Teks: Putu Jagadhita, Foto: id.wikipedia.org
Hari ini, Rabu (4/6), tradisi Bali menandainya sebagai hari Buda Wage Langkir atau Buda Cemeng Langkir. Hari yang jatuh tepat dua pekan setelah hari raya Galungan ini biasanya diwarnai dengan pujawali di sejumlah pura. Pura Luhur Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali termasuk salah satu pura yang melaksanakan pujawali pada hari ini.
Pura Tanah Lot tentu sudah amat dikenal. Tak cuma bagi masyarakat Bali, juga masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Pasalnya, pura yang berdiri di sebuah batu karang di tengah laut merupakan objek wisata di Bali yang paling dikenal. Catatan Dinas Pariwisata Provinsi Bali menunjukkan selama tiga tahun terakhir, Pura Tanah Lot selalu menempati urutan pertama daftar objek wisata di Bali yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Akhir tahun 2013, Pura Tanah Lot dikunjungi sebanyk 3.045.688 wisatawan, jauh meninggalkan Pura Luhur Uluwatu yang dikunjungi 820.999 wisatawan.
Pura Tanah Lot |
Keterkenalan Pura Tanah Lot tentu tak lepas dari bentuk dan lokasi pura yang unik dan otentik. Terlebih lagi kala subuh atau pun senja tiba, Pura Tanah Lot menjadi tempat yang penuh daya eksotik. Di sini, orang bisa mereguk keindahan sekaligus kebesaran alam.
Bagi masyarakat Bali, Pura Tanah Lot menempati posisi penting karena berstatus sebagai pura dang kahyangan. Sejarah pura ini selalu dikaitkan dengan perjalanan suci Danghyang Nirartha, wiku dari Jawa Timur yang kemudian menjadi purohita Kerajaan Gelgel, Bali sekitar abad ke-15. Seperti tertulis dalam kitab Dwijendra Tattwa –kitab yang menguraikan perjalanan suci Danghyang Dwijendra, nama lain Danghyang Nirartha–, setelah dari Pura Rambut Siwi di Jembrana, Danghyang Nirartha melanjutkan perjalanan ke timur. Saat senja tiba, pendeta yang juga berjuluk Pedanda Sakti Wawu Rawuh itu tiba di sebuah tempat di selatan Bali dengan sebuah pulau kecil di atas tanah parangan (tanah keras). Di tempat itulah, sang pendeta beristirahat.
Pulau kecil itu ternyata membuat Danghyang Nirartha merasa begitu tenang dan nyaman. Di sini sang pendeta bisa mereguk anugerah keindahan alam. Udaranya segar, mentari pagi juga bisa disongsong tanpa halangan. Kondisi itu menyebabkan sang pendeta mencapai ketenangan batin untuk memuja Sang Pencipta. Dan memang, Danghyang Nirartha mendapat petunjuk gaib bahwa di tempat itu sangat baik dimanfaatkan sebagai tempat suci. Itu sebabnya, oleh warga sekitar, setelah kepergian sang pendeta, dibangunlah sebuah tempat suci tepat di tempat yang disinggahi Danghyang Dwijendra. Tempat suci itulah yang kemudian disebut sebagai Pura Tanah Lot.
Di Pura Tanah Lot terdapat sejumlah palinggih (bangunan suci), di antaranya palinggih ageng Siwa-Budha berupa meru beratap lima, palinggih Pedanda Sakti Wawu Rawuh berbentuk meru beratap tiga lengkap dengan arca sang pendeta, palinggih Batara Sri serta pelinggih lingga-yoni yang berdampingan dengan pelinggih Dewi Sri. Itu sebabnya, muncul dugaan Pura Tanah Lot sudah ada jauh sebelum kedatangan Danghyang Dwijendra. Lingga-yoni kerap dikaitkan dengan jejak pemujaan masyarakat Bali sebelum mendapat pengaruh Hindu.
Dalam tradisi Bali, lingga-yoni dan Dewi Sri dimaknai sebagai simbol kemakmuran atau kesejahteraan. Itu sebabnya, Pura Tanah Lot dimaknai masyarakat Bali sebagai tempat memohon kemakmuran atau kesejahteraan. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI