Bertepatan dengan Purnama Jyestha, Selasa, 13 Mei 2014, di Pura Samuantiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, dilaksanakan pujawali. Inilah salah satu pura penting dalam sejarah peradaban Bali. Lantaran di pura inilah diyakini lahirnya cikal bakal konsep trimurthi dan kahyangan tiga di desa pakraman, organisasi tradisional yang menjadi pilar penting adat dan budaya Bali.
Sekitar abad ke-11, pada masa pemerintahan raja suami-istri Sri Dharma Udayana dan Gunaprya Dharmapatni, di tempat inilah dilaksanakan pertemuan mahapenting dipimpin Senapati Mpu Kuturan untuk merumuskan format pelaksanaan keagamaan yang bisa mengadopsi berbagai sekte keagamaan yang ada saat itu.
Kala itu Bali kerap menuai konflik lantaran banyaknya sekte keagamaan. Setidaknya ada enam sekte di Bali sat itu yakni Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Budha, Brahma, Resi, Sora dan Ganaptya. Pertemuan agung itu sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Babad Pasek, dihadiri oleh utusan Siwa, Budha dan Bali Aga.
Dalam pertemuan ini pula kemudian lahir konsep pemujaan Tri Murti yakni Brhma, Wisnu dan Siwa. Untuk mengimplementasikan konsep pemujaan ini, dirumuskanlah konsep tempat pemujaan Kahyangan Tiga yakni Pura Puseh, Pura Desa (di beberapa tempat disebut Bale Agung) serta Pura Dalem. Konsep kahyangan tiga ini kemudian menjadi pilar penting desa pakraman di Bali.
Begitu pentingnya arti pertemuan tersebut, kemudian di tempat pelaksanaan pertemuan itu diberi nama Pura Samuantiga. Samuan berasal dari kata pesamuhan yang berarti pertemuan, penyatuan. Tiga diambil dari tiga unsur penting yang hadir dalam pertemuan yakni Siwa, Budha dan Bali Aga. Itu sebabnya, Pura Samuantiga menjadi monumen kecerdasan Bali bersatu di masa Bali Kuno.
Meski begitu, merunut kapan mulai berdirinya Pura Samuantiga tidaklah mudah. Jro Mangku Gde Soebandi dalam buku Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali menyebutkan di bekas tempat rapat atau pertemuan segitiga Siwa, Budha dan Bali Aga dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuantiga. Ini berarti Pura Samuantiga dibangun setelah pertemuan antarsekte itu terjadi.
Sezaman dengan Pura Tirtha Empul
Padahal dalam lontar Tatwa Siwa Purana seperti dikutip I Wayan Patera dalam buku Khayangan Jagat Pura Samuantiga (2002) disebutkan Pura Samuantiga dibangun pada pemerinthan Prabu Candrasangka. Namun, melihat kronologi pemerintahan raja-raja Bali, tidak ada disebutkan raja Candrasangka. Yang ada adalah Candrabhayasingha Warmadewa yang disebutkan dalam prasastinya yang sekarang tersimpan di Pura Sakenan Manukaya Tampaksiring, berisi tentang pembuatan telaga/pemandian suci yang disebut Tirta di Air Hampul.
Bila nama prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrabhayasinga Warmadewa seperti disebutkan dalam prsasti Manukaya yang berangka tahun 962 Masehi, dapatlah dikatakan Pura Samuantiga dibangun sezaman dengan Pura Tirtha Empul yakni sekitar abad ke-10. Hal ini, lanjut Patera, sejalan dengan hasil penelitian R Goris yang menyebutkan setiap kerajaan pada masa Bali Kuna harus memiliki tiga pura utama yakni pura gunung, pura penataran dan pura segara (laut). Pura Tirtha Empul sebagai gunungnya dan Pura Samuantiga sebagai pura penatarannya.
Patera yang juga Ketua Manggala Paruman Penyungsung Pura Samuan Tiga meyakini, Pura Samuantiga sudah berdiri sebelum pertemuan segitiga penyatuan sekte-sekte keagman di Bali. Lantaran, menurut dia, ada yang menyebut pura ini dengan nama Pura Batan Bwah. “Mungkin pura ini sudah ada tetapi namanya lain. Karena di pura ini dilaksanakan pertemuan Samuantiga, untuk mengenangnya, kemudian pura ini diberi nama Pura Samuantiga,” Patera menduga.
Yang jelas, dari segi bentuk dan struktur, Pura Samuantiga memang menggambarkan sebagai pura penataran lazimnya Pura Besakih. Masyarakat setempat pun kerap menganggap Pura Samuantiga sebagai miniatur Pura Besakih. Pasalnya, Pura Samuantiga juga dikelilingi pura-pura lainnya di sekitar pura sebgai pura lawa.
Nama sejumlah pura itu pun mirip dengan nama pura-pura yang mengelilingi Pura Besakih seperti Pura Bukit terletak di sebelah timur, Pura Celanggu terletak di sebelah Selatan, Pura Batan Jeruk (Margabingung) di sebelah Barat, Pura Santrian di sebelah Utara, Pura Pasar Agung dan Melanting di sebelah Timur, Pura Dalem Puri di sebelah Timur, Pura Geduh di sebelah Timur dan Tegal Penangsaran di sebelah Timur.
Pura Samuantiga sendiri memiliki 80 palinggih atau bangunan suci. Dari segi struktur, pura ini tersusun dari tujuh mandala dengan struktur yang semakin meninggi ke jeroan. Di mandala pertama berupa jaba pura. Berikutnya, mandala penataran agung yang memiliki 19 bangunan suci. Mandala Duur Delod memiliki tujuh bangunan suci.
Karena itu, kata Patera, di Pura Samuantiga dipuja Tuhan dalam segala manifestasinya. Pujawali atau Karya Agung Batara Turun Kabeh dilaksanakan setahun sekali pada saat Purnama Jyestha tepatnya pada wara Pasah. Namun, kalender Bali sudah menunjuk Purnama Kadasa. “Kalau piodalan-nya pada saat hari Tumpek Kuningan,” imbuh Patera. (b.)
- Penulis: Nyoman Samba
- Foto: I Made Sujaya
- Penyunting: Ketut Jagra