Teks dan Foto: I Made Sujaya
Desa Bayung Gede di wilayah Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali merupakan sebuah desa kuno atau sudah berusia sangat tua. Thomas A Reuters dalam bukunya Custodians of The Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali(Yayasan Obor Indonesia, 2005) menyebut Bayung Gede menjadi induk dari sejumlah desa-desa kuno lainnya di Bangli seperti Penglipuran, Sekardadi, Bonyoh dan beberapa desa lainnya.
Awalnya, menurut Reuters, desa-desa tersebut merupakan pondokan dari Desa Bayung Gede yang asli. Mereka berasal dari kelompok orang yang bertempat tinggal di kebun (pondok) yang didirikan agak jauh dari desa dan telah lama tumbuh menjadi daerah hunian tetap dan desa adat yang mandiri.
 |
Angkul-angkul (gerbang) Desa Bayung Gede |
Penglipuran misalnya, hingga kini masih tetap mengakui nenek moyangnya berasal dari Bayung Gede. Pengakuan ini ditunjukkan melalui hubungan ritual di antara kedua desa. Bila dilakukan perbaikan di Pura Bale Agung Penglipuran, warga Penglipuran akan datang ke Bayung Gede.
Agak sulit melacak asal-usul pasti Desa Bayung Gede. Jero Mangku Sriman malah mengaku tidak tahu secara persis asal-usul nama Bayung Gede. “Setiap kali kami tanyakan kepada para tetua di desa senantiasa dikatakan mula suba ada buka kene, memang sudah ada seperti ini,” kata Mangku Sriman.
Namun, ada sebuah cerita lisan yang menguraikan tentang asal-usul Bayung Gede yang berasal dari sejumlah sumber. Diceritakan, Batara Sakti Mahameru mengutus sebanyak 40 orang undagi (tukang bangunan) dan seekor kera putih pergi ke Gunung Toh Langkir (sekarang Gunung Agung). Para undagi dan kera putih itu dibekali dengan air suci Tirtha Kamandalu.
Setibanya di Gunung Tuluk Biyu, para undagi itu menemukan kayu tuwed di tengah hutan Pengametan. Perjalanan yang cukup jauh membuat para undagi itu kelelahan sehingga mesti beristirahat dulu. Saat beristirahat, para undagiitu pun menggarap kayu tuwed yang ditemukan sebelumnya menjadi sebuah patung yang menyerupai wajah manusia. Kayu tuwed itu ditemukan kera putih yang berjalan di barisan paling belakang.
Para undagi itu pun ingat dengan pesan Batara Sakti Mahameru agar air suci Tirtha Makandalu yang dibawa diteteskan sebanyak tiga kali. Air suci itu pun diteteskan tiga kali. Ajaib, patung kayu tuwed itu tiba-tiba berubah menjadi manusia laki-laki.
Manusia laki-laki itu pun diajak melanjutkan perjalanan menuju Gunung Toh Langkir. Sesampainya di sana, Batara Sakti Mahameru kaget karena melihat manusia laki-laki yang diajak undagi dan kera putih. Para undagi dan kera putih itu pun disuruh untuk mencari pasangan manusia laki-laki itu yakni seorang wanita. Batara Sakti Mahameru menyuruh mereka untuk melanjutkan kembali perjalanan. Batara Sakti Mahameru meminta para undagi dan kera putih itu menemukan tempat dengan tanah yang berbau perempuan.
Tempat yang dimaksud Batara Sakti Mahameru itu akhirnya berhasil ditemukan. Para undagi dan kera putih kemudian mengambil tanah di tempat itu lalu meremas-remas atau mengolahnya menjadi sebuah patung menyerupai manusia. Selanjutnya, patung dari tanah itu ditetesi air suci tiga kali. Seperti patung kayu tuwedsebelumnya, patung tanah ini pun berubah menjadi seorang manusia perempuan. Tempat ditemukan tanah berbau perempuan itu kemudian diberi nama Belalu.
Setelah kejadian itu, Batara Siwa dan adiknya, Ida Dalem Watukaru mengadakan perjalanan ke suatu tempat untuk melaksanakan yoga-semadi. Ida Dalem Watukaru disuruh beryoga untuk menciptakan tiga manusia, yaitu dua orang perempuan dan seorang laki-laki.
Tatkala sedang khusyuk beryoga, sang kakak ternyata malah membuat hujan sampai tiga hari berturut-turut. Ida Dalem Watukaru akhirnya mengetahui bahwa yang membuat hujan adalah kakaknya sendiri. Tempat sang kaka diketahui membuat hujan itu kemudian diberi nama Ketaro (ketaro artinya kentara). Lama-kelamaan tempat itu berubah menjadi Taro.
Kendati begitu, yoga-semadi Ida Dalem Watukaru ternyata berhasil. Dua manusia perempuan dan satu manusia laki-laki berhasil diciptakannya.
Batara Siwa dan Ida dalem Watukaru kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pura Pingit (Tampurhyang). Ida Dalem Watukaru mengutus kakaknya untuk beryoga. Yoga itu dimaksudkan untuk mewujudkan kayu tuwed menjadi dua manusia perempuan dan satu manusia laki-laki. Dalam melaksanakan yoganya itulah Batara Siwa membutuhkan tenaga yang besar atau kuat.
Akhirnya, apa yang diharapkan terwujud. Terciptalah dua manusia perempuan dan satu manusia laki-laki. Karena saat beryoga menciptakan ketiga manusia itu membutuhkan tenaga yang besar atau kuat, tempat itu kemudian diberi nama Bayu Gede. Bayu artinya ‘tenaga’ dan gede artinya ‘besar’. Lama-kelamaan nama itu berkembang menjadi Bayung Gede.
Cerita ini kental sekali dengan nuansa mitos, memang. Karenanya, agak sulit bagi orang untuk menerimanya sebagai sebuah fakta sejarah asal-usul suatu desa.
Perbekel Desa Bayung Gede, Wayan Suwela menyodorkan cerita soal asal-usul Bayung Gede yang tampaknya lebih logis. Menurut Suwela, Bayung Gede awalnya merupakan sebuah hutan yang sangat lebat. Para pendiri Bayung Gede di masa lalu berjuang keras untuk merabas hutan itu sehingga bisa dijadikan sebagai pemukiman yang layak.
“Karena hutan yang sangat lebat, diperlukan bayu gede atau tenaga yang kuat untuk merabas hutan. Setelah menjadi pemukiman baru, tempat itu dinamai Bayung Gede,” tutur Suwela.
Boleh jadi dongeng perjalanan undagi dan kera putih itu sebetulnya sama dengan kisah yang dituturkan Suwela. Inti dari kedua kisah itu sama yakni membuka daerah baru yang membutuhkan tenaga besar. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI