25 Mei 1849, sekitar pukul 03.00 subuh. Pekik heroik laskar rakyat Klungkung pecah di Puri Kusamba. Istana yang beberapa jam sebelumnya dikuasai pasukan Belanda itu kembali menjelma medan tempur antara laskar pamating (pasukan berani mati) Klungkung dengan pasukan Belanda. Kali ini situasinya terbalik. Pasukan Belanda yang tak menduga mendapat serangan balik kontan kocar-kacir.
Puncaknya, pemimpin pasukan Belanda, Jenderal A.V. Michiels terkena tembakan di kakinya. Sang jenderal sarat prestasi itu roboh. Dia diboyong ke kapal oleh anak buahnya untuk dilarikan ke markas pasukan Belanda di Padang Bai. Namun, nyawanya tak bisa diselamatkan. Belanda mundur, Kusamba kembali dikuasai pasukan Klungkung.
Itulah puncak Perang Kusamba yang telah berlangsung sejak sehari sebelumnya. Serangan balik Klungkung yang berujung petaka bagi Belanda itu diarsiteki seorang pejuang perempuan sekaligus pemimpin rakyat Klungkung, Dewa Agung Istri Kanya.
Kecerdasan, kecerdikan, dan pemahaman atas strategi perang yang dipraktikkan Dewa Agung Istri Kanya memperlihatkan bahwa orang Bali tidak mudah takluk di hadapan pasukan Belanda yang ditopang kekuatan senjata melimpah dan jauh lebih hebat. Justru, kematangan taktik membuat laskar Bali bisa mempecundangi Belanda.
Tak sering Bali memenangi perang dengan Belanda. Itu sebabnya, kemenangan di Kusamba menahbiskan Dewa Agung Istri Kanya sebagai pahlawan penting rakyat Klungkung, bahkan rakyat Bali. Sosok yang juga dikenal sebagai kawya raja (raja sekaligus sastrawan) itu mengguratkan tinta emas dalam perjuangan bangsa, setara dengan perjuangan pahlawan perempuan lainnya di Indonesia, seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, termasuk Kartini.
Itu sebabnya, Pemerintah Kabupaten Klungkung sejak tahun 2003 mengusulkan Dewa Agung Istri Kanya sebagai pahlawan nasional. Berbagai upaya untuk mendukung usulan itu pun sudah dilakukan, seperti melakukan penelitian tentang sosok dan perjuangan Dewa Agung Istri Kanya, membuat monumen pahlawan, mengabadikan sebagai nama bangunan publik (lapangan dan gedung kesenian) hingga membangun monumen patung Dewa Agung Istri Kanya.
Namun, usulan gelar pahlawan nasional untuk Dewa Agung Istri Kanya tetap belum berhasil. Negara belum bisa mengakui kepahlawanan Dewa Agung Istri Kanya karena kurangnya literasi dan bukti-bukti otentik kehidupan serta perjuangannya. Lantaran berkali-kali gagal, Pemerintah Kabupaten Klungkung pun mengubah usulan pahlawan nasional dari Bumi Serombotan itu. Kali ini, raja terakhir Klungkung yang gugur dalam Puputan Klungkung, Dewa Agung Jambe yang diajukan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Gelar pahlawan nasional tentu penting karena itu menegaskan pengakuan Negara atas perjuangan Dewa Agung Istri Kanya dalam dinamika perjuangan bangsa melawan penjajah. Namun, pemberian gelar pahlawan nasional erat kaitannya dengan syarat-syarat formal yang harus dipenuhi. Di sisi lain, kepahlawanan seorang tokoh, tak semata soal formalitas, tapi bagaimana kehadiran dan peran sang tokoh dirasakan masyarakat dalam menegakkan harga diri dan mengukuhkan rasa cinta tanah air.
Sosok dan peran Dewa Agung Istri Kanya tentu hadir dan dirasakan masyarakat Klungkung. Perjuangannya telah dijadikan inspirasi, terutama tentang ketegasan bersikap dan kecerdikan melawan kecongkakan penjajah. Dewa Agung Istri Kanya juga menjadi model emansipasi perempuan Bali yang tidak hanya tampil di kancah politik tapi juga secara sadar merebut kerajaan diri melalui jalan sastra. Itu ditunjukkan Jauh sebelum Kartini ditahbiskan sebagai pelopor emansipasi wanita.
Karena itu, mungkin Negara belum memiliki cukup alasan mengakui Dewa Agung Istri Kanya sebagai pahlawan nasional, tapi bagi rakyat Klungkung, rakyat Bali, ada beribu alasan untuk menjadikannya pahlawan di hati mereka. Merdeka!
- Penulis: I Made Sujaya
- Penyunting: I Ketut Jagra