Hari masih gelap. Waktu menunjukkan pukul 04.00 wita. Tapi, suasana jalan di kawasan Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung sudah tampak ramai. Ibu-ibu dan remaja putri berpakaian adat Bali hilir mudik menjunjung sesaji.
Ni Kadek Sintya, salah seorang warga Kusamba, sudah bangun sejak pukul 03.00. Usai mabanten di sanggah atau merajan rumah, Sintya menggantikan ibunya maturan ajengan atau sodan di pura kahyangan tiga.
“Galungan memang mesti bangun lebih subuh karena ada kegiatan mabanten keliling pura di desa,” tutur Sintya.
Serangkaian hari Galungan, Rabu, 8 Juni 2022, umat Hindu di Bali sejak subuh sibuk bersembahyang. Tak hanya di sanggah atau merajan rumah, mereka juga bersembahyang ke pura kahyangan tiga di desa adat masing-masing maupun pura-pura kahyangan jagat terdekat. Ini tradisi yang lazim dilakoni warga Klungkung saat Galungan maupun Kuningan.
Usai maturan ke kahyangan tiga, warga Klungkung biasanya mamunjung ke setra (kuburan desa). Kegiatan ini lazimnya dilakoni warga yang memiliki anggota keluarga atau kerabat yang masih dikubur di setra. Sesaji yang dibawa berupa punjung, sehingga kegiatan ini dikenal dengan sebutan mamunjung.
“Galungan ini kan hari bahagia, hari kebersamaan, saling mengujungi keluarga, termasuk keluarga yang masih dikubur, belum di-aben,” kata Wayan Sumerta (40), seorang warga Klungkung.
Tak hanya di Klungkung, warga Desa Adat Tista, Kecamatan Busungbiu, Buleleng juga melaksanakan tradisi mamunjung saat Galungan. Ni Putu Sri Wahyuni, seorang warga setempat, datang ke setra membawa banten punjung untuk dipersembahkan di atas kuburan suaminya yang baru meninggal dua bulan lalu.
Usai mamunjung di setra, warga Kusamba kembali bersembahyang berkeliling ke rumah-rumah kerabatnya. Biasanya, sanggah atau merajan yang dituju seperti paibon atau sanggah gede serta sanggah atau merajan dari keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan secara purusa maupun pradana.
Maturan ke paibon atau sanggah keluarga ini pun jadi momentum anjangsana antarkeluarga. “Saat bersembahyang ke rumah-rumah keluarga inilah kita berjumpa dengan keluarga yang lain. Saling melepas rindu, ngobrol ngalor-ngidul sembari disuguhi kopi dan tape,” tutur Komang Suastika.
Itu sebabnya, selain dimaknai sebagai hari kemenangan dharma atas adharma, Galungan dan Kuningan lebih identik sebagai hari keluarga. Saat Galungan, semua keluarga pulang, berkumpul bersama, saling melepas rindu.
Suasana kebersamaan dengan keluarga di hari Galungan biasanya ditutup dengan kegiatan wisata murah meriah ke pusat-pusat keramaian atau objek-objek wisata terdekat. Di Kusamba, pusat keramaian itu ada di Pantai Kusamba. Karena kegiatannya di pesisir, warga Kusamba menyebutnya malali ke pasih atau ke pesisi.
Tak hanya di Pantai Kusamba, keramaian hari Galungan juga terlihat di sejumlah pantai lain, seperti Pantai Goa Lawah, Pantai Lebih, termasuk Pantai Soka. Anak-anak paling menunggu-nunggu kegiatan ini karena bisa berbelanja aneka makanan dan mainan.
“Jadi, Galungan ini, ya, reuni keluarga. Reuni dengan keluarga di kampung, reuni dengan keluarga yang jauh, bahkan reuni dengan keluarga yang masih dikubur serta sudah distanakan di kemulan sebagai Hyang Dewa,” imbuh Suastika. (b.)