Hari Ini, Digelar “Ngusaba” Purnama Kalima
Hari ini, Minggu, 17 November 2013 merupakan hari istimewa bagi orang Bali karena bulan kembali bulat penuh. Inilah purnama di bulan kelima dalam tradisi penanggalan Bali. Tiap kali Purnama Kalima datang, umat Hindu dari berbagai pelosok Bali bakal datang berduyun-duyun ke sejumlah pura penting. Salah satunya Pura Watu Klotok yang berlokasi di Tojan, Klungkung. Di sini mereka duduk bersimpuh, memohon kesuburan semesta alam.
Memang, saban Purnama Kalima dilaksanakan ngusaba di Pura Watu Klotok. Subak-subak di Klungkung yang mendapat aliran air langsung dari Gunung Agung seperti Subak Yeh Jinah, Gelgel dan Kusamba menjadi penaggung jawab dari pelaksanaan ritual ini. Selain Ngusaba Kalima, saban 210 hari sekali juga dihaturkan aci yang tingkatannya alit yakni saat Anggarakasih Julungwangi, sekitar satu setengah bulan lalu.
Pura Watu Klotok memang memiliki arti penting dalam peta kosmologi Bali. Pura Watu Klotok dengan pantainya memiliki kaitan yang erat dengan Pura Besakih. Bila dilaksanakan upacara penting di Pura Besakih, di Watu Klotok juga bakal dilaksanakan ritual setingkat.
Dalam lontar Raja Purana Besakih disuratkan setiap sepuluh tahun sekali, menjelang Tilem Kesanga, Ida Bhatara semua akekobok (bersuci) ke Pantai Watu Klotok. Sedangkan saban lima tahun saat Purnama Kadasa, Ida Batara semua menuju Yeh Sah. Khusus untuk empat tahun sekali pada Purnama Margasirsa (Kalima) Ida Bhatara diiringkan masucian ke Tegal Suci.
Keterkaitan antara Pura Watu Klotok dengan Pura Besakih akan makin kentara manakala dilaksanakan Ngusaba Kalima. Sebelum upacara dilaksanakan, warga pangamong Pura Watu Klotok akan matur piuning ke Pura Besakih dan Ulun Danu Batur, selain ke Pura Dasar Gelgel, Pura Goa Lawah dan Kentel Gumi sebagai kahyangan jagat di wilayah Kabupaten Klungkung. Secara fisik, di Pura Watu Klotok juga terdapat pelinggih Ida Bhatara Besakih berupa meru tingkat lima.
Yang jelas, di Pura Watu Klotok dipuja Ida Sang Hyang Widhi sebagai penganugerah kesuburan. Karena itulah, dalam tradisi masyarakat di sekitarnya, bila terjadi hama yang menyerang tetanaman di sawah, petani bakal memohon keselamatan ke Pura Watu Klotok.
Demikian penting arti Pura Watu Klotok, tetapi hingga kini belum terang benar kapan sesungguhnya pura ini mulai berdiri. Menurut cerita lisan yang berkembang di kalangan warga Desa Tojan, Pura Watu Klotok bermula dari sebuah batu makocel atau batu makocok. Diceritakan, pada zaman dahulu, seorang petani menemukan batu ajaib di sawahnya saat mencangkul tanah. Keajaiban batu itu, karena setiap kali dikocok, muncul bunyi beradu dari dalam batu itu. Karena dinilai ajaib, batu tersebut kemudian menjadi sungsungansubak dan berkembang menjadi Pura Watu Klotok.
Hingga kini, batu makocok itu memang masih tersimpan di Pura Watu Klotok. Bentuknya lonjong dan lumayan besar dengan posisi berdiri. Warga sekitarnya meyakini batu makocok itu sangat bertuah. Wangsuh pada atau air basuhan dari batu itu kerap dimanfaatkan petani untuk melindungi tanamannya di sawah dari hama dan penyakit.
Dari tinggalan kuno berupa batu makocok inilah, muncul dugaan tempat suci ini berasal dari zaman kuno megalitikum. Dalam majalah Sarad No. 43, November 2003 disebutkan, pada zaman megalitikum, manusia memang lazim menjadikan batu besar berdiri sebagai tempat pemujaan. Batu besar itu menjadi simbol pemujaan terhadap kekuatan mahadahsyat sebagai mahasumber hidup.
Namun, ada juga sumber yang menyebutkan Pura Watu Klotok didirikan oleh Mpu Rajakerta atau Mpu Kuturan. Ini tersurat dalam lontar Dewa Purana Bangsul. Mpu Kuturan memang merupakan orang suci dari tanah Jawa yang kemudian menjadi pendeta penting di Balipada masa pemerintahan Raja Udayana sekitar abad ke-11. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya
- Foto: repro balipost
- Penyunting: I Made Sujaya