Menu

Mode Gelap
Habis PKB, Terbitlah FSBJ: Merajut Kesinambungan Seni Tradisional dan Modern Fleksibel dan Adaptif, Arja Takkan Pernah Mati PKB 2025 Siap Menyala, Membawa Bali Bersinar “Masayut Tipat”, Sucikan Diri Songsong Era Baru Cegah Bhuta Kala, Warga Pupuan Pasang “Empegan” di Gerbang Rumah

Bali Tradisi · 5 Mar 2016 23:30 WITA ·

Melasti, Refleksi Merawat Sumber-sumber Air


					Melasti, Refleksi Merawat Sumber-sumber Air Perbesar

Mulai hari ini, Minggu (6/3), pantai-pantai penting di Bali bakal dipenuhi ribuan umat Hindu. Sejak subuh, iring-iringan orang Bali akan memenuhi jalan-jalan menuju pesisir atau pun sumber-sumber mata air. Tradisi Hindu Bali menyebut ritual ini sebagai melasti.

Di Denpasar, Pantai Padanggalak biasanya menjadi pantai yang paling padat didatangi umat dari berbagai pelosok di Kota Denpasar. Di Badung, umat biasanya mengarus menuju Pantai Kuta dan Petitenget. Di Klungkung, Pantai Kusamba diserbu umat dari Klungkung dan sekitarnya. Selain ke pantai, sumber-sumber mata air, seperti danau juga dipenuhi warga.

Ada sejumlah pendapat mengenai makna melasti. Ada yang menyebut kata melasti berasal dari kata melas dan thi. Melas berarti ‘menyucikan’ dan kata thi berarti ‘kotor’. Namun, ada juga yang menyatakan kata melasti sesungguhnya berasal dari kata lasti. Lasti berarti ‘tepi’. Melasti berarti ‘menuju ke tepi’: tepi laut, tepi danau, tepi sumber-sumber mata air.

Dalam teks-teks tradisional, melasti dijelaskan sebagai upaya anganyutaken letuhing bhuwana, angamet sarining amertha, membuang segala kekotoran dunia, mengambil intisari anugerah kehidupan. Dari sinilah muncul pemaknaan melasti sebagai menyucikan alam makro dan mikrokosmos.

Namun, senyatanya, melasti merupakan perjalanan suci menuju air. Ritual ini sejatinya ritual yang mengingatkan manusia untuk senantiasa merawat sumber-sumber air. Ini merupakan sebuah ritual yang kental semangat kehidupan agraris yang begitu berkepentingan menjaga sumber-sumber air.

Melasti setahun sekali menjadi momentum mengingatkan kembali manusia Bali untuk mengontrol dan merawat sumber-sumber air. Lantaran air menjadi sumber daya terpenting dalam kehidupan. Bila sumber air mengering, itu artinya ada ketidakharmonisan dalam ekosistem hutan. Air akan tetap mengalir bila hutan-hutan terjaga keutuhannya, bukit dan gunung terjaga kelestariannya.

Dalam perjalanan ke tepi, menuju air, manusia Bali bakal melintasi jalanan, dari pematang sawah hingga jalan besar. Perjalanan itu memberi ruang bagi manusia Bali merefleksi diri, memahami dinamika perubahan yang terjadi, dari tahun ke tahun. Terutama, tentu, bagaimana gambaran kondisi sumber-sumber air, seperti danau, mata air hingga pantai. (b.)

  • Penulis: I Ketut Jagra
  • Penyunting: I Made Sujaya
  • Foto: I Made Sujaya
Artikel ini telah dibaca 92 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Nyepi untuk Semua

28 Maret 2025 - 14:47 WITA

Ogoh-Ogoh dan Persatuan Gerak Generasi Muda

28 Maret 2025 - 14:23 WITA

Saraswati, E-book, dan Hoaks

8 Februari 2025 - 08:09 WITA

Siwaratri, Momentum Pendidikan Spiritual dan Lingkungan di Sekolah

27 Januari 2025 - 07:32 WITA

“Banyupinaruh”: “Malukat” Dahulu, “Nyurud Nasi Pradnyan” Kemudian

21 Mei 2023 - 08:18 WITA

Pamacekan Agung, Titik Temu Galungan-Kuningan

9 Januari 2023 - 11:54 WITA

Trending di Rerahinan