Perayaan hari Kuningan, Sabtu, 18 Juni 2022 diwarnai dengan aneka tradisi lokal yang unik dan otentik. Tradisi-tradisi itu umumnya berwujud ritual setempat, baik dalam bingkai desa maupun pura tertentu. Berikut ini sejumlah tradisi khas di sejumlah desa yang hanya dilaksanakan saat hari raya Kuningan.
“Nyaagang” di Klungkung
Warga Klungkung menutup upacara hari Kuningan dengan melaksanakan ritual nyaagang. Biasanya, ritual nyaagang dilaksanakan setelah persembahyangan hari suci Kuningan selesai dilaksanakan. Karena persembahyangan hari suci Kuningan tak boleh melewati tengah hari, maka ritual nyaagang akan dilaksanakan sekitar pukul 10.00 hingga sebelum pukul 12.00.
Hampir seluruh masyarakat Klungkung memang melaksanakan ritual nyaagang saban hari suci Kuningan. Tak diketahui secara jelas sejak kapan ritual ini mulai muncul di Klungkung.
“Kami sudah nami (mewarisi) seperti ini sejak dulu,” kata Ni Wayan Pica, seorang warga Klungkung.
Namun, jika ditelisik secara etimologis, kata nyaagang berasal dari kata saagang dalam bahasa Bali yang berarti ‘hidangkan’. Karena itu, nyaagang kemungkinan besar merupakan sebuah ritual menyajikan hidangan berupa sesaji kepada para leluhur sebelum kembali ke kahyangan. Nyaagang tampaknya semacam ritual perjamuan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih kepada para leluhur yang telah berkenan hadir dalam rangkaian upacara hari suci Galungan dan Kuningan sekaligus memberikan berkah kepada seluruh keluarga.
Nyaagang sebagai ritual perjamuan bagi leluhur bisa dilihat dari bentuk sesaji yang dihaturkan. Di antaranya, banten soda, beralas daun timbul (keluwih), sepan (tebu), utu, biu krutuk, tigasan, lebeng matah dan sejumlah sesaji lainnya.
“Masuryak” di Tabanan
Warga Tabanan juga memiliki tradisi khas Kuningan. Namanya masuryak. Tradisi ini dilaksanakan di sejumlah desa, seperti Bongan Gede serta Desa Dauh Peken, Tabanan.
Masuryak sudah jadi tradisi turun-temurun. Masuryak bertujuan mengantarkan ruh leluhur kembali ke surga, dengan suasana suka cita, sambil melemparkan uang ke udara, yang kemudian diperebutkan banyak orang. Besarnya uang yang dilemparkan pun bervariasi, bergantung dari kemampuan ekonomi dari masing-masing keluarga yang menggelar masuryak.
“Makotek” di Munggu (Badung)
Nama resminya ngerebeg. Tapi, tradisi saban hari raya Kuningan di Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung ini lebih dikenal sebagai makotek. Dalam bahasa Bali, makotek berartik ‘menjolok’. Memang, makotek merupakan aksi saling jolok dengan menggunakan kayu.
Prosesi tradisi makotek diawali dari Pura Dalem Kahyangan Wisesa. Di sinilah seluruh warga berkumpul membawa sebuah kayu pulet seukuran panjang tombak. Selain itu, tombak-tombak pusaka yang di-sungsung (disucikan) di pura masing-masing diikutsertakan dalam tradisi ini. Tombak-tombak ini akan diarak keliling desa bersama pusaka tamiang kolem yang terbuat dari perunggu yang di-sungsung di Pura Dalem Kahyangan Wisesa. Selain diwarnai aksi saling jolok, makotek juga disertai dengan kegiatan nunas tirtha ke sepuluh pura yang ada di wawengkon (wilayah) desa seperti Pura Luhur Akasa, Pura Ulun Carik, Pura Luhur Sapu Jagat, Pura Hyang Geni dan lainnya.
Tradisi makotek, konon sebagai peringatan atas keberhasilan Kerajaan Mengwi mengalahkan Blambangan pada sekitar abad ke-17. Ngerebeg dalam bahasa Bali artinya menyerang secara menadadak, sebagaimana aksi ke Blambangan. Waktu yang dipilih untuk melaksanakan tradisi ini yakni pada saat Tumpek Kuningan karena pada hari itulah Raja Mengwi bersemedi mohon berkah kemenangan.
Seluruh pusaka ini merupakan warisan leluhur yang digunakan saat ngerebeg ke Blambangan dulu diarak saat ngebereg, termasuk tamiang kolem yang terbuat dari perunggu. Tamiang kolem dengan diameter 45 sentimeter itu merupakan bukti kemenangan Mengwi atas Blambangan.
“Dewa Maseraman” di Paksebali (Klungkung)
Di Pura Panti, Banjar Timbrah, Paksebali, Klungkung juga mengenal tradisi berbau perang saat Kuningan. Namanya, Dewa Maseraman. Di kalangan warga Paksebali dan Klungkung umumnya, upacara yang dilaksanakan tiap hari raya Kuningan ini dikenal dengan sebutan dewa mapalu atau pertempuran dewa-dewa.
Maseraman itu artinya pertemuan dengan bersenang-senang atau mungkin bisa disejajarkan dengan bermesraan. Tradisi ini ditandai dengan tumbukan joli-joli yang diusung krama. Prosesi tumbukan antarjoli ini disebut ngambeng sebagai simbolik berkumpulnya Ida Batara karena lama tidak bertemu. Yang terlibat dalam reuni ini, di antaranya Ida Bhatara Lingsir atau Ida Bhatara Putran Jaya yang malinggih di Pura Besakih, Ida Bhatara Gni Jaya yang malinggih di Pura Lempuyang, Ida Bhatra ring Gumang, Ida Bhatara Dewi Danu, Ida Bhatara Kelod-Kangin, Ida Bhatara Manik Botoh dan Ida Bhatara Manik Bingin.
Upacara ini bermakna bagaimana manusia mesti menjalani kehidupan. Makanya, sebelum maseraman ada masolah yang dilakukan oleh dua orang pengusung joli. Masolah itu artinya ‘bersikap’. Dua orang pengusung itu bermakna rwa bhineda, dua hal yang saling melengkapi. Selesai masolah barulah maseraman, joli diusung secara bersama-sama. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya