Oleh: I KETUT JAGRA
I Dewa Gede Palguna, dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana akan mengucapkan sumpah dan janji sebagai hakim Mahkamah Konstitusi, Rabu (7/1) besok di Istana Negara Jakarta. Dewa Palguna dipilih Presiden Jokowi berdasarkan dua nama yang diajukan Panitia Seleksi (Pansel) Calon Hakim MK, yakni I Dewa Gede Palguna dan Yuliandri. Dewa Palguna menggantikan hakim MK saat ini, Hamdan Zoelva.
Kepastian Dewa Palguna menjadi hakim MK disampaikan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jalan Merdeka Utara, Selasa (6/1) kemarin. “Besok pengambilan sumpah dan janji hakim konstitusi baru di depan Presiden, jadi bukan pelantikan presiden,” kata Praktikno seperti dilansir berbagai media nasional.
Dewa Palguna (Foto: www.mahkamahkonstitusi.go.id) |
Dewa Palguna bukan orang baru di MK. Pada periode I lembaga ini (2003-2008), Dewa Palguna adalah salah seorang hakim MK. Kala itu,MK diketuai Jimly Asshidiqie.
Dewa Palguna lahir di Bangli, 24 Desember 1961. Dia lulusan Magister Ilmu Hukum Fakultas Padjajaran, Bandung. Palguna tercatat sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Sosok Dewa Palguna mulai mencuat ketika duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004 dari unsur Utusan Daerah. Namanya pun mengundang perhatian saat berperan menepis keinginan sejumlah legislator di Senayan mengembalikan rumusan pasal 29 UUD 1945 ke Piagam Jakarta 1945. Argumennya tentang Indonesia yang menganut paham kebangsaan serta keberagaman sebagai fondasi penting cukup tajam dan kuat tetapi disampaikan dengan sikap tenang dan sejuk. Karena itu, para politisi lain di Senayan, termasuk dari kalangan Islam juga menyokong pendapatnya. Keinginan mengembalikan rumusan pasal 29 UUD 1945 itu kandas.
Bintang Dewa Palguna makin bersinar manakala dalam sidang MPR membahas lepasnya Timor-Timur. Kala itu, dia menyampaikan gugatan atas keputusan Presiden BJ Habibie yang memberikan referendum kepada rakyat Timtim hingga berujung lepasnya provinsi ke-27 pada masa itu. Menurut Dewa Palguna, sesuai hukum perjanjian internasional, bila hendak mengubah batas wilayah negara haruslah mendapat persetujuan DPR dan Habibie tidak melakukan itu. Karena itu, Presiden Habibie dinilai melanggar UUD 1945.
Pandangan Dewa Palguna itu akhirnya dijadikan acuan MPR manakala menilai pertanggungjawaban Presiden Habibie atas lepasnya Timtim. Dewa Palguna pun ikut menjadi tim penyurun Rancangan dan Ketetapan (Rantap) MPR terkait masalah itu.
Di kalangan rekan-rekannya, Dewa Palguna dikenal lurus dan bersahaja. Saat duduk sebagai anggota MPR, Dewa Palguna masih mendiami rumah kontrakan di kawasan Panjer, Denpasar. Bahkan, seperti ditulis majalah gumi Bali Sarad No. 42, Maret 2004, tatkala sibuk mengikuti Sidang Umum (SU) MPR 1999 yang mencuatkan namanya di panggung politik nasional, Dewa Palguna sempat ditelepon istrinya yang mengabarkan rumah kontrakannya bocor dan kebanjiran. Buku-buku, makalah dan tulisannya terendam air. Karena itu, tidak mengejutkan jika Dewa Palguna dinyatakan bersih dari catatan KPK maupun PPATK.
Selain sebagai akademisi, Dewa Palguna juga dekat dengan kalangan seniman. Bersama Kadek Suardana (alm.) dan Gde Aryantha Soethama, Dewa Palguna mendirikan Arti Foundation yang kerap membuat garapan seni maupun menerbitkan buku-buku Bali. (b.)
________________________________
Penyunting: I MADE SUJAYA
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI