Oleh: I MADE SUJAYA
 |
Bubur dalam sesaji Tumpek Pengatag (balisaja.com/I Made Sujaya)
|
Sejak subuh, Ketut Taman sudah berkutat di dapur. Sabtu, 1 Desember 2020, ada satu menu tambahan yang harus disiapkannya: bubur. Sebabnya, hari itu adalah hari Tumpek Wariga, hari pemujaan Tuhan dalam manifestasi sebagai penguasa segala tumbuh-tumbuhan. Saat itulah dilakukan upacara khusus di tegalan atau sawah. Bubur menjadi sarana pokok dalam sesaji yang dipersembahkan.
“Semua banten mesti diisi sejumput bubur. Ini sebagai ungkapan syukur dan permohonan untuk mendapatkan anugerah kesuburan dan kesejahteraan,” kata wanita petani asal Desa Dapdap Putih, Buleleng ini.
Karena mempersembahkan sesaji berisi bubur itulah, Tumpek Wariga juga dikenal sebagai Tumpek Bubuh. Di beberapa tempat lain di Bali, Tumpek Wariga juga disebut Tumpek Pengatag.
Taman tak hanya membuat bubur untuk keperluan sesaji. Bubur yang dibuatnya juga untuk santapan keluarganya. Anak-anaknya bakal menunggu-nunggu sajian bubur sumsum disertai taburan kelapa parut dan gula merah.
Tak hanya petani di desa, perempuan Bali yang tinggal di kota juga melakoni tradisi membuat bubur sumsum saat hari Tumpek Wariga. Nyoman Suryani, warga Denpasar Utara, misalnya membuat bubur sumsum berwarna hijau. Selain digunakan untuk sesaji, bubur sumsum itu juga untuk anak-anaknya yang memang menyukai menu satu ini.
Sudah sejak kanak-kanak Suryani besar dalam tradisi membuat bubur pagi-pagi buta saat Tumpek Bubuh. Tradisi itu dibawanya hingga mengarungi bahtera rumah tangga.
Memang, saban hari Tumpek Wariga yang jatuh saban Saniscara Kliwon wuku Wariga, umat Hindu di Bali langsung teringat dengan bubur sumsum.
Jika Suryani masih sempat membuat, sebagian besar lainnya memilih membeli bubur yang sudah jadi. Itu sebabnya, penjual bubur sumsum biasanya akan menambah volume bubur yang dijualnya saat hari Tumpek Wariga. “Biasanya ada yang sudah memesan bubur jauh-jauh hari. Adayang memang digunakan untuk banten, ada yang sekadar disantap,” kata Bu Intan, seorang pedagang jaja bali yang juga menjual bubur sumsum.
Kendati tradisi membuat dan menghaturkan bubur sudah tumbuh sejak lama, toh tak banyak yang tahu mengapa saat Tumpek Wariga mesti membuat dan menghaturkan bubur. Pendharmawacana (penceramah) agama Hindu, I Ketut Wiana, bubur merupakan lambang kesuburan. Perayaan Tumpek Wariga memang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah kesuburan yang diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga segala macam tumbuhan bisa tumbuh dengan baik. Tumbuh-tumbuhan itu yang kemudian menjadi sumber kehidupan utama bagi umat manusia.
Bubur sebagai sesaji tidak saja muncul saat perayaan Tumpek Wariga. Sejumlah ritual agama Hindu juga menyertakan sesaji berupa bubur. Dalam upacara pengabenan misalnya, ada sesaji berupa bubur yang disebut bubur pirata.
“Bubuh pirata itu sebagai hidangan untuk sang pitara yang akan diupacarai. Ini juga semacam doa agar sang pitaramencapai kesempurnaan dan keluarga yang masih hidup mencapai kesejahteraan,” kata Wiana.
Tradisi membuat dan menghaturkan bubur saat Tumpek Wariga, menurut Wiana, lebih merupakan tradisi lokal Bali. Tradisi ini kemudian diharmonisasi dengan ajaran agama Hindu.
Biasanya, imbuh Wiana, bubur yang dibuat dan dihaturkan saat Tumpek Bubuh berwujud bubur berwarna merah dan putih. Bubur berwarna merah merupakan lambang purusa, sedangkan bubur berwarna putih merupakan lambang pradana. Penyatuan kedua unsur itu menyebabkan lahirnya kehidupan. (b.)
______________________
Penyunting: KETUT JAGRA
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI