 |
Upacara piodalan di sebuah merajan keluarga di Buleleng. (balisaja.com/I Made Sujaya)
|
Meski kondisi tubuhnya sedang kurang sehat, Putu Sudarta, warga Desa Tista, Busungbiu, Buleleng, terlihat tetap sumringah. Dia merasa bahagia karena rumahnya kini tak lagi sepi. Hampir semua saudara, anak, dan cucunya yang selama ini tinggal di kota, pulang. Hari itu, Rabu, 11 September 2019, bertepatan dengan hari Buda Cemeng Merakih, dia melaksanakan upacara piodalan (sejenis perayaan hari jadi tempat suci) di sanggah/merajan (tempat suci) keluarga. “Kalau keluarga sudah berkumpul begini, sakit di tubuh itu tak ada artinya,” kata Sudarta.
Padahal, baru sehari sebelumnya dia harus dilarikan ke klinik karena ada masalah di saluran pencernaannya. Bagi Sudarta, canda dan tawa bersama keluarga di rumah merupakan obat paling mujarab. Saling berbagi cerita diselingi tawa lepas dirasakan Sudarta seperti melepaskan kepenatan hidup sehari-hari.
Karena itu, setiap kali hari raya dan odalandi sanggah keluarga, Sudarta senantiasa menyambutnya dengan keriangan yang penuh. Bahkan, dia menyiapkan aneka makanan untuk disantap bersama saat seluruh anggota keluarga pulang.
“Ya, ini semacam reuni keluargalah. Walaupun acaranya sederhana, tetapi bisa bertemu semua anggota keluarga di rumah itu sesuatu yang sangat membahagiakan, melebihi segalanya,” kata mantan Bendesa Adat Tista ini.
Tak hanya Sudarta yang merasakan odalansebagai wahana reuni keluarga. Tokoh masyarakat Kedonganan, I Ketut Madra, juga memaknai odalan di sanggah keluarga sebagai momentum bertemuanya seluruh anggota keluarga.
“Odalan di sanggah keluarga itu biasanya kan digarap bersama semua anggota keluarga. Di situ interaksi terjaga. Mereka yang merantau kembali pulang untuk guyub kembali di rumah, tempat mereka dilahirkan bersama,” kata Madra.
Madra malah melihat odalan di sanggah keluarga tidak saja sebagai reuni keluarga secara sekala, tetapi juga secara niskala. Pasalnya, saat odalan di sanggah keluarga, seluruh anggota keluarga juga melaksanakan persembahyangan bersama dan yang dipuja, tak hanya Tuhan yang tunggal, tetapi juga para leluhur yang telah distanakan di kemulan(bangunan suci di sanggah yang fungsinya sebagai stana para leluhur yang telah disucikan). Persembahyangan bersama di sanggahkeluarga itu juga merupakan sebuah pertemuan dan dialog batin antara keluarga yang masih hidup dan leluhur yang sudah mendiami alam dewata. “Bukankah itu juga semacam reuni keluarga secara niskala?” ujar Madra.
Aspek niskala dalam odalan itu pula yang menjadi kekuatan penting yang memantik kesediaan dan kesetiaan orang Bali untuk selalu pulang saat odalan digelar di sanggah keluarga. Mereka yang bekerja di kota biasanya akan meminta izin sejak jauh-jauh hari bila hari odalan di sanggah keluarga tiba.
Dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Made Wiradnyana mengungkapkan, bagi orang Bali, pura atau sanggahmemang tidak semata sebagai tempat suci, melainkan juga sebagai media perekat hubungan sosial. “Pura atau sanggahitu sejatinya sebuah media pemersatu masyarakat Bali,” ujar Wiradnyana.
 |
Rembuk keluarga usai piodalan. (balisaja.com/I Made Sujaya)
|
Di tingkat keluarga, sanggah keluarga menyatukan anggota keluarga terdekat. Dalam level yang lebih luas, ada pura dadia atau panti yang menyatukan berbagai keluarga dalam satu ikatan soroh atau klan. Di tingkat desa adat, pura desa yang menjadi pemersatu warga desa. “Dalam tataran gumi Bali, kita dipersatukan sebagai sebuah keluarga besar di Pura Besakih,” kata Wiradnyana.
Karena itu, menurut Wiradnyana, odalan di sanggah keluarga atau pujawali di pura, bukan sekadar sebuah aktivital spiritual, tetapi juga kegiatan sosial. Melalui upacara di sanggah keluarga atau di pura, relasi sosial dijaga dan dirawat.
“Acara persembahyangan bersama paling hanya beberapa menit. Tetapi momentum bertemu keluarga itu bisa berjam-jam. Dan itu bagian dari menyelami kehangatan dan keguyuban keluarga,” kata Wiradnyana.
Jika dalam keluarga masih memiliki panglingsirkeluarga (tetua), keguyuban biasanya masih erat terjaga. Namun, begitu panglingsir keluarga tiada lagi, kerekatan itu biasanya tak sekuat sebelumnya. Melalui odalan yang biasanya digelar setiap 210 hari (berdasarkan wuku) maupun setahun sekali (berdasarkan sasih), permasalahan yang terjadi dalam keluarga bisa dideteksi sejak awal sehingga bisa dicarikan solusi pula sejak dini.
“Yang memprihatikan itu apabila odalan justru merenggangkan kekerabatan gara-gara ketidakcocokan mengenai bagian tanggung jawab menyediakan banten pengodal (sesaji). Ada yang merasa mendapat beban lebih besar, sementara yang lain lebih kecil. Kalau spirit odalan dipahami dan diselami, tentu hal semacam itu tak terjadi,” tandas Wiradnyana. (b.)
______________________
Penyunting: KETUT JAGRA