10 September 1984, Bali kehilangan seorang pengarang besar, Ida Pedanda Made Sidemen. Pengarang sastra tradisional berbagai genre itu berpulang dalam usia 126 tahun. Ida Pedanda dikenal sebagai seorang sulinggih sederhana serta sahabat Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Denpasar yang gugur dalam perang Puputan Badung 20 September 1906. Tahun ini, tepat 29 tahun kawi-wiku yang juga filosof dan arsitek tradisional Bali itu berpulang. Adabanyak karya, pemikiran dan laku diri yang patut diteladani dari sang pandita dari Sanur ini.
Ida Pedanda Made Sidemen memang merupakan wiku yang sepenuh hati menapak jalan sastra, laku nyastra. Sang sulinggih tidak saja doyan membaca karya sastra, tetapi juga banyak menulis sastra tradisional dalam berbagai genre, mulai dari geguritan, kidung hingga kakawin.
Ada sejumlah karya Ida Pedanda Made Sidemen yang cukup penting. Di antaranya Siwagama, Kakawin Chandra Bhairawa, Kakawin Cayadijaya, Kakawin Singhalangghyala, Kakawin Kalpha Sanghara, Kidung Pisacarana, Kidung Rangsang dan Geguritan Salampah Laku.
Selain itu, Ida Pedanda Made Sidemen juga dikenal sebagai seorang undagi, arsitek tradisional Bali yang terkemuka. Tak hanya itu, Ida Pedanda Made juga banyak menghasilkan karya pahatan yang banyak dipuji orang. Karenanya, tak salah jika banyak pakar menyebut Ida Pedanda Made Sidemen sebagai seniman serbabisa, ilmuwan Timur yang komplit.
Ida Pedanda Made Sidemen juga melakoni nyastra sepenuh hati hingga ke laku diri. Ida Pedanda dikenal dengan kesederhanaan dan kerendahan hatinya, sesuatu yang memang sangat diharapkan dari orang yang menekuni jalan sastra.
Kesederhanaan memang menjadi jalan hidup Ida Pedanda Made Sidemen. Dalam karya-karyanya, sahabat Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung ini menyebut diri tidak berpunya (mayasa lacur). Tidak punya tanah sawah (tong ngelah karang sawah), sehingga memilih jalan “bercocok tanam” di dalam diri (karang awake tandurin). Kendati begitu, Ida Pedanda senantiasa berharap bisa bermanfaat bagi masyarakat (guna dusun).
Teladan yang paling diingat masyarakat Sanur dan Denpasar pada umumnya dari sosok Ida Pedanda Made Sidemen yakni kesederhanaan dalam menggelar upacara pitra yadnya. Tatkala jazad sang pendeta yang juga pengawi serta arsitek agung Bali itu di-pelebon, upacaranya jauh dari kesan mewah atau pun megah. Tak ada lembu bertanduk emas, tiada usungan bade menjulang tinggi, tanpa hingar-bingar pula. Kendati pelebon pada 13 September 1984 itu diiringi ribuan orang, toh yang terasa seperti kesunyian, keheningan.
Memang, upacara pelebon sederhana itu merupakan wasiat Ida Pedanda menjelang lebar (meninggal). Ida Pedanda berpesan kepada putrinya, Ida Ayu Pidin agar jazadnya cukup dibakar sederhana. Bahkan, Ida Pedanda sepertinya sudah tahu kapan akan dijemput kematian. Lantaran sebagian perlengkapan upacara pelebon-nya disiapkan sendiri. Keropak penutup jenazahnya misalnya, sepenuhnya merupakan karya Ida Pedanda sendiri. Ida Pedanda Made Sidemen telah menyiapkan sendiri “jalan pulang”, jalan kembali ke tanah wayah. (b.)
- Penulis: I Made Sujaya