara dengan Pakar Hukum Adat Bali, Wayan P. Windia

Setiap kali pemilihan umum, apalagi pemilihan kepala daerah seperti bupati dan gubernur, keberadaan desa pakraman senantiasa menarik minat para kandidat atau partai politik (parpol) untuk mendekati. Soliditas krama desa adat memang cukup menggiurkan untuk menangguk dukungan politik. Lantas, bagaimana semestinya desa adat menyikapi pilgub mendatang? Berikut petikan perbincangan balisaja.com dengan pakar masalah adat, Wayan P. Windia.

——————————————— 

DALAM setiap pemilihan kepala daerah (pilkada), termasuk pemilihan Gubernur Bali, keberadaan desa adat atau banjar adat sering kali didekati para kandidat. Apa sesungguhnya yang menjadi kekuatan desa adat sehingga menjadi begitu memikat dalam suatu hajatan politik? 

Desa adat itu merupakan organisasi tradisional yang sangat solid. Ada ikatan yang cukup kuat di kalangan warga desa adat. Kalau mau dimanfaatkan untuk kepentingan politik, ini memang sangat potensial. Karena itu, desa adat menjadi sangat memikat bagi para tokoh-tokoh politik. Nah, persoalannya sekarang, apakah desa adat mau dibegitukan. 

Semestinya bagaimana desa adat bersikap? 

Yang paling penting, jangan memberikan dukungan atau pernyataan terkait masalah politik. Swadharma desa adat tidak seperti itu. Kebetulan saja organisasi ini solid. Namun, kesolidan itu bukan untuk kepentingan politik, kepentingan kekuasaan. Dukungan atau pernyataan politik kepada kandidat atau kelompok tertentu justru bisa memecah kesolidan desa adat. Misalnya, tempekan kangin mendukung si A, tempekan kauh mendukung si B. Akhirnya kedua tempekan itu menjadi saling cureng. Kalau mau dukung-mendukung, sebaiknya atas nama pribadi. Kalau atas nama adat/banjar, jangan sekali-sekali. Desa adat dibuat bukan untuk itu. 

Bagaimana desa adat/banjar adat menyikapi sumbangan yang diberikan kandidat? 

Siapa saja bisa memberikan sumbangan kepada desa adat/banjar adat. Gubernur memberikan sumbangan, investor memberikan sumbangan, tak ada masalah. Tempatkan sumbangan itu sebagai iktikad baik pihak lain. Memang, yang memberikan sumbangan tentu ada harapan, misalnya untuk bisa didukung. Namun, serahkan hal itu kepada pribadi-pribadi krama desa. Lembaga desa adat jangan memosisikan diri memenuhi atau tidak memenuhi harapan pihak pemberi sumbangan. Sumbangan tetap diterima, pilihan beda, kan tidak masalah. 

Kalau figur bendesa adat menjadi tim sukses salah satu calon, bagaimana? 

Kalau melarang (bendesa adat jadi tim sukses), apa urusannya? Jusuf Kalla misalnya menjadi wakil presiden (wapres) tetapi juga menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Megawati saat menjadi presiden juga menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan. Kalau bisa baik semuanya, tak apa-apa figur bendesa adat menjadi tim sukses. Sepanjang tidak memanfaatkan fasilitas desa adat. Misalnya, karena bendesa adat jadi tim sukses, lalu kulkul digunakan, balai banjar dimanfaatkan. Ini yang tak boleh. Kalau mau jadi tim sukses, sebaiknya figur seorang bendesa adat tidak memusatkan aktivitasnya di desanya, tetapi ke luar desa. Hanya memang, sebaiknya bendesa adat tidak menjadi tim sukses. Tidak salah, memang, tetapi kurang baik. 

Apa harapan Anda terhadap desa adat/banjar adat maupun para kandidat serta tokoh partai politik terkait pilgub mendatang? 

Yang jelas, sekali lagi, desa adat/banjar adat jangan sekali-sekali menyatakan dukungan secara kelembagaan kepada salah satu kandidat atau parpol tertentu. Soal dukungan itu biarkan menjadi urusan pribadi-pribadi krama. Sebaliknya, para kandidat atau pun tokoh-tokoh parpol juga mesti menahan diri dalam memasarkan kepentingannya di desa pakraman. Prinsip-prinsip dasar desa pakraman tetap harus diperhatikan. Patut diingat, orang-orang di desa pakraman adalah orang Bali, para kandidat serta tokoh-tokoh parpol juga orang Bali. Jangan sampai terpecah belah gara-gara politik. Yang penting juga dicatat, konsentrasi kita sekarang sepertinya tersedot ke pemilu, termasuk pilkada. Ini sebetulnya kurang baik. Anggap saja semua itu sebagai sesuatu yang wajar. Jangan semua pikiran dan tenaga difokuskan ke sana sehingga sampai mengabaikan persoalan-persoalan lain. Kita masih banyak punya pekerjaan lain. (b.)

http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI
Artikel ini telah dibaca 22 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Hari Ini Nyepi Segara di Kusamba, Begini Sejarah, Makna, dan Fungsinya

9 November 2022 - 08:17 WITA

“Nyaagang” di Klungkung, “Masuryak” di Tabanan: Tradisi Unik Hari Kuningan

18 Juni 2022 - 14:29 WITA

Magalung di Kampung: Sembahyang Subuh, Munjung ke Kuburan, Malali ke Pesisi

8 Juni 2022 - 16:31 WITA

Tiga Jenis Otonan dalam Tradisi Bali

26 Mei 2022 - 00:57 WITA

Tari Rejang: Warisan Bali Kuno, Simbol Keindahan dan Kesucian

4 Juni 2021 - 22:50 WITA

“Bahan Roras”, Pelaksana Harian Pemerintahan Adat di Tenganan Pagringsingan

2 Juni 2021 - 21:23 WITA

Makare-kare Tenganan Pagringsingan
Trending di Desa Mawacara