Pura Gunung Payung merupakan salah satu pura panyungsungan Desa Pakraman Kutuh dengan posisi arah timur dari pusat desa. Dalam jajaran pura pangibeh serta letak geografi, memang dalam posisi timur (purwa). Secara tradisional pura ini sebagai tempat pemujaan dewa air/dewi danu/dewa kesuburan, juga termasuk salah satu pura dang kahyangan.
Secara geografi, Desa Kutuh ada pada daerah bukit atau kaki pulau Bali yang terkenal dari dulu sebagai daerah yang kering atau sedikit air hujan. Ini yang menyebabkan krama sangat mendambakan air. Oleh karena itu, dewa yang dipuja-puja dan selalu dimohonkan anugrah-Nya adalah dewa air.
Secara kenyataan di pura ini ada air suci yang selalu dimohon oleh pamedek. Tempat air alam ini oleh masyarakat disebut kubung. Posisinya di utama mandala. Selama ini betapa pun keringnya pada musim kemarau, di dalam kubung ini tetap ada air suci untuk dimohon sebagai tirtha atau wangsuh pada. Sungguh sulit diterima akal, tempat yang demikian kering justru ada air. Begitulah Tuhan menunjukkan kemahakuasaan-Nya sehingga keyakinan umat semakin meningkat.
Masyarakat Kutuh meyakini keberadaan kubung Gunung Payung itu suci. Bukan karena disucikan, tetapi memang suci secara alamiah. Kalau menoleh ke belakang, tempat pemujaan pada jaman purba atau pra-Hindu, ada gunung, kayu besar, batu dan lain-lain. Ada kepercayaan yang disebut animisme, dinamisme.
Secara tradisi, kepercayaan yang masih ajek sampai kini adalah keyakinan penggunaan air suci dari kubung itu yang dimohon oleh umat untuk keselamatan dan terkait dengan kesuburan tanaman. Air suci itu akan dipercikkan pada tanaman padi diiringi doa semoga tumbuh dengan subur.
Padi menjadi simbol tanaman yang mewakili tanaman lainnya yang dapat memberikan kehidupan kepada kita. Pada zaman dahulu, krama Bukit umumnya dan Kutuh khususnya menanam padi gaga, tapi kini tidak kita jumpai lagi. Walaupun demikian penggunaan air suci untuk memohon kesuburan tetap berlangsung, namun diwakili oleh tumbuhan yang lain yang harapannya tetap mendapatkan kesuburan atau panen yang baik.
Pada masyarakat Kutuh ada istilah nyeseh beling padi. Air suci inilah sarananya. Adapun hari yang baik untuk mohon air suci ini adalah pada saat pujawali atau odalan di Pura Gunung Payung yang dilaksanakan setahun sekali, yaitu pada purnamaning Sasih Kawolu. Sasih ini adalah sedang musim hujan dan padi sedang mulai berbuah. .
Dalam perjalanan suci (tirthayatra) Dang Hyang Dwijendra di Bali disebutkan beliau pernah mampir atau beristirahat di tempat ini. Dalam teks Dwijendra Tatwa disebutkan beliau menancapkan tangkai payungnya di bumi dan seketika itu keluarlah air yang jernih (Soebandi, 1983:117). Dalam sejarah disebutkan beliau datang ke Bali sekitar abad XV, tepatnya tahun 1489 Masehi (Soebandi, 2004:31). Jadi, kalau mitologi itu diterima begitu saja itu berarti kurang lebih baru lima abad yang lalu. Ada yang meyakini bahwa kubung itu sudah ada jauh sebelum beliau datang ke Bali atau ke Desa Kutuh.
Bandingkanlah dengan kejadian ini.
“…………..Di sana Danghyang Nirartha lalu melakukan yoga samadhi mempersatukan pikiran, dan dari kekuatan bayu, sabda, idep beliau, berhasillah yoga samadhinya yang bersifat rohani. Di tempat itu beliau menjumpai pula sebuah goa yang dihuni oleh kelelawar (lelawah) yang jumlahnya cukup banyak, dimana kelelawar tersebut bergantungan pada dinding goa tersebut. Suara kelelawar itu sangat riuh tidak henti-hentinya yang dapat memecahkan suasana kesunyian didalam goa tersebut yang sangat mempesona hati Danghyang Nirartha . ………Oleh karena goa tersebut dihuni oleh kelelawar, lalu tempat itu diberi nama Gowa Lawah sesuai dengan kenyataan yang disaksikan oleh beliau, selanjutnya pura atau Kahyangan yang ada di sana disebut Pura Goa Lawah” (Soebandi,1983: 40).
Berdasarkan pada ilustrasi cerita di atas bahwa suatu tempat bukanlah adanya setelah Danghyang Nirartha datang namun tempat itu sudah ada sejak awal. Dari tempat itu ada pancaran sinar atau kekuatan alam yang secara bathin dapat diteropong oleh Danghyang Nirartha dan selanjutnya beliau tetap datang untuk melakukan yoga samadhi di tempat itu. Bagi orang yang mumpuni hal yang demikian bukanlah sesuatu yang aneh. Demikian pula dengan adanya Pura Bukit Payung (nama ini sesuai dengan lontar Dwijendra Tatwa), namun masyarakat panyungsung, pangempon secara turun-temurun, yaitu krama Desa Kutuh menyebut dengan nama Pura Gunung Payung.
Tampaknya, sebelum tiba di Kutuh, beliau sudah terlebih dahulu melakukan yoga samadhi (tugas dharma yatrin) untuk mengetahui secara batin mana tempat-tempat yang layak untuk dikunjungi. Maka, terpilihlah tempat ini sebagai salah satu objek kunjungan spiritual beliau. Apa yang beliau lihat dalam batin ternyata memang benar ada sesuatu yang sangat mempunyai nilai spiritual yaitu kubung dengan air sucinya yang berada di atas batu kapur. Inilah yang menggetarkan batin beliau. Masyarakat tradisional Kutuh sudah memanfaatkan air suci ini untuk berbagai keperluan ritual.
Untuk lebih memantapkan keyakinan tentang tempat ini lalu beliau mengarang kekawin yang dapat kita warisi hingga sekarang. Dalam buku Nirartha Prakreta disebutkan bahwa beliau adalah seorang kawi-wiku yang telah siddha-suddha digambarkan memiliki kesucian pikiran bagaikan kesucian air samudra (Agastia, 2000:10). Karangan beliau mengenai penancapan tangkai payung di bumi, lalu mengeluarkan air ini adalah kias atau simbol yang perlu dikupas artinya. Penancapan tangkai payung ke bumi sebagai simbol bertemunya lingga-yoni, purusa-pradana, cetana-acetana, segara-gunung. Dari pertemuan inilah akan terjadi kesuburan, kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran. Sat sit ananda. aham brahma asmi. brahman atman aikyam, siwoham. Hal ini merupakan tujuan semua para pendaki spiritual. Pura Gunung Payung merupakan salah satu tempat pendakian spiritual yang tepat.
- Penulis: I Wayan Lugraha
- Penyunting: I Made Sujaya
- Penulis merupakan warga Desa Kutuh yang bermukim di Banjar Dinas Jabapura, Kutuh, Kuta Selatan. Penulis dapat dihubungi melalui surel sunulugraha@yahoo.co.id