Menu

Mode Gelap
Begini Kronologi Perang Puputan Margarana, 20 November 1946 Tanaman Cabai di Beranda Ruang Kelas: Catatan Harian dari SMKN 1 Petang Cemerlang SMA Paris di Usia 40 Tahun Menghapus Garis Demarkasi Kolonial: Catatan Pertunjukan Arja Mahasiswa Bahasa Bali Undiksha Kebun Jagung di Beranda Kelas: Catatan dari Pelatihan Menulis bagi Guru dan Siswa SMKN 1 Petang

Nak Bali · 7 Nov 2015 21:51 WITA ·

Mengenal Sosok Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Made Agung


					Lukisan wajah I Gusti Ngurah Made Agung. (balisaja.com/sumber: https://direktoratk2krs.kemsos.go.id/admin-pc/assets/img/pahlawan/166.jpg) Perbesar

Lukisan wajah I Gusti Ngurah Made Agung. (balisaja.com/sumber: https://direktoratk2krs.kemsos.go.id/admin-pc/assets/img/pahlawan/166.jpg)

Kamis (5/11) lalu, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh. Yang membanggakan masyarakat Bali, khususnya Kota Denpasar, Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung termasuk dalam lima tokoh yang diberi gelar Pahlawan Nasional. Inilah buah perjuangan panjang yang dilakukan pemerintah dan masyarakat Kota Denpasar agar pemimpin perang Puputan Badung itu diakui Negara sebagai Pahlawan Nasional.

Situs resmi Pemkot Denpasar, www.denpasarkota.go.id menyebut I Gusti Ngurah Made Agung sebagai Raja Badung VII. Namun, situs www.puriagungdenpasar.com, menyebut I Gusti Ngurah Made Agung yang lahir di Puri Agung Denpasar pada 5 April 1876 sebagai Raja Denpasar VI. Dia dinobatkan pada tahun 1902 saat berusia 26 tahun dan gugur pada 20 September 1906 saat berusia 30 tahun.

Masa-masa kepemimpinan I Gusti Ngurah Made Agung ternyata merupakan masa-masa yang sulit. Kala itu, Belanda sedang bernafsunya untuk menundukkan Badung. Namun, sikap ksatria nindihin gumi yang kuat pada diri I Gusti Ngurah Made Agung membuatnya pantang berdamai dengan Belanda.

Ini dipertegas dengan prolog Puputan Badung sendiri yang menunjukkan betapa sikap Raja Badung yang ketika itu dipegang I Gusti Ngurah Made Agung–selanjutnya dikenal sebagai Cokorda Mantuk Ring Rana—dalam menanggapi sikap pongah Belanda. Tudingan Belanda bahwa rakyat Sanur mencuri isi perahu wangkang Sri Komala milik Cina Banjarmasin, Kwee Tik Tjiang, 27 Mei 1904 ditepis Raja Badung.

Permintaan ganti rugi dari pemerintah Belanda ditolak dan Raja Badung memutuskan untuk memilih berperang sampai titik darah terakhir. Pilihan sikap ini pun akhirnya berkonsekwensi gugurnya Raja Badung, para kerabat dan pengikutnya dan hancurnya Puri Denpasar dan Puri Pemecutan. Puri Denpasar jatuh sekitar pukul 11.30 sedangkan Puri Pemecutan jatuh sekitar pukul 16.30.

Namun, kehancuran total puri-puri kerajaan Badung beserta raja dan keluarganya tidak serta merta membuat Belanda bangga. Justru, muncul perasaan berdosa di antara pimpinan-pimpinan Belanda. Kemenangan di kerajaan Badung dianggap sebagai sebuah pembantaian karena pertempuran yang sangat tidak berimbang. Sumber-sumber Belanda menyiratkan betapa mereka menyesali peristiwa tragis di depan Puri Denpasar dan Puri Pemecutan itu.

Betapa tidak, puputan tidak hanya berupa peristiwa tewasnya para pejuang karena diberondong peluru Belanda. Namun, puputan juga sebuah kesetiaan antarpara pejuang. Tak peduli anak, istri, suami, atau lainnya, semua harus mati di medan lagi. Bila bukan di moncong senapan Belanda, maka mereka mesti mati di tikaman keris sesama rekan sendiri. Sungguh tragis dan cenderung mengerikan, memang.

Tak cuma sikap bela pati dalam puputan yang pantas dikenang dari sikap ksatria Cokorda Mantuk Ring Rana, tetapi juga kecintaannya pada sastra. Raja muda yang bersahabat akrab dengan seorang kawi-wiku (sastrawan sekaligus pendeta) Ida Pedanda Made Sidemen ini menulis sejumlah karya sastra seperti Geguritan I Nengah Jimbaran serta Geguritan Purwa Sanghara. Dalam Geguritan Purwa Sanghara, sang raja menyuratkan bahwa bukan sastra, bukan pula mantra atau emas permata yang mampu menolak sanghara atau kehancuran, hanya satu yaitu kesusilaan budi, yang bagaikana perahu yang kukuh yang tiada goyah diterpa angin, yang akan mampu menyeberangi lautan sanghara.

Dan, I Gusti Ngurah Made Agung menunjukkan dengan jelas bagaimana dirinya tidak goyah dengan sikap untuk tidak mau tunduk di kaki penjajah. Sang raja rela kehidupannya terenggut hanya untuk menunjukkan kepada Belanda, betapa orang Bali memilih lebih baik mati daripada menjilat kaki penjajah.

Sebuah pikiran yang begitu cemerlang juga visioner. Terbukti, Bali kini dibekap dalam bayang-bayang kehancuran. Namun, Bali hingga kini tetap merindukan  pemimpin berbudi, pemimpin visioner yang bisa merasakan penderitaan rakyatnya. Sampai di sini, kita sungguh berharap lahirnya pemimpin visoner bertongkatkan sastra seperti I Gusti Ngurah Made Agung.

Karena itu, penghormatan terhadap sosok I Gusti Ngurah Made Agung bukanlah semata-mata pada gelar Pahlawan Nasional. Penghormatan terbesar kepada Raja Badung ini selayaknya ditunjukkan dengan meneladani sikap-sikapnya, terutama tetap menunjukkan kepala tegak di hadapan penjajah Belanda. (b.)

Penulis: I Made Sujaya

Artikel ini telah dibaca 926 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Nyoman Weda Kusuma: Dari Tukang Sapu Pasar ke Guru Besar

8 September 2022 - 17:23 WITA

Sosok Kadek Agung Widnyana Putra, Pemain Bali Penyumbang Gol Timnas Indonesia

4 Juni 2021 - 00:44 WITA

Kadek Agung Widnyana Putra

Nyoman Tusthi Eddy: I Tua yang Setia “Ngulat Gita”

18 Januari 2020 - 23:13 WITA

Nyoman Tusthi Eddy

Jro Mangku Wayan Sudirta: Tukang Cukur Empat Generasi

3 Januari 2020 - 22:39 WITA

Nyoman Karya Dibala, Menjaga Roh Seni Pesisir Kusamba

17 April 2018 - 23:09 WITA

Ni Wayan Murdi: “Mantri Manis” Era 80-an yang Terlupakan

21 Maret 2018 - 22:34 WITA

Trending di Nak Bali