Peminat sastra Bali modern tentu tidak asing dengan nama Ketut Rida. Lelaki kelahiran 11 September 1939 ini dikenal sebagai salah seorang pengarang sastra Bali modern dengan kemampuan memanfaatkan gaya bahasa dan metafor bahasa Bali yang sederhana tetapi kuat serta santun sekaligus egaliter.
Itu sebabnya, bisa dimaklumi jika pengarang yang juga mantan guru dan bendesa adat di Desa Sulang, Klungkung ini berkali-kali menggondol penghargaan dalam bidang penulisan sastra Bali modern. Penghargaan paling bergengsi yang diterima Rida, hadiah sastra Rancage tahun 2000 untuk novel berbahasa Bali, Sunari.
Tahun 2014, Rida kembali menerima penghargaan dari Pemprov Bali berupa anugerah Widya Pataka. Penghargaan yang digagas Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Bapusida) Provinsi Bali ini diberikan kepada Rida yang dinilai berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Bali melalui buku. Penghargaan diberikan berupa bantuan penerbitan buku kumpulan cerpen Rida, Lawar Goak.
Tim kurator Widya Pataka yang diketuai sastrawan Bali, Gde Aryantha Soethama dengan anggota Mas Ruscitadewi, I Wayan Ananta Wijaya dan I Made Sujaya menilai Rida layak menerima Widya Pataka karena menunjukkan kekhasan dalam karya-karyanya. Aryantha Soethama menyebut, cerpen-cerpen Rida sangat khas Bali, baik dari segi gaya bahasa, pilihan tema dan terutama gaya berceritanya.
Rida tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya menerima penghargaan Widya Pataka. Lelaki tua yang mengidap sesak nafas berat ini tiba-tiba sumringah. Saat dikunjungi tim kurator Widya Pataka di rumahnya di Sulang beberapa waktu lalu, keceriaan terpancar di wajahnya. Dengan nafas tersendat-sendat, Rida pun membagi proses kreatifnya menulis.
“Cerpen-cerpen awal yang saya tulis merupakan cerita yang saya gunakan untuk kegiatan pembelajaran bahasa Bali di kelas. Kalau saya langsung mengajarkan bahasa Bali, anak-anak jadi bosan. Jadi, saya memulainya dengan bercerita,” tutur Ketut Rida.
Cerita-cerita Rida pun, seperti diakuinya, sebagian besar diangkat dari kisah nyata yang bersumber dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang-orang yang pernah dikenalnya. Layaknya karya sastra, Rida pun memberikan sentuhan imajinasi pada kisah-kisah nyata itu agar lebih menarik dibaca.
Boleh jadi karena itu pula, karya-karya Rida sangat sarat dengan pesan-pesan khas seorang guru, sangat didaktis dan mementingkan aspek etika-moral. I Wayan Westa, penekun sastra yang juga murid Rida, menilai kuatnya aspek didaktis membuat cerpen-cerpen Rida, terutama yang dimuat dalam buku Lawar Goak, cenderung datar dan nyaris tanpa konflik. Berbeda dengan novel Sunari yang penuh ketegangan dengan balutan konflik kuat.
Rida sendiri mengaku lebih senang menulis puisi tinimbang cerpen atau novel. Baginya, puisi lebih menjanjikan kemerdekaan tafsir. “Orang bisa bebas menafsirkan puisi. Kalau prosa, ya, sudah begitu,” kata Rida.
Sayangnya, sejak digerogoti sakit sesak nafas akut, Rida mengaku tak bisa menulis lagi. Padahal, berjuta ide melintas dalam pikirannya. “Saya sekarang benar-benar sudah keropos, tidak bisa menulis lagi seperti dulu,” kata Rida sembari tersenyum.
Namun, Rida masih tetap membaca, baik karya sastra maupun buku-buku nonsastra. Anak-anak dan keponakannya yang bekerja di rantau selalu membawakan oleh-oleh buku kala pulang. Bagi Rida, buku merupakan oleh-oleh terbaik. Novel Da Vinci Code karya Dan Brown disebut Rida sebagai salah satu buku hadiah anak-anak dan keponakannya yang disukainya. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya