Oleh: I MADE SUJAYA
Orang Bali kerap dicitrakan sebagai orang-orang yang memiliki nasionalisme tinggi. Citra itu terbentuk dari perjalanan sejarah Bali pada masa revolusi yang menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada Republik. Yang paling monumental tentu saja sikap tegas Letkol I Goesti Ngoerah Rai saat menghadapi tentara NICA (Belanda) yang berakhir dengan Perang Puputan Margarana, 20 November 1946.
 |
Mr. I Goesti Ketoet Poedja |
Tapi, citra nasionalis itu juga disumbangkan seorang tokoh penting dari Buleleng, Mr. I Goesti Ketoet Poedja. Bahkan, tokoh ini ikut berkontribusi pada terbentuknya Republik Indonesia. Pasalnya, dia menjadi satu-satunya wakil Bali dan Soenda Ketjil dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) serta satu-satunya orang Bali yang ikut hadir langsung dalam peristiwa bersejarah Proklamasi Kemerdekaan RI. Poedja juga yang kemudian ditunjuk menjadi Gubernur Soenda Ketjil pertama pada 22 Agustus 1945.
Poedja merupakan putra kelima dari pasangan I Goesti Njoman Raka dan Jero Ratna Kusuma. I Goesti Njoman Raka merupakan punggawa Sukasada, Singaraja, Buleleng, Bali. Dia lahir pada 19 Mei 1908 dan meninggal di RS Cipto Mangunkusumo di Jakarta pada 4 Mei 1977 dalam usia 69 tahun.
Dalam buku Mr. I Gusti Ketut Pudja Riwayat Hidup dan Pengabdiannya (1986) disebutkan Poedja merupakan putra Bali pertama yang meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum). Pada tahun 1935, dia mengabdi di kantor Residen Bali dan Lombok di Singaraja. Setahun kemudian dia ditempatkan di Raad van Kerta, lembaga pengadilan di Bali pada masa itu.
Saat Jepang menduduki Indonesia, Poedja ditunjuk untuk mengaktifkan kembali pemerintahan sipil di Bali. Kapten Kanamura dari Angkatan Darat Jepang menugasi Poedja sebagai redjikan dairi yang menjalankan kegiatan pemerintahan keresidenan di Singaraja. Tatkala tentara Angkatan Darat digantikan Angkatan Laut Jepang, Poedja juga diangkat sebagai giyosei komon (penasihat umum) cookan (kepala pemerintahan Soenda Ketjil) hingga berakhirnya kekuasaan Jepang tahun 1945.
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI, Poedja ditunjuk mewakili Soenda Ketjil (Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor) menghadiri rapat PPKI. Di PPKI, Poedja terbilang aktif mengikuti rapat-rapat. Dia turut dalam panitia kecil yang dipimpin Otto Iskandardi Nata yang bertugas menyusun rancangan yang berisi hal-hal yang meminta perhatian mendesak.
Peran penting Poedja yang dikenang orang tentu saja usulannya dalam penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Seperti dicatat dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang dikeluarkan Sekretariat Negara, Poedja menyampaikan keberatan dengan pemakaian kata Allah pada aliena ke-3, yakni kalimat “Atas berkat Allah Yang Maha Kuasa…”. Ia mengusulkan kata Allah diganti Tuhan. Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang dikeluarkan Sekretariat Negara, Ketut Pudja tak menyebutkan alasannya
Soekarno yang memimpin sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 dan dihadiri 27 tokoh nasional itu menawarkan usulan Poedja kepada peserta sidang. Tidak seorang pun keberatan dengan usulan Poedja itu. Soekarno pun kemudian membacakan kembali Pembukaan UUD tersebut dengan perubahan yang diusulkan Ketut Pudja lalu disahkan.
Saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan di Pegangsaan Timur, Jakarta, Poedja juga ikut hadir. Bahkan, pada 22 Agustus 1945, Poedja diangkat menjadi Gubernur Soenda Ketjil berbarengan dengan pengangkatan gubernur provinsi lainnya. Poedja juga menerima mandat pengangkatan IBP Manoeaba sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Soenda Ketjil.
Tugas berat pun mulai menghadang lelaki sederhana ini. Usahanya untuk mempertahankan dan menegakkan Republik Indonesia yang baru lahir di Bali penuh tantangan. Tantangan tidak saja dari pemerintah Jepang yang masih bercokol di Bali maupun tentara NICA yang kemudian mendarat di Bali, tetapi juga dari para elite dan orang-orang Bali yang belum memahami makna kemerdekaan RI.
Dengan sabar dan tabah, bersama para pemuda pejuang, Poedja membangun dan melaksanakan pemerintahan RI di Soenda Ketjil yang beribukota di Singaraja. Tapi, selama menjabat Gubernur Soenda Ketjil, Poedja beberapa kali ditahan Jepang maupun NICA.
Poedja berhenti menjabat Gubernur Soenda Ketjil seiring lahirnya Negara Indonesia Timur (NIT) yang difasilitasi Belanda. Di tengah kecamuk revolusi kemerdekaan RI, setelah bebas dari tahanan, Poedja memutuskan masuk ke daerah Republik Indonesia yang kala itu berpusat di Yogyakarta. Dia disambut hangat Presiden Soekarno dan rakyat Yogyakarta. Ia ditempatkan pada Kementerian Dalam Negeri dan diberi tugas mengikuti jalannya pemerintahan di daerah-daerah.
Mei 1950, Poedja ditunjuk sebagai Menteri Kehakiman dalam Kabinet Putuhena hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dia lalu diangkat sebagai anggota Panitia likuidasi Indonesia Timur dan menetap di Makassar hingga akhir tahun 1950.
Awal tahun 1951, Poedja diangkat sebagai gubernur yang diperbantukan pada Kementerian Dalam Negeri, dipekerjakan pada Perdana Menteri denan tugas sebagai penghubung parlemen. Agustus 1954, Poedja diangkat sebagai Dewan Pengawas Keuangan. Tiga tahun kemudian dia diangkat menjadi Wakil Ketua Dewan Pengawas Keuangan. September 1960, dia pun menduduki posisi puncak sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Jabatan terakhir dipangkunya hingga pensiun pada tahun 1968.
Meski turut berperan dalam proses lahirnya RI serta menjadi pejuang gigih dalam mempertahankan tegaknya Negara Kesatuan RI di Bali, tidak mudah bagi Poedja untuk diakui Negara sebagai pahlawan nasional. Baru pada tahun 2011 Poedja ditetapkan sebagai pahlawan nasional bersama enam tokoh lainnya, yakni Sjafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911-15 Februari 1989), Idham Chalid (27 Agustus 1921-11 Juli 2010), Buya Hamka (17 Februari 1908-24 Juli 1981), Ki Sarmidi Mangunsarkoro (23 Mei 1904-8 Juni 1957), Sri Susuhunan Pakubuwono X (29 November 1866-1 Februari 1939), Ignatius Joseph Kasimo (1900-1 Agustus 1986). (b.)
____________________________
Penyunting: I KETUT JAGRA
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI