Oleh I Wayan Artika
Pengajaran bahasa Bali ibarat kerakap yang tumbuh di batu. Hal ini terjadi karena pengajaran di sekolah formal sejak sekolah dasar hingga menengah diliputi oleh persoalan makro kebahasaan. Dengan satu idealisme yang tidak jelas, guru-guru bahasa Bali harus bersikap seperti mengong bongol. Apa pun badai persoalan yang sedang melanda bahasa Bali dalam masyarakat hari ini, siswa harus mendapat pelajaran bahasa Bali, yang terasa semakin menjadi bahasa asing.
Ada sejumlah persoalan makro yang dialami oleh orang Bali dalam hubungan mereka dengan bahasa Bali. Dari sejumlah penelitian dapat dicatat: (1) orang Bali menuju dwibahasawan; (2) kecenderungan lain bahkan menjadi ekabahasawan yang hanya menguasai bahasa Indonesia; (3) hal ini dikuatkan oleh fakta bahwa eksistensi bahasa Bali sebagai bahasa ibu semakin terkikis habis; (4) sikap positif bahasa masyarakat terhadap bahasa Bali juga cenderung menurun yang tampak dari perilaku berbahasa: menomorsatukan penggunaan bahasa Indonesia dan bahkan bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-hari; (5) dibandingkan dengan bahasa Indonesia, yang sedang berproses menggeser kedudukan bahasa Bali sebagai bahasa ibu, orang Bali mengalami kendala dalam menggunakan bahasa Bali dan aksara Bali sehingga hal ini dielaborasi sebagai sebuah kesulitan besar dalam berbahasa Bali; dan (6) sangat sedikit media komunikasi yang menggunakan bahasa Bali. Di atas semua itu, secara sosial bahasa Bali dipandang tidak penting atau menjadi bahasa kelas dua di tanah airnya sendiri!
Itulah yang hendak diatasi oleh program pembangunan kebudayaan Pemerintah Provinsi. Bali yang tampak dalam berbagi perda bahasa. Masalah-masalah makro tersebut pula merupakan alasan dibukanya prodi atau jurusan bahasa Bali (baik yang kependidikan maupun murni) di sejumlah universitas, khuusnya di Bali; serta diajarkannya bahasa Bali di sekolah.
Karena itu, pengajaran bahasa Bali di sekolah SD-SMA/SMK memikul tugas yang teramat berat. Karena persoalan makro kebahasaan yang sangat kompleks itu, pengajaran bahasa Bali sama sekali belum memberi kontribusi yang amat besar: mengatasi atau mengurai silang sengkarut persoalan-persoalan tersebut. Sehingga bahasa Bali tetap hidup seperti ketika I Nyoman Maria menari Oleg Tamulilingan atau Kebyar Duduk atau ketika desa-desa di Bali disusui oleh ekonomi subak. Atau bahkan yang lebih ambisius: menjadikan bahasa ini sebagai bahasa internasional!
Toh, guru-guru tetap mengajar untuk menjalankan tugasnya dan mendapat penghasilan dari profesi ini. Para siswa pun bergeming dan semakin asing dengan bahasa Bali. Kelas-kelas pelajaran bahasa Bali adalah kelas-kelas yang sangat dihindari. Para siswa menomorduakan pelajaran bahasa Bali. Di tengah kondisi ini, pelajaran bahasa Bali memang berjalan namun dalam batas-batas administrasi dan struktural. Guru-guru pelajaran Bahasa Bali sudah kebal dengan sikap siswa yang meremehkan mata pelajaran ini. Namun demikian para guru bukannya bergeming. Berbagai model pembelajaran inovatif telah dicoba hingga menggunakan sumber-sumber online namun usaha ini tampak sia-sia belaka. Motivasi siswa dalam mata pelajaran ini rendah sekali dan nyaris tidak ada.
Hal yang wajar karena pengajaran bahasa Bali berlangsung di bawah kabut tebal yang memicu badai. Di bawahnya guru bekerja dengan segala kesetiannya. Kabut itu tidak pernah beranjak. Bahkan sepertinya guru-guru mata pelajaran Bahasa Bali tengah menyaksikan, badai semakin dekat. Dalam segala keterbatasan inilah mereka berjuang seorang diri. Sementara itu, persoalan-persoalan makro kebahasaan tidak akan pernah diselesaikan karena hal ini adalah bagian dari dinamika dan dialektika sosial historis yang sedang dialami Bali. Dalam hal ini bahasa merepresentasikannya.
Pengajaran Bahasa Bali tidak akan sanggup mengatasi persoalan-persoalan makro yang ditulis pada awal esai ini. Maka pilihan bagi takdir pengajaran bahasa Bali di sekolah adalah pengajaran pengetahuan kebahasaan dan bukan pengajaran komunikatif atau keterampilan berbahasa. Di sini bahasa Bali diajarkan sebagai suatu struktur pengetahuan yang lebih banyak epistemologis dan ontologisnya ketimbang aksiologis yang praktis dan pragmatis.
Anak-anak di sekolah sudah cukup mendapatkan kosa kata asing dengan penjelasan yang panjang, seperti keraras, danyuh, bungsil, ngingsul, dan mereka tidak butuh lagi ungkapan “buka bukite johin katon rawit”, “buka bedake suginin”, “apangencakan buah” dll. atau mereka sama sekali sudah asing dengan “kerik tingkih”,” ketog semprong”, “puut paku”, dan “aud kelor”.
Tugas guru bahasa Bali adalah menerjemahkan dan mendeskripsikan aspek-aspek pengetahuan bahasa Bali yang lebih banyak merupakan penjelasan leksikal dan tesaurus. Itulah batas pengajaran bahasa Bali. Setelah semua pelajaran ditutup, siswa kembali dengan kata-kata gabut, ngelek, cod, dan lain sebagainya.
Takdir aksara dan angka Bali pun setali tiga uang. Siswa tidak tertarik sama sekali. Di era digital, karakter aksara Bali yang sedemikian rupa, rasanya sangat tidak relevan. Elaborasi sosial bahwa aksara Bali sangat sulit dipelajari dan lebih-lebih untuk apa karena telah tersedia huruf Latin, pun tiada lain kecuali era panjang kebutakasaraan orang Bali dari aksara Bali-nya sendiri.
Di samping pengetahuan sebagai tujuan pengajaran bahasa Bali, aspek idealisme dan apresiasi terhadap salah satu kekayaan warisan leluhur adalah prinsip yang penting dijadikan alasan dalam pengajaran. Pengajaran Bahasa Bali yang telah ditakdirkan menjadi bahasa asing dan sekumpulan pengetahuan kosa kata dan sedikit ungkapan yang sudah bertanda salib, tanda yang digunakan oleh para pekamus untuk menandai kata-kata yang sudah mati; maka kamus juga adalah kuburan kata-kata itu sendiri.
Pengajaran bahasa Bali dengan pendekatan leksikal sejatinya adalah usaha penggalian kuburan kata-kata sebatas deskripsi, terjemahan, dan selebihnya adalah para siswa yang telah hidup dalam tanah air kebahasaannya yang sama sekali sudah jauh bergerak dari ekosistem bahasa Bali di masa lampau.
- Penulis: I Wayan Artika, dosen Undiksha Singaraja serta pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali