Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Bale Bengong · 5 Jan 2020 02:18 WITA ·

Ini Tiga Citra Utama Jalan Gajah Mada Denpasar dalam Karya Sastra


					Patung Catur Muka sebagai salah satu ikon Kota Denpasar berdiri kokoh di ujung timur Jalan Gajah Mada. Perbesar

Patung Catur Muka sebagai salah satu ikon Kota Denpasar berdiri kokoh di ujung timur Jalan Gajah Mada.

Oleh I Made Sujaya

Setiap kota selalu memiliki satu tempat atau kawasan yang menjadi ikon. Jakarta memiliki kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) atau Monumen Nasional (Monas), Yogyakarta memiliki Jalan Malioboro, sedangkan Semarang memiliki kawasan Simpang Lima.

Kota Denpasar juga memiliki kawasan yang menjadi ikon, yakni Jalan Gajah Mada. Orang belum merasa mengunjungi Kota Denpasar jika belum datang ke Jalan Gajah Mada. Jalan Gajah Mada merupakan pusat keramaian dan pusat perekonomian Kota Denpasar. Di kawasan ini berdiri pasar tradisional paling sibuk di Bali, yakni Pasar Badung dan Pasar Kumbasari. Dulu, Pasar Kumbasari juga dikenal dengan sebutan Peken Payuk. Kedua pasar itu dipisahkan oleh sebuah sungai, yakni Tukad Badung.

Daya tarik Jalan Gajah Mada tentu saja toko-toko dengan bangunan tua bernilai sejarah tinggi yang menyebabkan kawasan ini menjelma menjadi semacam kota tua. Itu sebabnya, Pemerintah Kota Denpasar menetapkan kawasan Jalan Gajah Mada sebagai kawasan heritage atau warisan budaya sejak tahun 2008. Tahun 2019, Pemkot Denpasar melalui Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Kota Denpasar melakukan co-brandingJalan Gajah Mada sebagai destinasi wisata kota tua Denpasar. Lantas, bagaimana citra Jalan Gajah Mada yang selama ini sudah terbentuk?

Gambaran Jalan Gajah Mada sebagai pusat Kota Denpasar juga terekam dalam karya sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra Bali modern. Karya sastra itu, baik berupa puisi, cerpen, maupun novel, tidak hanya menjadikan kawasan Jalan Gajah Mada sebagai latar, tetapi juga tema utama. Karya-karya sastra itu sejatinya juga sebuah monumen, “monumen kata-kata” yang memperkuat citra monumen fisik kawasan Jalan Gajah Mada, Denpasar.

Ada beberapa sajak yang menjadikan Jalan Gajah Mada sebagai judul, yakni sajak “Jalan Gajah Mada” karya Made Sukada, sajak “Jalan Gajah Mada” karya Ni Made Purnamasari serta sajak berbahasa Bali, “Nasi Jenggo Jalan Gajah Mada” karya Ketut Aryawan Kenceng. Sejumlah puisi lain melukiskan suasana Pasar Badung, Pasar Kumbasari, Tukad Badung maupun patung Catur Muka yang dikenal sebagai penyangga kawasan Jalan Gajah Mada.

Dalam genre cerpen dan novel, karya-karya I Wayan Suardika tampaknya paling kuat menggambarkan denyut hidup dan dinamika kawasan Jalan Gajah Mada. Pengarang kelahiran Denpasar ini menulis sebuah cerpen berjudul “A Ling” dan sebuah novel berjudul Ni Meri yang memotret kehidupan di kawasan Jalan Gajah Mada. Berbagai karya sastra itu dapat dibaca sebagai resepsi (tanggapan) pengarang terhadap kawasan Jalan Gajah Mada sebagai pusat aktivitas Kota Denpasar.

Bioskop dan Nasi Jinggo

Teks-teks sastra, baik sastra Indonesia maupun Bali modern, yang memotret kawasan Jalan Gajah Mada merupakan resepsi pengarang terhadap dinamika yang dialami kawasan jalan tersebut sebagai ikon Kota Denpasar. Teks-teks sastra itu merepresentasikan citra kawasan Jalan Gajah Mada sebagai pusat kota Denpasar yang memikat, baik untuk sekadar berkunjung menyusuri lekuk-lekuk ruangnya, tetapi juga menyelami liku-liku kehidupannya yang khas.

Suasana Jalan Gajah Mada sekitar tahun 2019.

Melalui karya-karya sastra itu, baik berupa puisi, cerpen, maupun novel, setidaknya didapat tiga citra utama kawasan Jalan Gajah Mada. Pertama, citra sebagai pusat kota yang tidak pernah berhenti berdenyut, selalu hidup sepanjang hari. Sebagian dari teks-teks sastra itu menghadirkan kembali kenangan tentang Jalan Gajah Mada di era tahun 1970-an sebagai tempat pelesiran dengan daya tarik utama berupa bioskop dan pusat kuliner, khususnya nasi jinggo.

Potret Jalan Gajah Mada sebagai pusat kota yang tak pernah mati, terekam dalam puisi Indonesia maupun Bali modern. Penyair yang juga kritikus sastra, Made Sukada, menulis sajak berjudul “Jalan Gajah Mada” pada tahun 1973. Dalam sajak pendek ini, Jalan Gajah Mada dilukiskan sebagai ruas jalan yang tak pernah berhenti berdenyut. Dalam rekaman Sukada Jalan Gajah Mada “melintang barat imur/memanjang trotoir/tak mengenal tidur// warna kehidupan/berlomba dalam debu dan waktu

Penyair I Ketut Aryawan Kenceng menulis puisi berjudul “Nasi Jenggo Jalan Gajah Mada” yang menghadirkan citra Jalan Gajah Mada sebagai kawasan wisata kuliner dengan menu khas nasi jenggo atau nasi jinggo. Nasi jinggo memang dikenal sebagai kuliner khas Kota Denpasar dan Jalan Gajah Mada merupakan kawasan yang identik dengan nasi jenggo. Di tempat inilah, nasi jenggo dikenalkan pertama sejak tahun 1970-an silam.

Ngawit warsa pitung dasa riin/Kantos mangkin/Kantun ngenyudin/Kantun ngedotin// Ajengan sadarana/Wantah samatra/Nasi jingo jalan gajah mada/Tan tuna rasa tan tuna arsa//Cerik kelih ngebekin margi/Kalih ungkus tigang tali/Keled makébék lais lantih/Mén simpeg kenyung mapikolih

Perempuan-perempuan Perkasa

Kedua, citra perjuangan perempuan-perempuan perkasa Bali yang direpresentasikan oleh para pedagang dan tukang suun di Pasar Badung dan Pasar Kumbasari. Tokoh Ni Meri dalam novel Ni Meri memperkuat Jalan Gajah Mada sebagai representasi pusat yang memikat. Ni Meri merupakan warga desa yang ingin mengubah nasibnya. Bekerja di kawasan Jalah Gajah Mada diyakini Ni Meri bisa memberinya harapan masa depan yang lebih baik daripada di kampungnya.

Para tukang suun di Pasar Kumbasari, Jalan Gajah Mada, Denpasar.

Potret perempuan-perempuan perkasa Bali di Pasar Kumbasari dilukiskan dengan baik oleh penyair Acep Zamzam Noor dalam sajak berjudul “Pasar Kumbasari, Denpasar”. “Pasar adalah gemuruh/Sekaligus semadi suara-suara/Kulihat yang berjualan itu mulai menari/Kuli-kuli itu mulai menyanyi/Semuanya perempuan-/Dingin menyerap keringat mereka/Menjadi berbotol-botol arak//Di sini setiap perempuan adalah lelaki/Bekerja adalah sembahyang dan menari/Bersama mereka kupanggul keranjang-keranjang itu/Sambil menyuling keringatku sendiri /Menjadi tenaga kata-kata”.

Multietnik dan Multikultur

Ketiga, Jalan Gajah Mada mencitrakan wajah urban Kota Denpasar yang multietnik yang tetap terjaga keharmonisannya.  Kawasan Jalah Gajah Mada dikenal sebagai Kampung Cina karena di sini berderet toko-toko milik orang Tionghoa. Berdampingan dengan kawasan Jalan Gajah Mada, ada Jalan Sulawesi yang dikenal sebagai Kampung Arab karena di situ berjejer toko-toko milik orang Arab. Masih ada kawasan Jalan Ahmad Yani Selatan hingga Jalan Kartini yang dikenal sebagai Kampung Jawa karena dihuni warga Muslim dari etnik Jawa.

Gambaran wajah multikultur Jalan Gajah Mada dikisahkan I Wayan Suardika dalam cerpen “A Ling”. Cerpen ini mengisahkan persahabatan seorang pemuda Bali, Suwar, dengan gadis Cina, A Ling. Melalui cerpen ini, pembaca mendapat gambaran tentang interaksi antaretnik yang terjalin di antara tiga kampung berlatar belakang etnik di kawasan Jalan Gajah Mada, yakni Kampung Bali, Kampung Jawa, Kampung Cina, dan Kampung Arab.

Refleksi

Namun, karya-karya sastra itu tidak saja sekadar menampilkan potret, tetapi juga refleksi atas pertumbuhan yang dialami kawasan Jalan Gajah Mada di masa kini. Jalan yang makin lebar dan pohon-pohon perindang yang ditanam di pinggiran jalan seperti menjadi simbol jarak yang makin lebar antara kota dan warganya serta harapan-harapan melambung yang membuat warga kotanya makin berjarak dengan kenyataan.

Sajak Ni Made Purnamasari yang berjudul “Jalan Gajah Mada” merefleksikan paradoks dalam perkembangan sebuah kota bagi warganya, tak terkecuali Jalan Gajah Mada Denpasar. “Jalan ini makin lebar/makin berjarak dengan kenyataan/Bukankah semua kota selalu punya jalan-jalan besar/dan semua orang kini tak lagi tinggal rumah// Kita akan melambung, bersarang/di pohon perindang/ serupa hutan serupa rumah// Katakan saja jalan ini/adalah kasih sayang yang abai di bulan tinggi/ atau letih menunggu setelah hujan/ yang tak menghampakan siapa-siapa/maka mungkin kita akan tahu:/ hari kini telah kehilangan esok yang tiada” (Darma Putra, dkk., 2012: 79—80).

Purnamasari tampaknya mengingatkan tentang hakikat kota yang tidak hanya menyediakan kenyamanan ruang fisik, tetapi juga kenyamanan ruang batin bagi warganya untuk berdialog memahami hakikat kenyataan hidup. Sederhananya, kota mesti dibangun makin ramah dengan warganya. (b.)

  • Penulis, dosen Universitas PGRI Mahadewa Indonesia
  • Versi lebih panjang dari tulisan ini dimuat dalam buku Gajah Mada Street: The Pulse of Denpasar yang diterbitkan Dinas Pariwisata Kota Denpasar tahun 2019. 
Artikel ini telah dibaca 540 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

21 Desember 2023 - 05:06 WITA

Bertapa Kata-kata di Era Media Sosial [Renungan Hari Saraswati]

20 Mei 2023 - 06:10 WITA

Literasi di Tengah Tantangan Ekonomi Orang Tua Siswa: Catatan Safari Literasi Akar Rumput di Jembrana

14 Mei 2023 - 11:40 WITA

Menguak Hegemoni Teks Ilmiah di Kampus: Catatan Safari Literasi di UPMI Bali

25 Maret 2023 - 09:17 WITA

Menggiring Bebek: Catatan dari Sebuah Lomba Menulis Esai

12 Desember 2022 - 18:39 WITA

Sekeping Kisah Guru dari Kaki Gunung Batukaru

25 November 2022 - 16:30 WITA

Trending di Bale Bengong