Pandemi global Covid-19 benar-benar membuat Bali terpuruk. Perekonomian masyarakat Bali yang bertumpu pada pariwisata terperosok ke titik terendah. Memang, seluruh dunia mengalami krisis ekonomi akibat wabah koronavirus ini. Tapi, bagi Bali, gering agung ini benar-benar menjelma getir.
Tak kunjung pulihnya industri pariwisata menyebabkan ribuan pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), sebagian lagi dirumahkan hingga jangka waktu yang tak jelas. Banyak perusahaan juga membayar gaji karyawannya setengah atau seperempat dari biasanya.
Tak sedikit anak-anak muda Bali yang selama ini bekerja di kota kini memilih kembali ke desa. Untuk bertahan hidup, mereka mencoba bertani atau berdagang kecil-kecilan. Situasinya juga tak mudah karena daya beli juga anjlok drastis.
Karena tak bekerja, mereka yang memiliki kredit di bank atau lembaga keuangan lain tak sedikit yang mengalami kesulitan membayar. Bahkan, tidak sedikit juga orang Bali yang memilih menjual asetnya untuk bisa menyambung hidup.
Kondisi itu direkam oleh angka-angka makro pertumbuhan ekonomi Bali yang masih negatif. Data BPS Provinsi Bali yang dirilis awal Mei ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan I tahun 2021 minus 9,85% (-9,85%) jika dibandingkan dengan kuartal I tahun 2020. Bila dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Bali juga masih minus 5,42% (-5,42%).
Tingkat pengangguran terbuka di Bali pada bulan Februari 2021 juga tercatat 5,42%. Melonjak 317% jika dibandingkan Februari 2020. Angkanya diperkirakan mencapai 144.500 orang. Jika sebelum pandemi Bali selalu menjadi daerah dengan tingkat pengangguran paling rendah, kini Bali berada di urutan ke-18.
Inilah krisis paling berat yang dihadapi Bali sepanjang lima puluh tahun terakhir. Krisis akibat pandemi kali ini jauh lebih hebat dari krisis pascaledakan bom 12 Oktober 2002 maupun 1 Oktober 2005. Barangkali yang bisa menyamai situasi krisis yang dihadapi Bali saat ini yakni krisis tahun 1930-an akibat depresi ekonomi yang melanda Eropa dan berdampak ke berbagai negara jajahan, termasuk Hindia Belanda. Para pakar ekonomi bahkan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) juga sudah merujuk krisis ekonomi pada masa depresi global 1930-an sebagai situasi yang memiliki kemiripan dengan krisis ekonomi akibat pandemi tahun 2020-an ini.
Henk Schulte Nordholt dalam buku Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia (Pustaka Pelajar, 2002) menyebut situasi krisis ekonomi di Bali pada tahun 1930-an itu sebagai “krisis terselubung”, krisis yang ditutup-tutupi oleh kebijakan politik kolonial kala itu yang tengah merekonstruksi citra Bali sebagai “surga terakhir”. Bali saat itu dipermak sebagai tujuan wisata bagi turis Eropa yang ingin melihat kehidupan masyarakat Timur Jauh yang masih asli, eksotis dan penuh harmoni.
Pada tahun 1930, tulis Nordholt, terjadi krisis dunia yang berimplikasi kepada terjadinya krisis di Hindia Belanda, termasuk Pulau Bali. Ekspor babi, kopra dan beras yang sebelumnya menjadi primadona Bali ternyata merosot tajam. Harga komoditas itu sama sekali ambruk di pasaran ekspor.
Geoffrey Robinson dalam buku Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (LKis, 2006) juga mengungkap krisis yang dialami Bali pada tahun 1930-an itu. Data Departement van Economische Zaken mengungkap, volume ekspor di Karesidenan Bali-Lombok pada rentang waktu 1927 hingga 1934 memang meningkat, tapi nilainya terus menurun. Volume ekspor tahun 1927 tercatat 19.604 kg dengan nilai 6,778 gulden menjadi 32.327 kg pada tahun 1934 dengan nilai turun drastis 2,720 gulden. Impor juga menurun, baik dari segi volume maupun nilainya.
