Menu

Mode Gelap
Kalangan Muda Kurang Berminat Kunjungi Bulan Bahasa Bali 50 Pengabdi Seni dan Budaya Desa Peliatan Dianugerahi Abisatya Sani Nugraha Meningkatkan Martabat Pendidikan Pertanian di Tengah Dominasi Pariwisata Begini Kronologi Perang Puputan Margarana, 20 November 1946 Tanaman Cabai di Beranda Ruang Kelas: Catatan Harian dari SMKN 1 Petang

Bali Iloe · 9 Nov 2013 13:47 WITA ·

Merindukan Kembali Sosok Patih I Gusti Ketut Jelantik


					I Gusti Ketut Jelantik Perbesar

I Gusti Ketut Jelantik

Oleh: I Made Sujaya 

10 November 2013, masyarakat Indonesia, termasuk di Bali memperingati Hari Pahlawan. Biasanya, pada Hari Pahlawan dianugerahkan gelar pahlawan bagi sejumlah pejuang atau tokoh yang dianggap berjasa bagi Bangsa dan Negara.

Bali sudah mencatatkan sejumlah pejuang dan tokoh sebagai pahlawan nasional. Salah satu tokoh yang menarik untuk dicermati kepahlawanan dan sepak terjangnya adalah Patih Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik. Seperti apa sosok dan kepahlawanan seorang I Gusti Ketut Jelantik?

“Tidak akan pernah”, demikian kata Gusti Ketut Jelantik dengan penuh kejengkelan sambil memukul dadanya dengan kepalan tangan, sedang matanya berkilauan karena kemarahannya, dan dengan berapi-api sekali lagi ditegaskan bahwa selama saya hidup kerajaan ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda sebagaimana diartikan oleh Pemerintah Tuan. Sesudah saya meninggal dunia Raja dapat bertindak sesuai dengan keinginannya. Orang tidak bisa dengan tiba-tiba begitu saja menguasai negeri orang lain hanya dengan sarana selehai kertas. Hal itu terlebih dahulu harus diselesaikan oleh ujung keris..”  

Demikian sebuah laporan yang ditulis oleh Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, J.F.T. Mayor yang disampaikan kepada Gubernur Jenderal di Batavia terkait hasil perundingannya dengan Raja Buleleng dan Patih Gusti Ketut Jelantik terkait keinginan pihak Belanda agar Raja Buleleng mau meratifikasi kontrak yang telah ditandatangani pada 8 Mei 1843 mengenai penghapusan hak tawan karang.

Pernyataan Patih Gusti Ketut Jelantik itu memperlihatkan secara jelas bagaimana sikap tegas, keberanian dan keperwiraannya sebagai seorang patih, seorang adipati. Pernyataan Patih Jelantik itu juga menunjukkan bagaimana harga diri orang Bali yang tak bisa diinjak-injak oleh siapa pun. Penginjak-injakan terhadap harga diri orang Bali itu harus diselesaikan di ujung senjata.

Kalimat tegas sekaligus tantangan dari Patih Gusti Ketut Jelantik itu sontak menyedot perhatian pejabat-pejabat pemerintah Belanda, baim di Batavia (Hindia Belanda) maupun Den Haag (Negeri Belanda). Pihak Belanda menyebut hal itu sebagai “Peristiwa Gusti Ketut Jelantik”.

Belanda menganggap pernyataan Patih Jelantik sebagai suatu penghinaan terbuka terhadap Pemerintah Belanda. Karena itu, dari semua kalangan timbul desakan keras agar diambil tindakan militer terhadap Raja Buleleng sebagai suatu pembalasan yang tepat.

Penentangan Gusti Ketut Jelantik kemudian tercatat dalam sejarah membuahkan pengiriman ekspedisi militer Belanda ke Buleleng. Pada ekspedisi militer pertama pada tahun 1846, Belanda berhasil menduduki Kota Singaraja dan memaksa Raja Buleleng menandatangani kontrak yang mengakui bahwa Buleleng berada di bawah kekuasaan Belanda dan menghapus hak tawan karang.

Namun, kemenangan Belanda itu kemudian dibayar mahal dalam Perang Jagaraga I, 9 Juni 1848. Pada perang tersebut Belanda berhasil dipukul mundur. Kemenangan laskar Buleleng ini bahkan membuat geger Negeri Belanda. Baru pada ekspedisi militer kedua Buleleng berhasil dikuasai Belanda dan Raja Buleleng serta Gusti Ketut Jelantik dikabarkan meninggal dunia dalam pelariannya. Kekalahan laskar Buleleng itu sebetulnya lebih dipicu oleh ketidakkompakan raja-raja Bali untuk mendukung perjuangan Gusti Ketut Jelantik.

Bali kini sungguh membutuhkan karakter pemimpin seperti Gusti Ketut Jelantik. Selain keberanian dan sikap tegasnya untuk menentang sikap pongah Belanda, yang tak kalah pentingnya yakni sosoknya sebagai pemimpin yang cerdas, matang dalam strategi dan jitu dalam bersiasat.

Patih Jelantik memberi pelajaran berharga bahwa seorang pemimpin Bali tidaklah boleh hanya tunduk oleh suatu siasat licik pihak-pihak yang ingin menguasai Bali dengan cara-cara yang sangat merendahkan harga diri orang Bali yakni hanya dengan selembar kertas berupa kontrak politik. Sebaliknya pemimpin Bali mestilah memiliki kecerdasan dalam berstrategi dan bersiasat untuk menghadapi musuh-musuh Bali.

Namun, seberapa kini para pemimpin daerah ini memiliki kecerdasan dan semangat membela Ibu Pertiwi seperti Patih Jelantik. Tidakkah malah yang terjadi pemimpin kita begitu mudah diperdaya, diolok-olok sehingga Bali kian terkoyak? Sekali lagi, Bali kini sungguh-sungguh merindukan seorang Patih Jelantik. (b.)

Penyunting: I Ketut Jagra

Artikel ini telah dibaca 1,490 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Begini Kronologi Perang Puputan Margarana, 20 November 1946

20 November 2024 - 09:32 WITA

Nyoman Weda Kusuma: Dari Tukang Sapu Pasar ke Guru Besar

8 September 2022 - 17:23 WITA

Udayana: Raja Bali Kuno yang Terbuka dan Mau Mendengar Suara Rakyat

26 Mei 2022 - 22:18 WITA

Negara Mungkin Belum Mengakui, Tapi Dewa Agung Istri Kanya Tetap Pahlawan di Hati Rakyat Klungkung

25 Mei 2022 - 19:50 WITA

Sosok Kadek Agung Widnyana Putra, Pemain Bali Penyumbang Gol Timnas Indonesia

4 Juni 2021 - 00:44 WITA

Kadek Agung Widnyana Putra

Detik-detik Perang Kusamba 24-25 Mei 1849

24 Mei 2021 - 01:27 WITA

Trending di Bali Iloe