Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Sima Bali · 9 Nov 2007 02:44 WITA ·

Warga Kukuh Pantang Tebang Pohon di Alas Kedaton


					Alas Kedaton, Kukuh, Marga. Perbesar

Alas Kedaton, Kukuh, Marga.

Kawasan hutan Alas Kedaton di Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan hingga kini tetap terjaga kelestariannya. Kondisi ini tidak terlepas dari tradisi yang tetap dipertahankan warga setempat yakni berpantang menebang pepohonan atau pun mengganggu kera dan kalong di kawasan hutan.

Tak tersurat dalam awig-awig (peraturan di desa adat/pakraman), memang, tetapi pantangan ini sangat dipatuhi warga Kukuh. Ada keyakinan musibah datang bila keasrian kawasan hutan itu diusik.

Alas Kedaton merupakan sebuah objek wisata ternama di Bali dengan ciri khas hutannya yang asri dan kera serta kalong yang lucu. Alas Kedaton memiliki luasan sekitar 6,5 hektar. Pepohonan yang tumbuh di hutan ini sangatlah beragam.

“Ada sekitar 32 jenis pohon,” tutur Bendesa (tetua adat) Pakraman Kukuh, Drs. IGM Purnayasa, S.H., M.Si. Sementara populasi keranya sendiri diperkirakan mencapai 1.800 ekor.

Kawasan Alas Kedaton bisa terjaga kelestariannya hingga sekarang tidak terlepas dari tradisi yang dijaga ketat warga setempat yakni berpantang menebang pohon atau pun mengganggu kera di kawasan hutan. Pantangan ini, kata Purnayasa, memang tidak tersurat dalam awig-awig. Namun, warga setempat sangat menaatinya.

“Kami sudah nami (mewarisi) seperti itu dari para leluhur dan tidak berani melanggar. Dalam awig-awig yang tersurat memang tidak ada, tetapi awig-awig kan juga ada yang tidak tertulis,” kata mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Kabupaten Tabanan ini.

Namun, imbuh Purnayasa, penebangan pohon di kawasan Alas Kedaton dibolehkan tetapi hanya untuk kepentingan pembangunan di Pura Dalem Kayangan Kedaton yang berada di dalam kawasan hutan. Misalnya, untuk memperbaiki bangunan palinggih (tempat suci) yang rusak.

“Kalau sekarang ada palinggih di pura yang rusak mungkin dimanfaatkan kayu-kayu yang ada di luar kawasan hutan. Kalau dulu, senantiasa kayu-kayu yang ada di dalam hutan saja yang dipakai,” imbuh Purnayasa.

Meski begitu, sebelum menebang pohon, seperti biasa tentu mesti matur piuning (minta izin) ke hadapan Ida Batara di Pura Dalem Kayangan Kedaton. Ini semacam permohonan izin sekaligus minta restu agar penebangan pohon berjalan sukses dan tujuan pemanfaatan kayu yang ditebang bisa tercapai.

Hingga kini belum pernah ada warga Kukuh atau pun warga dari luar desa yang melanggar pantangan menebang pohon di Alas Kedaton. Tidak ada yang berani mencoba-coba karena yakin hukuman niskala (tidak tampak oleh mata) menimpa jika berani melanggar.

Hanya, kata Purnayasa, untuk kera pernah ada seorang pemuda Kukuh yang sedikit nakal mencoba menabrak kera yang kebetulan melintas di jalan dekat hutan. Tak dinyana, sang pemuda menjadi tersesat, tidak mengenali rumahnya sendiri. Dia malah memasuki rumah orang lain.

“Itu diyakini sebagai pertanda si pemuda diingatkan bahwa kera-kera di dalam hutan tidak boleh diganggu apalagi disakiti,” ujar Purnayasa.

Sepintas tradisi ini terasa kental klenik. Namun, di balik tradisi ini tersimpan kecerdasan sekaligus kearifan lokal untuk menjaga kelestarian hutan. Dan terbukti, hutan itu bisa terjaga dan diwarisi hingga kini. Bahkan, tahun 2004 lalu, Desa Adat Kukuh mendapat sertifikat Kalpataru dari Presiden RI untuk keberhasilan menjaga kelestarian Alas Kedaton.

Selain teguh menjaga tradisi warisan leluhur, krama (warga) Desa Pakraman Kukuh juga berolah cerdas dengan aksi nyata melestarikan hutan. Mulai dari memagari hutan sehingga batas-batasnya jelas hingga penanaman pohon-pohon baru agar hutan bertambah lebat. Terakhir, Desa Pakraman Kukuh merencanakan untuk memberi nama pohon-pohon di Alas Kedaton sehingga menjadi pengetahuan bersama. (b.)

  • Laporan: I Made Sujaya
  • Foto: I Made Sujaya
  • Penyunting: I Ketut Jagra
Artikel ini telah dibaca 140 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Hari Ini Nyepi Segara di Kusamba, Begini Sejarah, Makna, dan Fungsinya

9 November 2022 - 08:17 WITA

“Nyaagang” di Klungkung, “Masuryak” di Tabanan: Tradisi Unik Hari Kuningan

18 Juni 2022 - 14:29 WITA

Magalung di Kampung: Sembahyang Subuh, Munjung ke Kuburan, Malali ke Pesisi

8 Juni 2022 - 16:31 WITA

Tiga Jenis Otonan dalam Tradisi Bali

26 Mei 2022 - 00:57 WITA

Tari Rejang: Warisan Bali Kuno, Simbol Keindahan dan Kesucian

4 Juni 2021 - 22:50 WITA

“Bahan Roras”, Pelaksana Harian Pemerintahan Adat di Tenganan Pagringsingan

2 Juni 2021 - 21:23 WITA

Makare-kare Tenganan Pagringsingan
Trending di Desa Mawacara