Terang saja hal ini berimplikasi kepada jauh lebih sedikitnya mata uang Belanda yang masuk ke Bali. Sementara pemerintah Hindia Belanda mewajibkan petani-petani Bali untuk tetap membayar pajak dengan menggunakan mata uang Hindia Belanda, bukan uang kepeng seperti yang umum berlaku di Bali.
Sejak tahun 1920-an, pemerintah Hindia Belanda memang memberlakukan sistem perpajakan yang baru. Sistem baru itu tidak lagi dikendalikan pemerintah Belanda setempat, melainkan oleh suatu badan pemerintah otonom yakni Dinas Pajak Tanah. Bali sendiri tercatat sebagai wilayah dengan pajak tanah terberat di seluruh Hindia Belanda.
Sekitar tahun 1933-1934, cadangan di Pulau Bali terkuras habis. Situasi ini semakin diperburuk dengan gagalnya panen padi di wilayah-wilayah Bali Selatan sekitar tahun 1935-1936.
Pemerintah kolonial sendiri sangat lambat dalam menangani krisis yang terus berlanjut ini. Tindakan-tindakan yang diambil jauh dari mencukupi. Bahkan, pejabat-pejabat kolonial di Bali tetap bersikap optimistis dan mengatakan di Pulau Bali tidak ada kemiskinan. Apa yang terjadi saat itu disebut sebagai “pengencangan” ikat pinggang.
Namun, pada tahun 1934, keadaan ternyata semakin tidak tertolong. Terjadi penundaan pembayaran pajak di daerah Bali Selatan yang mencapai sekitar 50 persen. Pemerintah Hindia Belanda sampai harus mengeluarkan surat tuntutan dan pelaksanaan paksa. Terakhir, karena cara itu juga tak begitu berhasil, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memberikan pembebasan pajak dari 25 persen-40 persen.
Di desa-desa, implikasi krisis ini semakin serius. Tak terhitung banyaknya sawah yang dijual tanpa dicatat dalam buku besar Belanda. Di daerah Bali Selatan banyak petani yang harus kehilangan sawahnya karena dililit hutang yang demikian besar. Sebaliknya, pemilik tanah yang kuat makin memperluas sawah yang dimiliki. Robinson menyebut istilah “insiden tuna-tanah” untuk menandai peristiwa disitanya tanah-tanah petani Bali karena tidak mampu membayar pajak. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Ekonomi Bali yang babak belur pada tahun 1930-an itu sebetulnya sudah tampak setelah terjadi gempa bumi hebat tahun 1917 yang menewarkan sekitar 1.400 orang, menghancurkan puluhan ribu rumah dan pura serta merusak ribuan hektar tanah. Hingga hampir 15 tahun kemudian ekonomi Bali belum juga pulih sampai akhirnya dunia dihantam depresi global.
Namun, situasi itu ditutup-tutupi pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, Residen Bali-Lombok periode 1933-1937 G.A.W. de Haze Winkelman dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, 20 Juli 1936 menyebut “rakyat Bali termasuk yang paling cukup pangan di Hindia-Belanda”. Padahal, sebuah laporan dari seorang pegawai sipil kolonial di Bali, Ch. J. Grader, pada dasawarsa 1930-an menulis bahwa ketika melakukan perjalanan ke distrik Mengwi di Badung pada tahun 1932, dia mendapati “begitu banyak rakyat yang merasa beruntung jika bisa makan makanan yang layak satu kali per hari”.
Pada tahun 1930-an, keterpurukan ekonomi Bali dan kemelaratan masyarakatnya bisa ditutupi citra eksotis demi politik kolonial, termasuk kapitalisme pariwisata yang mulai menancapkan kukunya. Namun, di era tahun 2020-an kali ini, pada masa pandemi Covid-19 menghantam seluruh dunia, keterpurukan ekonomi Bali tak bisa ditutupi lagi seiring tersuruknya industri pariwisata hingga ke titik nadir di pulau berbentuk palu godam ini. (b.)
Penulis: I Made Sujaya